Awal musabab diberi nama Bujuk Tamone karena banyak warga yang datang ke tempat ini dengan membawa ari-ari dari bayi yang dilahirkan dan kemudian diletakkan di sebelah barat bangunan makam yang berukuran 6×4 meter ini.
“Tamone dari bayi yang dilahirkan dibawa kesini. Karena banyak yang meletakkan ari-ari bayi di sini jadilah tempat ini dikenal dengan nama Bujuk Tamone,” imbuh nenek Fatimah.
Ada banyak sekali ari-ari di tempat tersebut, bahkan tumpukan ari-ari di lokasi Bujuk Tamone bisa menggunung hingga mencapai ketinggian 4 meter. Selama 40 hari ari-ari tersebut dijaga oleh juru kunci Bujuk Tamone. Anehnya, tumpukan ari-ari yang menggunung hingga 4 meter itu tidak mengeluarkan bau sedikitpun yang bisa mengganggu lingkungan sekitar.
Untuk pasangan suami istri yang jauh dan tidak memungkinkan untuk membawa ari-ari bayi untuk diletakkan di Buju’ Tamone, maka pasangan suami-istri tersebut bisa menebusnya dengan uang. Mereka yang bisa membawa ari-ari untuk dipersembahkan, juga dianjurkan membawa beras, kopi, gula, kelapa, jajanan pasar tujuh warna, seperti halnya sebuah kebutuhan untuk upacara ritual atau selamatan.

“Misalkan tidak bisa membawa ari-ari bayi ke sini juga tidak apa-apa, bisa digantikan dengan uang,” ucap Ibu Fatimah kepada media ini kala itu. Tidak disebutkan secara pasti berapa jumlah uang yang diserahkan sebagai pengganti atau tebusan. Uang tersebut nantinya akan dipakai untuk membeli bahan-bahan ritual atau selamatan. baca halaman selanjutnya →