Tajin Sora dan Tradisi Ter-Ater pada Bulan Suro di Madura

Mamira.IDBulan Muharram merupakan tahun baru dalam Islam. Selain diistimewakan dan dimuliakan, bulan Muharram memiliki banyak sejarah karena banyak kejadian-kejadian besar terjadi pada bulan ini. Bulan Muharram juga menjadi bagian dari empat bulan haram dalam kalender Hijriyah.

Bulan Muharram disebut bulan Suro oleh orang Jawa, dan bulan Sora bagi orang Madura. Di Madura sendiri, ada beberapa tradisi yang dilaksanakan pada bulan haram ini, di antaranya adalah rokat pakarangan dan ter-ater.

Makna dari ter-ater itu sendiri merupakan pemberian atau hadiah yang diantarkan ke rumah penerimanya, yang biasanya berupa makanan. Ter-ater memang sudah menjadi bagian dari tradisi masyarakat Madura pada bulan atau waktu-waktu tertentu, termasuk di bulan Sora ini. Kegiatan ter-ater ini diaplikasikan dengan menghantarkan barang (terutama makanan) pada sanak keluarga atau tetangga yang ada di sekitar. Namun, tidak jarang tradisi ini juga dilakukan dan ditujukan pada sanak saudara yang jauh.

Dalam bulan Sora ini, warisan tradisi nenek moyang (Madura: Juju’) yang masih dilaksanakan oleh orang Madura adalah ter-ater berupa bubur, masakan yang familiar dengan sebutan “tajin sora oleh orang Madura. Tradisi ter-ater di bulan Sora ini dilakukan oleh penduduk desa dengan membawa bubur putih (tajin pote/tajin sora) kepada sanak famili, kerabat, dan para tetangga.

Baca Juga:  Mengenal Sosok Penulis Jejak Sejarah Keraton Sumenep

Ter-ater berupa tajin sora itu bukanlah sebuah tradisi atau simbol ritual semata. Ada banyak nilai-nilai kebaikan di balik tradisi ini. Dalam konteks agama, manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial (homo socius) yang senantiasa membutuhkan bantuan dan pertolongan orang lain. Dengan ukhuwwah Islâmiyyah, kehidupan dalam bermasyarakat senantiasa harus selalu harmonis. Islam juga mengajarkan umatnya untuk memperbanyak sedekah dengan mengharap ridha Allah, imbalan rezeki yang berlimpah yang dapat dirasakan di dunia, serta pahala yang bisa dipetik di akhirat kelak.

“Para pendahulu atau leluhur kita menganjurkan untuk memperbanyak ibadah dan bersedekah di bulan ini. Bahkan, para ulama juga mengatakan bahwa bersedekah pada bulan ini (Muharram) merupakan sedekah sebagai penolak bala. Maka, sudah selayaknya kita mengikuti apa yang dianjurkan oleh para ulama dengan memperbanyak sedekah. Dan itu juga dilakukan oleh para leluhur kita,” terang K. Tuffahah, salah satu sesepuh Dusun Pangelen, Desa Prenduan, Kecamatan Pragaan.

Baca Juga:  Makam Joko Tarub dan Rimbun ‘Bambu Cinta’ di Pamekasan

Meski orang Madura tidak ada yang tahu bagaimana awal mula munculnya tradisi mengantar tajin sora atau ter-ater tajin, di Kabupaten Sumenep khususnya, tradisi ini masih terus dilestarikan hingga saat ini.

Di sepanjang bulan Muharram ini akan berseliweran orang-orang. Para tetangga bergantian membuat menu tajin sora. Kemudian, mereka saling tukar atau mengirim dari satu rumah ke rumah yang lain dengan menggunakan piring yang dilapisi daun pisang muda. Jadi, sudah bisa dipastikan pula, bahwa menu tajin sora ini hanya bisa didapatkan saat bulan Suro saja.

“Kalau sudah memasuki bulan Sora, bisa-bisa sampai tidak termakan tajin itu. Saking banyaknya orang yang nganterin. Arapa mon ganteyan, bada se agabay lagguna pole (kenapa kalau gantian, ada yang bikin besok lagi),” kata K. Tuffahah seraya tertawa.

Memang, kadang sampai dua hingga empat orang yang membuat tajin, kemudian mereka bertukar-tukaran tajin yang telah mereka bikin. Meski menu yang dibikin sama, namun sudah pasti rasanya berbeda, karena topping atau tambahan sebagai pelengkap tajin berbeda-beda.

Baca Juga:  Buju’ Pongkeng: Asta yang Diyakini Mempermudah Rejeki dan Enteng Jodoh

Untuk topping sendiri bermacam-macam. Tetapi, pada umumnya menggunakan telor dadar yang diiris-iris, irisan daun bawang, irisan cabe merah, daun seledri, dan kacang tanah atau kacang kedelai. Namun, sebagian yang lain ada yang pakai perkedel, pakai daging ayam suir, dan ada pula yang menggunakan daging sapi yang dipotong dadu kecil-kecil.

Tekstur tajin sora mirip bubur ayam pada umumnya. Kuahnya juga nyaris sama. Bedanya, kalau bubur ayam, lumrahnya, kuahnya memakai kaldu ayam. Meskipun ada beberapa bubur ayam yang ditemui di penjual bubur ayam, sebagian memakai kuah santan juga. Tapi, kalau untuk tajin sora ini dipastikan hanya pakai kuah santan.

“Ya, semoga tradisi baik ini, ter-ater tajin sora pada bulan Muharram tetap lestari hingga anak cucu nanti. Bersama dengan pengharapan keselamatan, semoga kita semua selalu dalam nikmat sehat, terhindar dari cobaan dan ujian kehidupan yang menyengsarakan. Amien Ya Robbal ‘Alamin,” pungkas K. Tuffahah.

Jangan lupa juga tonton video Mamira.ID di youtube:

Mamira.ID