Wabah Thaun dan Hukuman Raja Sumenep kepada Kiai Gurang Garing

Dalam kisah yang lain juga diceritakan, konon beliau pernah ditawarkan menjadi hakim negara oleh penguasa Keraton Sumenep. Entah pada era pemerintahan siapa, beliau hendak diangkat menjadi hakim negara. Kiai Gurang Garing diperkirakan hidup sekitar tahun 1200 H akhir dan 1300 H awal.

Namun, tawaran jabatan sebagai hakim oleh sang raja, beliau tolak. Penolakan tersebut bukan tanpa sebab, melainkan karena beliau selalu rindu akan pesantren dan tidak ingin meninggalkan para santrinya guna pengembangan pesantren dan agama Islam. Tawaran jabatan mentereng tersebut tidak menggoyahkan hatinya atas kecintaannya terhadap dunia pendidikan dan penyebaran Islam.

Penolakan jabatan hakim oleh Kiai Gurang Garing membuat sang raja marah. Sehingga sang Kiai mendapat hukuman. Sebagai hukuman kepada sang Kiai, Raja meminta untuk mengisi gentong raksasa yang berada di dalam keraton. Kondisi pada saat itu adalah musim kemarau. Secara logika, akan merasa kesulitan mengisi gentong tersebut. Di sana-sini terjadi kekeringan, sumur-sumur pun banyak yang tak berisi air lagi. Tak terkecuali, sungai yang terlihat hanyalah hamparan batu tanpa air. Sang raja yakin bahwa kiai itu tidak akan mampu menjalankan tugas sebagai hukuman atas penolakannya menjadi seorang hakim negara.

Baca Juga:  Kiai Baroya: Penerus Estafet Perjuangan Kiai Faqih

Musim kemarau panjang yang melanda negeri Sumenep kala itu, kini menjadi sebuah kesejukan. Sebab, air untuk kebutuhan keraton sudah bisa terpenuhi saat Kiai Gurang Garing mendapat hukuman berupa perintah mengisi gentong raksasa. Kuasa Tuhan Rabbul ‘Aalamiin memang selalu menyertai orang- orang dekat dengan-Nya. Kiai alim itu memanjatkan doa, dan permohonan doa sang wali itu pun diijabah. Terjadi mendung tebal di atas langit, awan hitam nan tebal tersebut tampak mengikuti sang Kiai ketika melaksakan tugas atau hukuman. Mendung tebal tersebut tampak berhenti di atas gentong yang menjadi tempat penampungan air untuk kebutuhan keraton.

“Kiai Agung Gurang Garing itu memang wara’, selalu mendekatkan diri kepada Allah dan segala ucapannya terjadi dengan nyata, atau orang Madura bilang “mandi pangocap, mandi akadiya rassana cabbi (Perkataannya menjadi nyata, nyata seperti rasanya cabai),” ujar Lora Abdullah Khawas Bil Faqih, salah satu keturunan dari Kiai Gurang Garing jalur Nyai Andawiyah yang kini eksis dalam dunia pesantren dan madrasah di daerah Tamedung, Batang Batang.

Gemercik air mulai turun menandakan terjadinya hujan. Namun apa dikata, hujan itu hanya turun tepat di atas bibir gentong raksasa itu. Sementara, area keraton yang lain tidak ada hujan sama sekali. Sehingga dengan tanpa susah payah, sang Kiai itu mengisi wadah tersebut. Tak begitu lama gentong itu penuh dengan air. Raja pun terkejut, sebab beliau mampu mengisi air dalam waktu sekejap dan tanpa susah payah mencari air ke luar keraton.

Baca Juga:  Pangeran Letnan: Pemimpin Pasukan Perang Sumenep Melawan Belanda di Aceh

Atas kejadian itu, sang raja pun mengakui kalau Kiai Gurang Garing bukanlah orang sembarangan, melainkan wali Allah dan kekasih para Nabi, dan segala sesuatunya sudah kehendak Sang Khalik. Sebab itu kemudian, kiai bernama asli Sayyid Mahfudz dikenal dengan sebutan Kiai Gurang Garing. Nama laqab yang diambil atas kejadian di luar nalar, yakni bisa mengisi gentong raksasa dalam waktu sekejap. Diambil dari kata “Jurang Kerreng” (Jurang Kering) hingga pelafalannya menjadi lebih mudah yakni Gurang Garing.

Ket.Foto: Asta Kiai Gurang Garing tampak dikelilingi pagar besi. (Mamira.ID)

Asta Kiai Gurang Garing

Asta Kiai Gurang Garing terletak di Desa Lombang, Kecamatan Batang-batang, Sumenep. Lokasi pemakaman tampak berjejer rapi di atas gundukan tanah berpasir. Area kompleks pasarean Kiai Gurang Garing telah mendapat perhatian dari berbagai pihak. Mulai dari anak cucu keturunannya, bahkan dari pihak Pemerintah Desa Lombang. Kini, kondisi asta beliau telah dikelilingi pagar tembok termasuk maqbarah beliau yang dikelilingi pagar besi, dibangun gapura, tempat para peziarah memanjatkan doa atau mengaji, dan dilengkapi kamar mandi serta area parkir.

Baca Juga:  Kapan Agama Islam Mulai Masuk Sumenep?

Namun di balik kemegahan itu semua, pusara beliau masih tampak asli. Mulai dari kijing dan nisan tampak masih terjaga keasliannya. Di area kompleks ini, semua makam masih asli tanpa ada pemugaran sedikit pun. Hamparan pasir menjadi simbol keagungan sang wali. Sebab, mulai dari arah pintu masuk sudah harus melepaskan alas kaki. Bukti penghormatan akan kewaliannya.

Di dalam area pasarean Kiai Gurang Garing, tepatnya di belakang maqbarah beliau, terdapat pohon bidara (Madura: Bukkol). Umumnya, pohon bidara, berduri. Namun anehnya, pohon bidara itu tampak rindang dan tidak berduri. Ini bukti kekuasaan Tuhan atas keagungan serta kewalian dari sosok agung dari tanah Lambi Cabbi itu.

“Meski musim kemarau, pohon bidara itu masih tetap hidup, rimbun, dan selalu berbuah. Bahkan, sampai para peziarah dibuat tidak menyadari dengan kondisi pohonnya yang tak berduri itu,” pungkas Lora Abdullah Khawas Bil Faqih.

Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di youtube:

 

Mamira.ID