Seperti pada umumnya, gong memiliki perlakuan khusus alias tak bisa diperlakukan sembarang rupa. Oleh karena itu, tepat di samping Gong tengahan atau kempul, diletakkan seperangkat sesaji yang terdiri dari aneka nasi rasol, damar kambang, segelas kopi, air berisi daun kelor, kain putih, dan gerabah atau polo’ yang berisikan bedak yang sudah dilarutkan air.
Setelah semua tamu berkumpul, salah seorang yang di antara mereka kemudian menyalakan dupa hio sebagai pertanda dimulainya acara. Seorang yang disepuhkan kemudian mulai memimpin pembacaan doa tahlil yang secara khusus ditujukan untuk Kiai Mat Kholil.
Ketika selesai, sebagian dari mereka terutama yang sepuh kemudian langsung memposisikan diri di depan aneka tabuhan tradisional itu yang usianya sudah lebih dari satu abad.
Sementara yang muda juga menyesuaikan posisi duduknya. Mereka mempersiapkan diri untuk menyimak dengan seksama rangkaian acara yang tak kalah sakralnya. Sebuah rangkaian acara yang konon banyak dinanti-nanti oleh para tamu undangan karena aneka gending tambur ciptaan sang Kiai akan segera dimainkan.

Pak El, salah seorang niyaga yang dituakan kemudian mulai mempimpin permainan. Ia duduk bersila di depan kenong. Mula-mula untuk memulai tabuhan, ia memberi komando dengan mengetuk beberapa bagian kenong, yang kemudian secara bergantian para niyaga lainnya turut memainkan perangkat gamelan yang ada didepannya. Sontak dalam sekejap ruangan itu menjadi hening dan syahdu dengan alunan gending.
Permainan gamelan itu dibagi menjadi sembilan bagian mengikuti jumlah gending tambur yang dicipatakan sang Kiai.
Tak ada nama khusus terkait judul dari masing-masing bagian dari gending tersebut. Hanya saja beberapa niyaga memberikan penamaan secara impromptu atau spontan. Penamaan itu didasarkan pada ritme musik yang dimainkan disetiap bagiannya. Misal tak-kotak ajam, pojian dan Indonesia merdeka.
Di sela-sela acara, kalebun Imam menuturkan, bahwa gending tambur yang dimainkan secara berurutan itu diyakini berisi pesan-pesan kehidupan dan kebaikan dari penciptanya.
“Gending itu sejak dulu menjadi pembuka dari gending hiburan lainnya atau acara ludruk yang sering dipentaskan oleh kelompok kesenian dibawah asuhan sang Kiai,” terangnya.
Ia juga menambahkan jika gending tersebut terakhir dimainkan pada tahun 1985, sebelum akhirnya diperdengarkan kembali sekitar tahun 2000an saat perayaan acara Haul Kiai Mat Kholil yang rutin diselenggarkan seminggu setelah hari raya Idul Adha.
Setelah sembilan gending tambur selesai dimainkan, para niyaga kemudian berganti posisi tempat duduk. Selanjutnya mereka memainkan kembali gending jung-kejungan.
Seorang dari tamu mengambil posisi sebagai tokang kejung. Ia secara khusus menyanyikan bait-bait pujian dan cerita perjalanan yang berkaitan dengan perangkat gamelan pusaka milik Kiai Mat Kholil.
Gending kejungan itu menjadi penanda bagi para tamu dan tetangga sekitar untuk mengambil air sisa jamasan gamelan dan benda-benda pusaka dari sang Kiai. Air ini diyakini oleh masyarakat setempat dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan memberikan keselamatan.
Gending kejungan dimainkan cukup lama hingga matahari tepat berada ditengah-tengah bumi. Sebagai akhir dari jalannya rangkaian acara sakral itu, sang tuan rumah kemudian membagikan berkat kepada para niaga.