Kiai Abdullah Sajjad: Pejuang Kemerdekaan yang Syahid Di Ujung Senapan Belanda

Keberanian Kiai Abdullah Sajjad kepada para penjajah tergambar dalam kisah tutur yang diunggah dalam status facebook Ammy Abduh (Abdullah Sajjad), cicit Kiai Abdullah Sajjad yang diunggah pada 17 Agustus 2017 lalu. Dalam statusnya tertulis sebagai berikut:

“Pada masa penjajahan, pernah dalam beberapa kurun lamanya, Belanda memberlakukan jam malam. Penduduk dilarang menyalakan lampu penerang, tidak boleh keluar ataupun berkumpul dan berkegiatan di waktu malam.

Suatu saat selepas Isya, datanglah dua orang pribumi jongos Belanda ke Latee untuk menegur almarhum KH. Abdullah Sajjad yang bersiap mengadakan pengajian atau khotmil Qur’an.

Beliau kemudian menunjuk purnama sambil berkata dengan lantang “Heiii.. Kabele, mon Belendeh bisah mate’eh tera’na bulen, sengko’ bakal tunduk” (Heiii..Sampaikan, jika Belanda mampu memadamkan cahaya rembulan, niscaya aku akan tunduk).

Seketika keduanya gemetar, mulutnya muntah mengeluarkan sisa makanan dalam perut, kemudian bergegas lari ketakutan.

*Almarhum KH. Abdullah Sajjad bin KH. Muhammad as-Syarqawi al-Kudusi gugur di ujung senapan serdadu Belanda pada hari Selasa tanggal 20 Muharram 1367 H (03 Desember 1947 M). Riwayat ini disampaikan oleh sesepuh keluarga besar Pondok Lengkong Guluk-Guluk Sumenep. Wallahu a’lam.” Bunyi status tersebut.

Meski tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya peristiwa seperti yang tertulis dalam status facebook tersebut. Apakah memang terjadi sebelum pendudukan Jepang, atau setelah agresi ke-2 Belanda.

“Nah…Pertanyaan yang kritis. Ini juga menjadi pertanyaan bagi saya, kapan sebenarnya kisah ini terjadi. Apakah sebelum pendudukan Jepang, atau setelah agresi ke-2 Belanda. Atau bisa jadi yang disebut “Belanda” dalam cerita di atas sebenarnya adalah serdadu Jepang itu sendiri. Wallahu a’lam. Saya hanya menulis sesuai dengan apa yang saya dengar dan saya ingat dari penuturnya,” jelas Kiai Ammy Abduh menanggapi salah satu komentar netizen dalam kolom komentarnya.

Baca Juga:  Jelajah Asta Pangeran Baragung, Makamnya Nyaris Sama dengan Asta Sang Ayah

Sementara dalam kisah Kiai Abdullah Sajjad yang lain, di saat Belanda dengan ambisi imperialistiknya terus berupaya merebut kembali Indonesia  setelah Kemerdekaan 1945. Penjajah terus meluaskan wilayah ekspansinya hingga ke wilayah Madura. Bahkan, untuk kedua kalinya Belanda memasuki wilayah Madura pada tahun 1947.

Pada saat itu, Kiai Abdullah Sajjad merupakan pemimpin pasukan Laskar Sabilillah Sumenep. Di mana kepemimpinan laskar sebelumnya dipegang oleh Kiai Muhammad Ilyas. Disamping itu, Kiai Abdullah Sajjad juga baru saja menjadi Kepala Desa (Madura: Kalebun) Guluk-guluk.

“Kiai Abdullah Sajjad sebelum menjabat kepala desa memang sering berbaur dengan masyarakat, lebih dekat dengan masyarakat. Saat itu, ketika ada masyarakat yang sakit, beliau langsung menjenguknya, tidak hanya sekedar menjenguk, namun juga membacakan burdah untuk yang sakit dan alhamdulillah yang sakit itu sembuh. Jadi, masyarakat banyak yang menjadi pengikut dan sangat dekat dengan beliau. Kemudian beliau dipilih jadi kepala desa oleh masyarakat. Jabatan kepala desa, beliau jadikan ladang dakwah. Beliau memang punya tipikal pemimpin. Awalnya, kepimimpinan laskar itu K. Ilyas. Namun kemudian dipasrahkan ke Kiai Sajjad dan Kiai Khazin, ponakannya, abahnya Kiai Tsabit Khazin itu. Beliau dilantik jadi kepala desa hampir bersamaan dengan agresi militer II Belanda,” terang Lora Nobel.

Ket.Foto: Tugu kemerdekaan yang terletak samping puskesmas kemmisan, tak jauh dari tempat Kiai Abdullah Sajjad dieksekusi oleh serdadu Belanda. (Mamira.ID)

Melalui institusi itulah, Kiai Abdullah Sajjad menghimbau dan mengajak para warganya guna menghimpun kekuatan dalam melawan penjajah yang kembali ingin menguasai Sumenep. Masyarakat kemudian bergabung dalam Laskar Sabilillah yang berisi barisan para kiai, santri dan barisan anak-anak muda.

“Jabatan kepala desa itu memang dijadikan untuk berdakwah, itu tahun 1947. Saya melihat di catatan Mbah (KH. Ahmad Basyir Abdullah Sajjad). Beliau juga punya karangan kitab, kitab tauhid kecil, nama kitabnya, lupa saya. Sama Mbah, itu disimpan karena ada semacam kekeliruan, khawatir disebar karena belum sempat diperbaiki. Mbah Basyir juga ikut berperang dulu. Saat perang, Mbah berumur 15 tahun. Mbah itu kelahiran 1930, beliau itu termasuk Laskar Sabilillah. Beliau juga ikut menghancurkan jembatan-jembatan yang ada di Pakong (Bakeong) agar tank-tank Belanda tidak bisa masuk ke timur (Sumenep). Jadi, Mbah itu fokusnya ke tank-tank Belanda,” tambahnya.

Baca Juga:  Pejuang Melawan Serdadu Belanda di Benteng Pertahanan Guluk-Guluk

Kala itu, Kiai Abdullah Sajjad menjadi orang yang selalu dicari-cari oleh pasukan Belanda, karena beliau merupakan juru taktik dan strategi dalam pertempuran kala itu, dan sebagai penggerak taktik dan strategi di lapangan. Beliau dibantu langsung oleh keponakannya yang bernama Kiai Khazin.

“Kiai Sajjad selalu dicari-cari, karena beliau memang orang yang sangat kuat menurut Belanda. Kiai Khazin itu juga bergabung dengan para kiai di Pamekasan. Dalam kisahnya, Kiai Khazin itu diberi azimat, semacam itu lah pokoknya, berupa lidi dan dipakai (diletakkan) di kepala beliau. Kiai Khazin itu memang ditugaskan di perbatasan Sumenep-Pamekasan. Pada saat itu Belanda sempat dipukul mundur, sampai jauh ke arah barat, sampai ke daerah Berenta,” ujar Lora Nobel dengan wajah serius.

Gencarnya serangan pasukan penjajah kala itu tidak membuat nyali pasukan Laskar Sabilillah ciut. Nyala semangat juang mereka dalam mempertahankan kemerdekaan tetap berkobar. Serangan demi serangan terus dilancarkan Belanda. Pun dengan perlawanan pasukan Laskar Sabillah semakin gencar.

Meski upaya untuk mempertahankan diri dari serangan Belanda, para Laskar Sabilillah dipaksa mundur karena solidnya serdadu penjajah. Akhirnya pertahanan laskar berhasil ditembus oleh penjajah karena tentu peralatan perang mereka jauh lebih canggih dan modern.

Baca Juga:  Raden Bahauddin Wongsotaruno: Ayah Sang Pejuang Kemerdekaan RI dari Madura

Kiai Abdullah Sajjad Mengungsi ke Karduluk

Disaat situasi seperti itu, Kiai Khazin pengirim utusan ke markas Laskar Sabillah, Annuqayah. Melalui utusan tersebut, Kiai Khazin meminta mengosongkan markas untuk sementara waktu.

“Memang, ketika Belanda kembali ke Madura, Latee yang awalnya rumah ilmu menjadi rumah untuk mengatur taktik dan strategi perang melawan penjajah itu,” ujarnya.

Kiai Mohammad Ilyas mengungsi di Dusun Berca, daerah pedalaman Guluk-Guluk. Sementara Kiai Abdullah Sajjad dengan beberapa santrinya mengungsi ke Desa Karduluk, Kecamatan Pragaan. Awalnya, Kiai Abdullah Sajjad disarankan untuk mengungsi ke Pulau Jawa. Namun, beliau bertahan di wilayah Sumenep dengan pertimbangan tidak ingin meninggalkan santri dan rakyatnya.

“Kiai Sajjad kemudian mengungsi ke Karduluk selama kurang lebih empat bulan lamanya, kemudian oleh K. Baharuddin, abah K.H Abdul Basith Bahar, itu aslinya karduluk kan. Beliau menyarankan agar Kiai Abdullah Sajjad mengungsi ke daerah Jawa, tepatnya ke Sokarajja (Sukorejo). Namun beliau menolak (tak kasokan), beliau lebih memilih untuk bertahan karena memikirkan santri dan rakyatnya. Yang mengungsi ke sana cuma Kiai Khazin itu, karena di sana merupakan satu-satunya tempat yang aman,” katanya.

Kiai Khazin yang kemudian mengungsi ke Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Sitobondo. Pesantren ini, oleh Belanda dinyatakan sebagai Heillige Zone (zona suci) yang merupakan daerah terlarang bagi tentara Belanda. Artinya, tentara Belanda dilarang keras untuk memasuki kawasan tersebut, walau untuk menangkap tokoh dan pejuang kemerdekaan sekalipun. Sehingga, pondok pesantren dijadikan sebagai penyembunyian dan sarang pelarian gerilyawan pasukan Indonesia.

Datanglah Sepucuk Surat kepada Kiai Abdullah Sajjad, taktik licik Belanda untuk menangkap beliau. Baca selengkapnya⇒