Asmara Berujung Prahara: Kisah Cinta Patih kepada Ratu Tirtanegara

Tewasnya Patih Purwanegara

Singkat cerita, mendengar raja tengah di pendopo dan hanya ditemani dua pengawal, sesegera mungkin Patih Purwanegara menuju keraton dengan penuh amarah, dan membawa sebilah pedang.

Patih Purwanegara pun mulai melangkah dengan penuh amarah dan dendam, tenaganya hanya terfokus  untuk membunuh, tanpa memperhitungkan apa akibatnya. Tanpa pikir panjang, sesampaikan di pendopo, sang patih menghunus pedangnya yang sejurus kemudian menganyun-ayunkannya, Bindara Saot pun hendak meladeni tantangan Patih Purwanegara tersebut. Namun, Ratu Tirtanegara mencegahnya untuk tidak beranjak dari tempat duduknya.

Nafsu amarah dan dendam kadung meliputi sang patih, pedang yang terhunus itu kemudian diayunkan ke arah Bindara Saot, namun meleset. Sabetan pedang tersebut mengenai tiang pendopo, tertancap dan tidak bisa dicabut.

Baca Juga:  Kiai Ali: Maha Guru dari Tanah Barangbang (Bagian II)
Ket.Foto: Salah satu tiang pendopo yang terkena sabetan pedang Patih Purwanegara. (Mamira.ID/Warist)

Siasat sang menteri dan Kiai Sawunggaling pun dilaksanakan. Kiai Sawunggaling menghunuskan kerisnya dan menancapkannya ke tubuh Patih Purwanegara. Meski terkena tusukan sebilah keris, Patih Purwanegara tetap hendak melawan, namun takdir berkata lain. Sejurus kemudian, sang eksekutor yang tak lain adalah Kiai Singatruna pun mengambil langkah dengan sebuah tombak di tangannya, tombak tersebut ditancapkan ke tubuh Patih Purwanegara yang membangkang tersebut. Sang pembangkang roboh, dan tak kuasa menahan serangan dua bersaudara, hingga menghembuskan nafas terakhirnya.

“Tombak Kiai Singatruna bernama se sakepphel  sampai saat ini masih ada, tapi hanya tinggal gagangnya saja, dan biji tombaknya dibuang karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti pembalasan dari keluarga Patih Purwanegara. Orang Madura bilangnya ‘tako’ badha se alorok’, ” ujar Bapak I Bagus Salam, salah satu keturunan dari Kiai Singatruna.

Baca Juga:  Kiai Abdul Qidam: Leluhur Para Raja Sumenep dan Ulama Besar di Kawasan Tapal Kuda

Penghargaan Raja kepada Kiai Sawunggaling dan Kiai Singatruna

Atas pengorbanan dan jasanya, keduanya mendapat penghargaan yang luar biasa dari raja kala itu, yaitu kenaikan pangkat secara anumerta. Kiai Sawunggaling diangkat menjadi menteri, sedangkan Kiai Singatruna diangkat menjadi patih, menggantikan Purwanegara yang telah meninggal akibat perbuatannya sendiri.

Pasarean Kiai Singatruna terletak di Asta Tinggi Sumenep, tepatnya di area bawah atau satu komplek dengan pemakaman para patih keraton. Yang dikenal dengan sebutan komplek Asta Raden Entol Anom (Patih Raden Anggadiwangsa).

Ket.Foto: Atas atau pasarean Kiai Singatruna/Singotruno (Mamira.ID/Warits)

Sedangkan, pasarean Kiai Sawunggaling terletak kurang lebih 200 meter sebelah selatan Asta Pangeran Hamzah di Desa Kebunagung, Sumenep, bersebelahan dengan cungkup salah satu putri dari Sultan Abdurrahman Pakunataningrat.

Baca Juga:  Makamnya Dahulu Dikelilingi Sungai, Jasad Raja Sumenep Ini Lenyap Kala Dikuburkan
Ket.Foto: Asta atau pasarean Kiai Sawunggaling. (Mamira.ID/Warits)

Kijing dan nisan keduanya masih asli tanpa pemugaran sama sekali. Hanya saja, pasarean Kiai Sawunggaling tampak sulit untuk diziarahi, karena aksesnya yang sulit, medannya penuh dengan semak belukar, dan rerumputan yang berduri. Mestinya, pasarean keduanya perlu diperhatikan lagi sebagai salah satu situs bersejarah era naiknya Bindara Saot ke singgasana Keraton Sumenep.

Jangan lupa tonton video Mamira.ID di Youtube:

Penulis: Abd. Warits

Editor: Mamira.ID