Pangeran Cakraningrat yang tidak sudi berperang dengan adiknya itu lantas menuju ke Kamal. Di sana beliau diterima oleh serdadu VOC yang tengah berlabuh dengan kapalnya.
Kapten Kapal yang dalam buku Zainalfattah dikenal dengan nama Kapten Kertas menyambut Cakraningrat dengan baik. Kapten Kertas tetap menjunjung tinggi Cakraningrat III sebagai pemimpin negara Madura Barat yang dipandangnya patut dibantu.
Di atas kapal, Cakraningrat III hanya membawa salah satu isterinya, dua anak laki-lakinya yang sudah dewasa, dan sedikit pengawal yang diajaknya menyingkir dari Tonjung Sekar.
Penyambutan di kapal itu bermula pada salah paham. Saat itu isteri Cakraningrat III yang naik kapal belakangan disambut Kapten Kertas dengan adat istiadat negerinya. Yakni dengan mengecup leher sang isteri Cakraningrat III.
Kontan, isteri Cakraningrat yang tak paham adat istiadat yang sejatinya penghormatan itu menjerit keras. Jeritan itu didengar Cakraningrat III yang langsung menuju ke tempat isterinya.
Melihat sang isteri yang gemetar karena terkejut, Cakraningrat III lantas menghunus kerisnya dan menusukkannya ke tubuh Kapten Kertas hingga mati seketika.
Selanjutnya, Cakraningrat III dan kedua putranya mengamuk sehingga seisi kapal alias puluhan serdadu Belanda itu hampir habis jumlahnya. Ketiganya, tidak mempan senjata api.
Namun saat ketiganya kelelahan, beberapa serdadu yang punya kesempatan memukulkan palu besi ke kepala Cakraningrat III. Sang pangeran pun roboh dan dikeroyok ramai-ramai hingga gugur di atas kapal.
Setelah meninggal dunia, kepala Cakraningrat III dipotong, dan tubuhnya dibuang ke laut. Kepala beliau lantas dibawa ke Surabaya sebagai laporan kejadian itu. Cakraningrat III oleh warga Madura Barat dikenal dengan gelar anumertanya, yaitu Pangeran Seding Kapal.
Red