Gado-gado, Blangkon, dan Warga Arab di Nusantara

MAMIRA.ID – Sebuah foto pada suatu masa tayang di Matahari, salah satu surat kabar Melayu di masa Kolonial Belanda. Foto yang selanjutnya sempat memantik reaksi warga Arab di Nusantara kala itu. Mengapa?

Sejatinya tak ada yang aneh dari foto tersebut. Tampak tiga orang duduk di kursi rotan pada serambi sebuah rumah. Dua lelaki mengenakan beskap (surjan) dan blangkon, dengan seorang perempuan berkebaya di tengah keduanya. Salah satu dari dua lelaki ialah Abdul Rahman (A.R.) Baswedan, yang secara nasab merupakan keturunan Arab. Bisa dilihat dari nama belakangnya, yang menunjukkan salah satu marga keturunan Arab non sayyid asal Yaman (Hadramaut).

Gado-gado, Blangkon, dan Warga Arab di Nusantara
A.R. Baswedan (kanan) dengan pakaian surjan dan blangkon. (Sumber foto: id.m.wikipedia.org)

Akibat foto yang terbit pada 1 Agustus 1934 itu, Baswedan dianggap menghina dan menurunkan derajat, terutama bagi kalangan sayyid. Apalagi, dalam sebuah tulisan yang dimuat di edisi yang sama, Baswedan menulis: “Di mana seseorang dilahirkan, di situlah tanah airnya.”

Baca Juga:  Lesap, Pemuda di Antara Sejarah dan Legenda (Bagian 1)

Tak hanya itu, dalam teks berbahasa jawa, foto itu tertulis: apakah foto ini tiada meroepaken peranakan Arab dari generatie jang aken dateng. Yang artinya apakah foto ini tidak merupakan (gambaran) peranakan Arab dari generasi yang akan datang?

Sebenarnya Baswedan hanya bermaksud mengirimkan pesan dalam foto uniknya tersebut, bahwa meski ia berdarah Arab, namun dirinya dilahirkan dan dibesarkan di Indonesia.

Seperti diketahui, orang-orang Hadramaut meninggalkan tanah air mereka di Yaman Selatan yang tandus sudah sejak waktu yang relatif lama. Demi memperbaiki hidup, mereka berdiaspora ke berbagai belahan dunia, termasuk ke Nusantara sendiri yang secara bertahap dimulai kurang lebih sejak abad 19 Masehi. Mereka berdagang, mengajarkan agama, berasimilasi dengan penduduk setempat.

Baca Juga:  Madegan, dan Situs-situs Tertua yang Tersimpan

Buya Hamka dalam sebuah suratnya yang ditujukan kepada A.R. Baswedan tertanggal 21 November 1974, menulis begini: “Arab Indonesia dibesarkan dengan gado-gado, bukan dengan mulukhia. Dengan durian, bukan dengan kurma. Dengan sejuknya hawa gunung, bukan dengan panasnya padang pasir. Mereka dihidupkan bukan di pinggir Dajlah dan Furat, tapi di pinggir Musi, Kapuas, Bengawan, dan Brantas. Lebih gurih minyak kelapa daripada minyak samin. Sebab itu jalan selamat bagimu, di hari depanmu ialah leburkan diri ke dalam bangsa ibumu. Tanah airmu ialah Indonesia!”

Pemilik nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah itu hanya menegaskan pada seorang Baswedan. Sebab, jalan itu sudah diambil A.R. Baswedan dan orang-orang keturunan Arab di Indonesia untuk menjadikan Indonesia sebagai tanah air mereka, bukan Hadramaut. Dan kini mereka adalah warga negara Indonesia. Dirgahayu Republik Indonesia!

Baca Juga:  Raden Abdul Rachim Pratalikrama: Putra Madura Perintis Kemerdekaan RI

(Diambil dari historia.id dan beberapa sumber lain dengan sedikit tambahan)