Sepenggal Kisah Agung Sudagar: Batu Nisan dan Perjalanan (2)

SUMENEP, MAMIRA.id – Sebagaimana disebut dalam bagian akhir tulisan sebelumnya, catatan silsilah Agung Sudagar peninggalan almaghfurlah K Masyhur Azhari di kemudian hari menjadi rujukan penulisan Buku Induk Silsilah & Dzurriyah Agung Sudagar buah karya Tim Nyambung Aseh.

Meskipun dalam penyusunanya pada tahun 2011 silam, catatan silsilah yang masyhur di kalangan masyayikh Lambi Cabbi, Desa Gapura Tengah itu, juga masih dilakukan penelusuran lagi ke berbagai sumber.

“Itu hasil penelusuran tim, ada banyak narasumber yang kita wawancara,” kata Abdul Halim Shanhaji, salah satu anggota Tim Nyambung Aseh, penyusun Buku Induk Silsilah & Dzurriyah Agung Sudagar, Rabu (6/01/2021) siang yang dicetak untuk kalangan dzurriyah Agung Sudagar.

Masih seperti disebut dalam tulisan sebelumnya, buku itu berhasil saya pinjam dari seorang sahabat, Ahmad Fawaid. Dan saat cerita lanjutan ini ditulis, masih belum juga saya kembalikan.

Pasalnya, ada bagian dari Buku Induk Silsilah dan Dzurriyah Agung Sudagar yang belum sempat saya salin atau tulis ulang. Yaitu bagian Biografi Singkat Agung Sudagar yang akhirnya bisa Anda baca seperti berikut ini.

Baca Juga:  Kiai Abdul Alim : Penerus Estafet Keilmuan Sang Mahaguru Kiai Ali Barangbang

“Ya, silakan,” kata Abdul Halim Shanhaji, ketika saya minta izin untuk ditulis ulang guna ditayangkan di MAMIRA.id.

Tonton Video Ini:

Biografi Singkat Agung Sudagar

Alkisah, Muhammad muda yang kemudian dikenal oleh masyarakat dengan Kiai Agung Sudagar, dilahirkan di sebuah desa terpencil yang terletak kurang lebih 30 Km ke arah timur Kota Sumenep, yakni Desa Ngin-Bungin, Kecamatan Dungkek, Sumenep.

Beliau adalah putra kedua dari Syekh Mahfudz, yang lebih terkenal dengan sebutan Kiai Gurang-Garing.

Singkat cerita, Muhammad muda meninggalkan kampung halamannya atas perintah sang ayah untuk menyusul kakaknya, Syekh Mufid (Agung Sapelle), yang menempuh pendidikan pesantren di Pondok Pesantren Banyuajuh, Kamal, Bangkalan, yang diasuh oleh Syekh Hasan.

Sesampainya di pesantren, di mana kakaknya mondok, Kiai Agung Sudagar langsung menghadap sang Kiai dan menyatakan maksud kedatangannya.

Baca Juga:  Situs Parongpong: Tiga Waliyullah Leluhur Ulama dan Umara Sumenep

Dalam dialog singkat, Syekh Hasan bertanya pada Muhammad muda alias Kiai Agung Sudagar, “Dari mana, Nak?”.

“Saya dari Sumenep,” jawab Muhammad.

Kemudian sang guru lanjut bertanya, “Apa yang menjadi sangu dalam perjalananmu, Nak?”

Dijawab Muhammad, “Saya membuat batu nisan, lalu dijual,”.

“O…kalau begitu sampean saudagar, Nak,” kata Syekh Hasan secara spontan.

Semenjak itu, nama Muhammad tidak lagi dikenal di Ponpes Banyuajuh. Sebab, sang Kiai lebih suka memanggil Muhammad dengan Bindara Saudagar. Sehingga, para santri pun ikut-ikutan memanggil Muhammad dengan julukan itu.

Kemudian sesuai dengan dialek Madura, sebutan “Saudagar” bergeser menjadi “Sudagar”. Dan nama inilah yang lebih melekat pada diri Muhammad muda.

Tahun-tahun pun berlalu. Sampai saat menempa diri di pesantren dirasa agak lumayan lama, Agung Sudagar pulang ke tanah kelahirannya di Desa Ngin-Bungin, Kecamatan Dungkek, Sumenep.

Singkat cerita, Agung Sudagar menikah. Dari pernikahannya, beliau dikaruniai 5 orang anak, dua putra dan tiga putri.

Baca Juga:  Loteng, Potret Miniatur Keraton dalam Keraton di Sumenep (4)

Kelimanya adalah Kyai Zakariya (Bindara Lambi Cabbi), Nyai Masyithoh (Ummu Kha’ibah), Nyai Khasyiyah (Ummu Januriyah), Nyai Khasyi’ah (Ummu Maimunah), dan Agung Lenggi (Juragan Eni’).

Dihimpun dari berbagai sumber, putra-putri Agung Sudagar bermukim di wilayah Kecamatan Gapura. Karena itu, di akhir hayatnya, Agung Sudagar diboyong oleh putra tertuanya, Kiai Zakariya, pendiri Pondok Pesantren Lambi Cabbi (sekarang Ponpes Ainul Yaqin) ke kediamannya di kampung Lambi Cabbi, Desa Gapura Tengah.

Maka terjawab sudah mengapa pesarean Agung Sudagar berada di Kecamatan Gapura. Tepatnya di Asta Lao’ Songai Lambi Cabbi, di Dusun Talesek, Desa Gapura Barat.

Di kemudian hari, keturunan Agung Sudagar menyebar hampir di seluruh Pulau Jawa, bahkan hingga Jakarta. Namun, yang paling banyak berada di Kabupaten Sumenep, Bangkalan, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi.

Demikianlah biografi singkat Agung Sudagar sebagaimana dikutip dari Buku Induk Silsilah & Dzurriyah Agung Sudagar buah karya Tim Nyambung Aseh. (*)

Penulis: Rafiqi
Editor: MAMIRA.id