Menyadap Air La’ang
Rupanya, bunga atau mayang siwalan tidak bisa langsung menghasilkan air la’ang. Butuh proses panjang yang harus dilakukan Sahawi sebelum menikmati berliter-liter air yang kaya akan manfaat itu.
Sebelum bisa disadap airnya, bunga manggar harus dijepit (Madura: ekaremo) setiap dua hari sekali hingga setengah bulan lamanya. Ada alat penjepit khusus yang terbuat dari kayu pipih memanjang, kira-kira nyaris satu meter, yang disebut Pangaremo.
Setelah melewati proses tersebut, bunga manggar atau manyang, warga Desa Pragaan Daya menyebutnya, disayat-sayat agar mengeluarkan tetesan air la’ang.
Setelah itu, barulah bunga manggar bisa disadap untuk diambil sarinya. Kata Sahawi, satu pohon siwalan bisa menghasilkan 10 liter air la’ang setiap harinya.
Dulu, sebelum ada ember seperti saat ini, Sahawi menggunakan bambu sebagai alat untuk menampung sadapan air la’ang. Kemudian hasil tampungan tersebut dimasukkan ke dalam temba, wadah berbentuk timba yang terbuat dari daun siwalan (Madura: rakara) itu sendiri.
“Kalau sekarang sudah pakai ember, kalau dulu pakai bambu. La’ang hasil sadapan di bambu kemudian dituangkan ke dalam ember yang terbuat dari rakara,” paparnya.
Peralatan Menyadap
Setiap mau memanjat, Sahawi dipastikan selalu membawa peralatan wajib. Alat-alat yang dibawa berupa dua celurit kecil dengan sarung yang terbuat dari kayu. Keduanya disebut Pangerat dan Caplak.
Kemudian ada Balaju: cantolan temba atau ember untuk wadah la’ang, dan Pangaremo: alat penjepit bunga manggar.
Selain itu, ada botol kecil yang berisi minyak pengusir nyamuk dan botol plastik bekas minuman berisi serbuk putih yang diusapkan ke permukaan telapak tangan. Yang terakhir fungsinya agar tangan Sahawi tidak licin saat dia memanjat pohon siwalan.
“Celurit ini untuk menyayat dan memotong, cantolan ini buat mengaitkan ember wadah la’ang, dan yang ini penjepit manyang. Kalau peralatan tidak lengkap, percuma,” papar Sahawi dengan nafas sedikit tersengal, karena baru turun dari atas pohon siwalan.
Di samping Pangerat (penyayat dan pemotong), Pangaremo (penjepit), Balaju (tempat mengaitkan wadah la’ang), dan Temba yang sekarang berganti ember, umumnya alat untuk menyadap la’ang ada Salampar dan Tambut: wadah Laro.
Atwi, salah satu penyadap la’ang asa Desa Andulang, Kecamatan Gapura menjelaskan, Laro adalah kulit pohon yang di tumbuk kasar dan ditambahkan ke dalam la’ang.
“Tujuannya untuk menstabilkan tingkat keasaman (pH) dan memperlambat proses fermentasi alami pada la’ang (nira siwalan) supa,” jelasnya, Sabtu (30/01/2021) pagi.
Manfaat Air La’ang
Selain sebagai bahan dasar gula merah dan cuka, rupanya air la’ang yang masih segar juga bisa dijadikan minuman isotonik alami dan dipercaya untuk menjaga stamina karena mengandung ion dan mineral.
Bahkan, sebagian orang meyakini air la’ang mampu mengatasi sejumlah penyakit, seperti ginjal hingga kencing manis.
“Seain dibuat gula merah, bisa juga diminum langusung untuk menghilangkan haus dan menyehatkan badan. Terkadang dibuat minuman rutin oleh orang yang sakit ginjal dan kencing manis,” ujar Sahawi yang kemudian beranjak memanjat pohon siwalan lainnya yang belum selesai.
Badan lelah dan wajah letih tampak jelas di wajah Sahawi. Tapi ia masih harus memanjat pohon demi pohon lagi agar air la’ang tidak menjadi arak karena terlambat panen.
Di saat musim penghujan seperti saat ini pendapatan Sahawi agak berkurang, karena tak bisa setiap hari bisa menyadap bunga aren tersebut. Jika memaksa menyadap, air la’ang tidak lagi murni karena bercampur air dan mempengaruhi kualitas gula.
Lalu, sementara matahari mulai tenggelam ke peraduannya, kegiatan menyadap air la’ang yang lazim disebut nae’ itu akhirnya selesai. Air la’ang yang sudah terkumpul dibawa Sahawi pulang untuk dibikin gula merah. Terkadang hasil sadapannya itu juga dia jual secara langsung pada pengepul.
“Kalau sudah diambil semua dari pohon (siwalan), air la’ang-nya dibawa pulang. Dibuat gula merah. Gula merahnya dijual ke pengepul. Dari gula merah itu penghasilan saya per 1kg seharga Rp 13 ribu,” terangnya.
Kendati hidupnya banyak bergantung pada air la’ang, Sahawi masih punya keyakinan bahwa hidupnya akan lebih baik. Meski hingga saat ini penghasilannya hanya dari bertani jagung dan air bunga pohon kehidupan itu, Sahawi berharap anak-anaknya kelak tak punya nasib sama seperti dirinya.
“Tuhan maha penyayang, pasti sayang kepada orang seperti saya. Semoga anak saya tidak punya nasib seperti saya, susah sekali mendapatkan pemasukan yang cukup,” tandas Sahawi sembari melepas senyum.
Penulis: M. Zainuri
Editor: Rafiqi