Loteng, Potret Miniatur Keraton dalam Keraton di Sumenep (4)

SUMENEP, MAMIRA.id – Loteng baru populer sebagai bangunan tempat tinggal para putra utama raja di Sumenep sejak abad 19, lalu apakah sebelumnya tidak ada bangunan berlantai dua di Sumenep?

Dalam sebuah keterangan lisan turun-temurun, ada bangunan berlantai dua yang pernah berdiri di abad 17 atau kurun 1600-an. Tapi tak disebut Loteng, melainkan rumah panggung. Bangunan yang pernah berdiri di kawasan Kepanjin, sekarang menjadi salah satu kelurahan di Kecamatan Kota Sumenep, dulu merupakan tempat tinggal seorang Rangga atau Ronggo di Sumenep.

Ronggo bermakna kuasa suatu wilayah. Sebutan lainnya patih yang berkuasa penuh. Di abad 14, istilah lain yang semakna ialah Kamituwo.

Sang Ronggo yang dimaksud ialah Raden Entol Anom alias Raden Onggodiwongso. Lidah masyarakat selanjutnya menyebut beliau dengan Ronggodiboso. Beliau diperkirakan menjabat Ronggo di masa Tumenggung Yudonegoro, adipati Sumenep pada 1648-1672. Perkiraan tersebut karena memang tidak ada bukti otentik dalam menentukan tahun secara pastinya.

Di makam beliau sendiri di Asta Tinggi, di kompleks Asta Pate Bangsa (Patih Wongso), tidak ada prasasti petunjuk apapun, selain model makam yang bercirikhaskan makam-makam sebelum para penguasa Sumenep di abad 19.

Berdasar catatan silsilah keluarga Rumah Panggung dan sebagian catatan di keluarga Keraton Sumenep, Raden Onggodiwongso adalah keturunan Pangeran Saba Pele, Sampang. Sang Pangeran adalah keturunan langsung Pangeran Demang Plakaran (Keraton Anyar, Arosbaya), dan Kangjeng Suhunan Giri I (Syarif Ainul Yaqin alias Raden Paku).

Baca Juga:  Mitos dan Mistis Di Balik Keindahan Kucing Busok (Satwa Endemik Pulau Madura Bagian II)

Tidak dijelaskan mengapa ada seorang ronggo pada abad 17 di Sumenep. Pasalnya, di masa itu Sumenep sejak pasca invasi Mataram (1624) memang berada di bawah Kerajaan Mataram, dan penguasanya berpangkat adipati.

“Secara genealogi, Raden Onggodiwongso diperkirakan hidup di masa pemerintahan Raden Bugan alias Tumenggung Yudonegoro (1648-1672; red),” kata RB Ja’far Shadiq dari Komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser), Selasa (08/09/2020) lalu.

Apakah Onggodiwongso sebagai wakil Mataram dalam mendampingi Yudonegoro, masih belum bisa dipastikan. Namun secara genealogi keduanya masih keluarga dekat, sama-sama pecahan keluarga Keraton Anyar Arosbaya selaku leluhur bangsawan Madura.

Kakek Onggodiwongso yang bernama Pangeran Macan Alas, Waru Pamekasan; bersaudara sepupu dengan Raden Ayu Pacar, ibunda Yudonegoro. Silsilah Onggodiwongso dan Yudonegoro bertemu pada Raden Adipati Pramono alias Pangeran Bonorogo, Raja Sampang sekaligus Pamekasan. Adipati Pramono adalah saudara Kiai Pragolbo (Pangeran Arosbaya) yang menurunkan trah Cakraningrat, di Madura Barat.

“Yang jelas Onggodiwongso atau Ronggodiboso memang dikenal sebagai patih legendaris di Sumenep. Begitu pun keturunannya hingga abad 19 merupakan keluarga patih secara estafet,” kata R. Iik Guno Sasmito, dari keluarga Rumah Panggung Kepanjin.

Perkiraan lain, Raden Onggodiwongso dimungkinkan sebagai wakil Mataram sebagai Kuasa Sumenep. Mengingat dalam sejarah perlawanan penguasa Madura atas hegemoni Mataram, Yudonegoro memang dikenal sebagai salah satu penguasa di Pulau Garam yang mencoba melepaskan diri dari pengaruh Mataram.

“Yudonegoro berpihak pada Trunojoyo. Namun di masa akhir Trunojoyo, kemungkinan Madura Timur secara politik memilih dekat dengan VOC daripada tunduk pada Mataram,” kata Ja’far, narasumber sebelumnya.

Baca Juga:  Karduluk, Sentra Seni Pahat Madura

Perlawanan Yudonegoro yang dikenal juga dengan nama Pangeran Macan Ulung bisa jadi dikarenakan faktor sejarah. Sejarah Sumenep menceritakan kala beliau sempat menjadi pelarian, saat Sumenep diserang Mataram. Serangan yang mengakibatkan ayah Yudonegoro, Pangeran Cakranegara I (1589-1626), gugur dalam pelariannya di tanah Sampang.

Kembali pada rumah panggung sang Ronggo di Kepanjin, saat ini sudah tinggal bekasnya. Satu-satunya situs yang masih ada ialah sisa dinding bangunan belakang rumah panggung.

Melihat sisa bentuknya, bangunan rumah panggung berbeda dengan bangunan panggung atau loteng di abad 18 maupun 19 yang umumnya menghadap ke arah selatan. Rumah panggung Ronggodiboso menghadap ke arah barat.

“Memang sebelum abad 18, bangunan-bangunan utama arahnya disesuaikan. Secara filosofi menghadap ke ketinggian (gunung). Namun di abad selanjutnya menghadap ke samudera atau laut,” kata RB Hairil Anwar, yang juga salah satu personel Komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser).

Itulah sebabnya, sambung Hairil, bangunan keraton maupun kediaman bangsawan utama dan lainnya di Sumenep khususnya di abad 18-19 menghadap ke arah selatan. Sedang di abad sebelumnya menghadap ke arah barat.

Dalam penelusuran penulis, berdasar catatan dan pitutur para sepuh, rumah panggung Ronggodiboso bercikal bakal pada rumah yang dibangun pada 1570 oleh Patih Kiai Ronggomiring. Ronggomiring merupakan patih legendaris Sumenep di masa Pangeran Lor I, penguasa Sumenep pada 1567-1574.

Baca Juga:  Nyai Ceddir: Ulama Perempuan Berkaromah Tinggi

“Namun dipugar pada masa Patih Ronggodiboso atau Raden Onggodiwongso, dengan ditambah panggung atau loteng (lantai dua; red). Dan terakhir dipugar lagi pada tahun 1804 di masa Patih Raden Wongsokusumo I, cicit Ronggodiboso,” kata Iik.

Sepeninggal Ronggodiboso, rumah panggung ditempati kedua putranya yang bernama Raden Demang Wongsonegoro dan Raden Kromosure (Atmologo). Keduanya juga merupakan patih Keraton Sumenep yang terkenal dalam sejarah.

Setelah itu rumah panggung ditempati oleh putra Atmologo, yaitu Raden Tumenggung Ronggo Kertaboso Pratalikromo, Hoofd Jaksa Keraton Sumenep. Pratalikromo merupakan tokoh Sumenep yang membantu Sultan Abdurrahman Pakunataningrat (memerintah pada 1811-1854) kala menerjemahkan prasasti yang ditemukan Rafflesh di Pulau Bali.

Sepeninggal Pratalikromo, rumah panggung ditempati Raden Wongsokusumo I, patih Sumenep. Wongsokusumo I terus menurunkan keluarga patih, cendekia, dan pembesar di Sumenep maupun Nusantara.

Beberapa tokoh keturunan Raden Onggodiwongso via Pratalikromo ini ialah Raden Werdisastro (penulis Babad Songennep), Raden Wongsotaruno (ayah Pahlawan Nasional Abdul Halim Perdanakusuma), Raden Mertawasiso (sekretaris Keraton Sumenep), dan lain-lain.

Saat ini bangunan rumah panggung Ronggodiboso telah menjadi bangunan Masjid Al-Alim dan lembaga pendidikan.

“Slogannya saat ini dari syi’ar kembali ke syi’ar. Karena Raden Onggodiwongso atau Patih Ronggodiboso selain sebagai ronggo juga dikenal di masanya sebagai sosok ulama. Banyak yang mengaji pada beliau, seperti Kiai Rombu cucu Pangeran Katandur, yang di kemudian hari menjadi besan Raden Atmologo,” tutup Iik.

Penulis: Sidi Mufy
Sumber: Media Center