Kiai Abdullah Sajjad: Pejuang Kemerdekaan yang Syahid Di Ujung Senapan Belanda

Setelah empat bulan di pengungsian, datanglah sepucuk surat yang ditujukan kepada Kiai Abdullah Sajjad yang berisi pernyataan bahwa Guluk-Guluk aman terkendali, dan Kiai Abdullah Sajjad dimohon untuk kembali ke Pesantren Annuqayah. Sebelum surat itu disampaikan kepada Kiai Abdullah Sajjad, pihak pimpinan pesantren Annuqayah yaitu Kiai Mohammad Ilyas dan Kiai Idris melakukan musyawarah, dan akhirnya keduanya pun menyetujui.

Kiai Abdullah Sajjad pun kembali ke Pesantrren Annuqayah. Mendengar kedatangan Kiai Abdullah Sajjad, sontak saja masyarakat berkunjung ke pesantren untuk menemuinya. Di saat Kiai Abdullah Sajjad sedang bercengkrama dan menjamu para tamu di Musala, sehabis beliau melaksanakan salat Magrib berjamaah, tiba-tiba serdadu Belanda datang dan menagkap beliau. Rupanya, surat tersebut merupakan taktik licik Belanda untuk menangkap Kiai Abdullah Sajjad dengan iming-iming untuk berunding.

“Memang ada mata-mata Belanda untuk mencari tahu keberadaan Kiai Sajjad, ada yang bilang mata-mata itu mengirim surat untuk beliau agar kembali ke Latee. Mata-mata itu mengirim surat perundingan damai, waktu itu sore atau Asar. Memang, warga sekitar Latee juga katanya yang jadi mata-mata waktu itu. Dan pengkhianat itu juga yang memberi tahu kepada Belanda kalau Kiai Sajjad sudah kembali ke Latee. Setelah salat Magrib itu, dijemput oleh serdadu Belanda. Kemudian beliau lebih memilih menyerahkan diri untuk menghindari kontak fisik antara santri dan masyarakat di Latee. Kiai Sajjad dibawa ke Kemmisan oleh Belanda. Sebenarnya sudah hampir terjadi kontak fisik di Latee, tapi kemudian beliau mengatakan, ‘Sudah, bawa dan bunuh saja saya, asal santri dan masyarakat di sini aman’,” ujar Lora Nobel mengisahkan sang buyut.

Baca Juga:  Anggadipa, “Plt Raja” Sumenep Yang Tak Pulang
Ket.Foto: monumen tempat dimana Kiai Sajjad syahid sebagai pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. (Mamira.ID)

Kemudian, Kiai Abdullah Sajjad dibawa ke lapangan Guluk-Guluk yang saat ini lebih dikenal dengan Lapangan Kemmisan, satu kilometer ke arah utara dari pesantren. Di sanalah pimpinan barisan Laskar Sabilillah itu gugur. Beliau wafat di depan regu tembak Belanda.

“Jadi, nama Kiai Sajjad itu bukan nama sematan atau semacamnya, itu nama daging memang. Nama asli sejak baru lahir itu. Memang, Kiai Syarqawi itu memberi nama ‘Abdullah Sajjad’ agar puteranya itu menjadi orang ahli sujud, dalam artian ahli ibadah. Saya tidak tahu kalau ada yang mengatakan Kiai Sajjad ditembak saat bersujud. Tapi beliau memang meminta izin untuk melaksanakan salat sunnah terlebih dahulu. Salat sunnah mutlak, bukan salat sunnah yang lain. Jadi, mungkin agar wafatnya sempurna jika selesai salat,” tutur Lora Nobel.

Baca Juga:  Pejuang Melawan Serdadu Belanda di Benteng Pertahanan Guluk-Guluk

Jenazahnya kemudian dibawa secara diam-diam oleh salah satu santri, lalu dikebumikan di lingkungan Pesantren Annuqayah. Peristiwa berkabung tersebut terjadi pada tanggal 03 Desember 1947 atau pada masa agresi II Belanda.

“Darah Kiai Sajjad itu harum, katanya. Jenazah beliau diambil saat dini hari. Itu jenazahnya sangat ringan seperti kapas. Kalau tidak salah, almarhum KH. Tsabit punya (agaduan) darah beliau. Saya dengar begitu, tapi gak tahu kalau sekarang. Darah Kiai Sajjad itu sangat wangi katanya. Yang membawa jenazah beliau dari Kemmisan ke Annuqayah itu cuma satu orang. Ada namanya yang membawa jasad beliau itu, tapi saya lupa. Santri itu yang membawa ke Annuqayah. Malam-malam itu, santri yang mencuri jasad Kiai Sajjad,” pungkasnya.

Baca Juga:  1 Sura, Merawat Pusaka, dan Menjaga Budaya dari Masa ke Masa
Ket.Foto: Asta Kiai Abdullah Sajjad dengan simbol bambu runcing dan bendera merah putih dan asta ponakan beliau Kiai Khazin. (Mamira.ID)

Untuk mengenang peristiwa tersebut, dibangunlah sebuah monumen tepat di area Kiai Abdullah Sajjad gugur sebagai syuhada. Area tersebut kini diberi pagar berupa tembok berbalut keramik. Di tengah tengahnya dibangun monumen dari semen selebar dua meter persegi dengan tinggi satu meter dengan berbalut keramik hitam. Di sana juga dijelaskan tanggal dan tahun peristiwa berkabung tersebut.

Sementara, tidak jauh dari lapangan tersebut juga dibangun tugu kemerdekaan atas kerjasama beberapa lembaga, di antaranya : Wahid Foundation Seeding Peacful Islam, Biro Pangabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah (BPMPA), Pemerintah Kabupaten Sumenep, UN Women dan terdapat bendera Jepang dengan keterangan di bawahnya ‘From the People of Japan’.

Tepat di hari kemerdekaan ini, 17 Agustus 2021, sudah sepantasnya kita mengheningkan cipta sekaligus mengirimkan hadiah doa kepada para pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia. Alfatihah.

Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di youtube:

Mamira.ID