MAMIRA.ID – Tingginya curah hujan di awal pekan ini membuat beberapa daerah di Sumenep dikepung oleh air. Kepungan air itu tak hanya terjadi di daerah perkotaan, namun juga terjadi di beberapa pedesaan. Kehadirannya yang selalu datang setiap tahun, membuat warga yang terdampak merasa tidak nyaman.
Jika menengok kembali ke belakang, banjir yang terjadi di wilayah Sumenep bahkan beberapa daerah di Madura bukanlah fenomena baru. Di akhir abad ke 19 hingga awal abad ke 20, kabar banjir yang terjadi di Sumenep seringkali menghiasi media masa.
Seperti, yang dikabarkan koran Bataviasche Handelsblad terbitan tahun 1888, memberitakan kejadian banjir yang terjadi di Kota Sumenep. Banjir yang datang pada bulan Mei itu mengakibatkan banyak fasilitas umum dan kampung-kampung tergenang, dampaknya banyak penduduk mengungsi ke daerah yang lebih tinggi.
Kejadian serupa kembali terjadi pada tahun 1903, di bulan yang sama, banjir kali ini disebabkan oleh meluapnya beberapa sungai utama. Seperti sungai Kebonagung, Sungai Karangpanasan, dan Sungai Baraji. Luapan sungai Karangpanasan mengakibatkan Kampung Pabian dan Marengan yang merupakan kampung para pembesar Eropa dan Cina bermukim terendam.
Kejadian berulang itu akhirnya dianggap masalah yang serius, pemerintah Kolonial pada tahun berikutnya menggelontorkan dana senilai f.32.210 untuk melakukan pengerukan dua Sungai, antara lain Sungai Karangpanasan dan Sungai Kletek yang berada di desa Kacongan. Dampaknya, di tahun-tahun kemudian tak terdengar lagi kampung Eropa itu tenggelam oleh air bah.
Sayangnya pemerintah kala itu hanya berfokus pada lingkungan tempat mereka bermukim. Buktinya banjir masih kembali ditempat lain bahkan hampir terjadi merata di seluruh wilayah.
Tahun 1906 banjir terjadi hampir disebagian besar wilayah pusat kota, mengakibatkan banyak jembatan dan jalan rusak parah.
Musibah banjir paling besar sepanjang sejarah adalah kejadian banjir pada tahun 1909. Banjir itu menenggelamkan sebagian wilayah di Ambunten. Banyak rumah-rumah kayu rusak dibawa arus, karena ketinggian airnya mencapai hingga 2 meter lebih. Tak hanya itu, musibah tersebut juga telah mengakibatkan korban jiwa. Istri salah satu pejabat pribumi setempat dikabarkan hanyut terbawa arus.
Menurut laporan lain, banjir yang terjadi pada tahun itu membawa kerugian yang cukup besar. Kerugiannya ditaksir senilai f. 100.000. Nilai tersebut, belum termasuk nilai kerugian akibat dampak banjir Sungai Kebonagung yang juga telah membuat beberapa rumah dan salah satu gudang kapuk tenggelam.
Kejadian besar itu membuat pemerintah kolonial jera. Pemerintah mulai menggelontorkan dana besar-besaran untuk memperbaiki 3 buah sungai utama diantaranya Sungai Kebonagung, Sungai Jepun di Lenteng dan Sungai di Saronggi. Tahun 1904 saja, dana yang digelontorkan untuk proyek prestisius tersebut senilai f. 670.000. Usaha pemerintah kolonial dalam memperbaiki sungai-sungai utama di Sumenep itu akhirnya mendapat apresisasi dari masyarakat.
Dalam sumber lain disebutkan, bahwa perbaikan sungai itu sebenarnya bukan semata-mata hanya untuk membebaskan kota Sumenep dari banjir, namun juga untuk mendukung program lain dalam bidang pertanian.