MAMIRA.ID – Raden Wongsojoyo alias Pangeran Yudonegoro, nama salah satu penguasa Madura Timur yang cukup dikenal baik di Madura maupun di catatan-catatan yang berkaitan dengan Kerajaan Mataram di Jawa, khususnya pasca invasinya ke tanah garam. Sosok ini merupakan penguasa lokal di Madura—selain Trunojoyo, yang mencoba melepaskan diri dari hegemoni Jawa. Generasi berikutnya di daerah berbeda, yaitu Cakraningrat IV dari Madura Barat mengikuti jejak tokoh keturunan Sultan Demak pertama ini.
Dari beberapa kisahnya dalam lingkaran perlawanan Trunojoyo versus Mataram-VOC, Mamira.ID tertarik mengulas salah satu senjata andalan Yudonegoro, yaitu tosan aji berupa tombak pusaka. Raden Tumenggung Ario Zainalfattah dalam salah satu bukunya yang berjudul “Sedjarah Tjaranja Pemerintahan di Daerah-daerah di Kepulauan Madura dengan Hubungannja” (1952), menyebut tombak tersebut dengan nama Se Serrang Dayung. Bagaimana kisahnya?
Pada akhir paruh pertama abad 17, Yudonegoro, yang sebelumnya bernama Raden Bugan pulang dari “pengasingannya” di tanah Cirebon. Menurut kisah sejarah, beliau menjadi yatim setelah ayahnya, Pangeran Cokronegoro wafat menyusul peristiwa invasi Mataram atas Madura. Dalam naskah Babad Songennep, beliau diasuh dan dibesarkan dan diambil sebagai anak oleh Raja Cirebon. Tidak jelas hubungan keduanya. Kemungkinan terdapat kekerabatan dekat karena sama-sama memiliki sambungan nasab ke Sultan Demak.
Raden Bugan kembali ke tanah garam bersama seorang yang ditugaskan mengantar oleh Raja Cirebon. Sang pengantar dikenal dengan nama Kiai Cirebon. Menurut naskah Tjareta Nagara Songennep, sang kiai bernama asli Sagaramaddu (Segoromadu). Oleh Raja Cirebon, Raden Bugan diberi sebuah tombak pusaka.
Konon, Raden Bugan dan Kiai Cirebon naik perahu, dan mendarat di Pulau Gili Mandangil atau Pulau Kambing yang berada di sebelah selatan daratan Sampang. Raden Bugan lantas mendarat dan menjelajah pulau kecil itu, dan bertapa di sebuah makam keramat di pulau tersebut. Di sana ia berjumpa dengan Pangeran Trunajaya yang juga tengah bertapa. Keduanya lantas mengikat janji untuk saling membantu di kemudian hari. Setelah berpisah, Raden Bugan kembali melanjutkan perjalanannya melaut ke Madura Timur.
Sayangnya, saat akan meneruskan perjalanan, perahu tidak bisa bergerak karena tidak mendapatkan angin. Teringat akan tombak yang diberikan ayah angkatnya, Raden Bugan lantas menghunusnya, dan menjadikannya sebagai dayung. Atas izin Allah, perahu yang tidak bergerak itu melaju dengan cepat dan dalam waktu yang tidak begitu lama menyampaikan Raden Bugan dan Kiai Cirebon ke Sumenep. Tombak tersebut oleh Raden Bugan diberi nama “Se Serrang Dayung”. Sesampainya di Sumenep, Raden Bugan berganti nama menjadi Raden Wongsojoyo.
Tombak pusaka tersebut menjadi pusaka Keraton Sumenep sejak Raden Wongsojoyo berhasil kembali meraih tahtanya atas bantuan Pangeran Trunojoyo. Raden Wongsojoyo naik tahta dengan gelar Pangeran Macan Ulung dan berganti nama menjadi Pangeran Yudonegoro.
(Diambil dari situs www.ngoser.id dengan beberapa perubahan)