Ada belasan alat musik yang digunakan dalam seni kerawitan ini, di antaranya: Kendang, Gender besar dan Gender kecil, Pekkeng, Saron. Barung, Gender Penerus, Bonang Barung, Bonang Penerus, Kenong, Ketuk Kempyang, Kempul Gong, Balungan, Gambang, Seruling dan iter. Inventaris saggar karawitan ini semua milik pribadi pak Rifa’ie, bukan milik sanggar karena dari pemerintah belum ada pemberian inventaris untuk sanggar ini.
Secara umum, nyaris tak ada perbedaan antara musik karawitan Sumenep dengan musik karawitan di kabupaten-kabupaten lain di Madura. Tapi jika dibandingkan dengan karawitan jawa perbedaan itu terletak pada laras atau titi nada. Karawitan Madura umumnya menggunakan laras Slendro. Tangga nada slendro memiliki karakterisitik musik yang gembira, lincah dan menyenangkan.
“Kalau dengan jawa ada bedanya, bedanya hanya larasnya saja. Kalau di Sumenep khususnya, rata-rata pakai laras slendro. Slendro ini, notasi dari not-not nya, satu, dua, tiga, lima dan enam. Ada yang bersifat seneng-senengan, ada yang rekong, ada yang perang. Itu tergantung mau apa gamelan ini. Untuk topeng lain, untuk ludruk juga lain. Umpamanya tayuban, itu lain juga,” jelas Pak Rifa’ie di depan para anak asuhnya dan tim mamira.
Di usianya yang sudah senja, pak Rifa’ie semangatnya masih membara mengajar anak-anak didiknya di anggar Kuda Panole & Putri Ayu ini dengan suka rela. Beliau tak pernah berfikir soal uang. Dengan adanya para siswa, pemuda dan pemudi yang minat dan niat untuk belajar seni musik karawitan beliau sudah merasa bahagia.
“Saya tidak dibayar, sepeserpun saya tidak dibayar. Saya sudah mendapatkan kebahagiaan dengan adanya para siswa dan siswi ini saja sudah lebih dari cukup, ini tak bisa ditukar dengan uang. Dari pada karawitan hilang dari bumi nusantara, apalagi di sumenep, sangat sayang sekali kan. Eman, emaan.” Katanya.
Orang tua dari anak-anak anggota sangar karawitan bersyukur dengan adanya kegiatan ini karna mereka merasa anak mereka ada kegiatan yang bermanfaat untuk mengisi waktu liburnya dari pada diisi dengan kegiatan yang tidak bermanfaat. Hal ini menandakan bahwa kegiatan ini berdampak positif bagi anak-anak sanggar itu sendiri. Disetiap selesai latihan pun, Pak Rifa’ie selalu menyampaikan nasihat sekaligus peraturan yang harus ditaati oleh para anggota sanggar.
“Selesaikan semua tugas sekolah maupun tugas rumah. Kedua, pamit kepada orang tua. Ketiga, hati-hati dijalan. Keempat, dilarang bermain HP saat berkendara, kalau perlu berhenti jika ada telpon atau mau bales WA, udah sering terjadi kecelakaan karena HP. Yang kelima jangan lupa berdoa selalu. Semoga ini semua terealisasi dengan baik. Ini yang masih TK masih, yang belajar karawitan. Ini cucu saya ini. Baru lulus TK. Tapi alhamdulillah meski masih TK, bermain musik karawitan sudah luar biasa. Mari kita saksikan mereka bermain musik tradisional ini.” Kata Pak Rifa’ie di depan para anak asuhnya dan tim mamira yang sudah sedari tadi setia menyimak penyampaian pak Rifa’ie saol musik karawitan.
Berdinya sanggar karawitan ini berawal dari perkumpulan karawitan guru-guru kecamatan kota. Namun usia perkumpulan tersebut hanya semur jagung. Karena bubar perkumpulan tersebut, maka pak Rifai’ie berinisiatif untuk mengumpulkan guru-guru tersebut dan mengadakan rapat tindak lanjut mengenai kumpulan yang sudah bubar ini, apa mau di hidupkan kembali atau mau mendirikan perkumpulan baru. Lalu kemudian muncul kesepakatan dari anggota yang hadir untuk mendirikan perkumpulan baru. Pada tanggal 23 April 2004 sanggar karawitan Kuda Panole & Putri Ayu terbentuk dengan adanya kerja sama Bersama disparbud kala itu.