Hidup dari Manisnya Gula Merah

Enam jam sudah Hairiah tak beranjak dari dapur, sementara air la’ang di kuali sudah mulai mengental. Dengan dibantu sang suami, kuali yang masih panas dengan kepulan asap itu dipindahkan ke teras dapur. Di teras dapur itu terdapat bangku atau lincak terbuat dari bambu beralaskan tikar yang terbuat dari anyaman daun siwalan, orang Madura menyebutnya ‘teker rakara’.

Bak perpacu dengan waktu, setelah enam jam berdiri di depan tungku dengan panas api dan kepulan asap, pekerjaan Hairiah masih harus terus berlanjut. Setelah menunggu agak dingin, air la’ang yang kental itu kemudian dituangkan ke dalam cetakan berupa mangkok kecil dengan ukuran yang bervariasi, mangkok-mangkok itu sebelumnya sudah dilapisi plastik dan dijejer rapi untuk memudahkan saat penuangan. Setelah dua jam kemudian, baru gula merah sudah bisa dikunsumsi atau dijual ke pengepul.

Baca Juga:  Mengenal Konsep Datangnya Rezeki dalam Perspektif Dua Imam Besar Islam

Keringat mengucur di pelipis Hairiah, namun tak sedikit pun lelah terlihat diwajahnya, sebaris senyum tetap  nampak di bibirnya. “Gula merah ini dijual ke pengepul, 1kg nya seharga Rp.13.000, gula merah saya asli, murni air la’ang, tidak dicampur bahan-bahan lain.” Kata Hairiyah sambil sibuk menuangkan air la’ang kental kedalam cetakan.

Menjual gula merah adalah satu-satunya pemasukan keluara Hairiah. Tidak ada penghasilan tambahan, kecuali menjual hasil panen jagung atau kacang tanah, itupun jika hasil panennya melimpah. Bisa dikatakan, keluarga Hairiah hidup dari manisnya gula merah.

Saat musim kemarau, tidak semua air la’ang yang didapat dijadikan gula merah. Sebagian air la’ang dijadikan gula aren dan disimpah di dalam drum. Pantas saja di pojokan dalam dapur terdapat drum-drum berjejer, catnya sudah tampak kusam berselimut debu dan sisa-sisa asap. Rupanya disanalah disimpan harta karun keluarga Hairiah. Gula aren tersebut disimpan hingga berbulan-bulan lamanya dan dijual saat musim penghujan tiba. Satu drum berisi 200 liter gula aren itu dijual ke pengepul seharga 3 juta rupiah.

Baca Juga:  Pesona Empat Putri Mahkota dari Madura

“Kalau musim kemarau tak semua air la’ang dijadikan gula merah semua, tapi sebagian dibikin gula aren. Gula aren tersebut disimpan di dalam drum ini, dijual nanti saat musim penghujan. Kalua musim penghujan air la’ang susah dan kualiatasnya tidak bagus, di sebabkan banyak bercampur dengan air hujan” Jelas Hairiah sambil menawarkan gula merah yang sudah padat pada tim mamira.

Meski penghasilannya hanya didapat dari air la’ang, Hairiah tetap bersyukur. Meski tak banyak, penghasilannya tersebut didapat dengan cara halal dan mampu mencukupi kehidupan keluarganya.

“Alhamdulillah cokop maske sakonik, cokop angguy melle berres ben kabutoan se laen. sepenting eparengi kasehatan sareng Allah,” (Alhamdulillah cukup meski sedikit, cukup untuk membeli beras dan kebutuhan lainnya. Yang penting diberi Kesehatan oleh Allah SWT). Pungkas Hairiah.

Baca Juga:  Asmara Berujung Prahara: Kisah Cinta Patih kepada Ratu Tirtanegara

Tonton Video ini:

Penulis: M. Zainuri

Editor: Mamira.ID