Mamira.ID – Dalam kehidupannya, seringkali manusia suka memberi nama atau julukan terhadap benda-benda atau suatu peristiwa yang terjadi pada masanya. Baik itu pada nama suatu benda, nama orang, bahkan nama suatu tempat atau daerah. Tak terkecuali penamaan pada daerah bernama Pragaan.
Penamaan suatu daerah bisa dikatakan untuk selalu mengingat peristiwa yang telah terjadi dan juga sebagai identitas atau lambang dari suatu daerah tersebut. Nama, julukan, sebutan, atau kata yang semakna merupakan media yang dihasilkan dari ide atau gagasan yang di dalamnya mengandung makna. Makna yang dimaksud adalah makna yang terlahir dari budaya dalam kehidupan suatu masyarakat. Misalnya, makna nama dikaitkan dengan makna alam, benda, tempat, kata sifat, atau makna nama orang-orang hebat, pintar, dan berpengaruh pada masanya.
Lalu bagaimana dengan penamaan daerah Pragaan?
Dahulu, hiduplah seorang seorang kiai yang sangat berpengaruh bernama Kiai Ragasuta. Beliau merupakan salah satu putra dari Kiai Mintorogo yang tak lain merupakan keturunan ulama dari Banten, yakni Kiai Mandiraga yang sudah diulas pada tulisan sebelumnya. Dalam kisahnya, Kiai Ragasuta diangkat sebagai bendahara keraton oleh Raja Sumenep era Panembahan Sumolo.
Karena etos kerjanya bagus, beliau diangkat sebagai patih yang ditempatkan di Prenduan dengan gelar Pangeran Raga. Dalam satu catatan kuna sumenep yang disusun R.P Moh. Saleh, Pamolokan, beliau disebut sebagai Demang Pragaan.
Sementara, dalam catatan kuna lain seperti catatan K.R.B Moh. Mahfudh Wongsoleksono Wedana, Kangean, istilah lain dari demang adalah kepala setingkat wali wilayah. Kalau istilah sekarang adalah walikota. Nah, kelak nama Pangeran Raga dijadikan nama dari wilayah tanah perdikan yaitu tanah bebas pajak hadiah dari raja kepada beliau, disingkat menjadi “Pragaan”.
Penamaan Pragaan tersebut bahkan digunakan hingga saat ini. Kini, Pragaan telah ditetapkan menjadi nama salah satu kecamatan di Sumenep. Lokasinya berada di ujung barat sisi selatan, berbatasan langsung dengan kota Gerbang Salam, Pamekasan.
Dari sini bisa ditebak siapa sebenarnya Kiai Ragasuta. Tentunya, beliau bukan sekedar pejabat keraton biasa, karena pejabat-pejabat yang diberikan tanah perdikan bebas pajak, umumnya masih kerabat sentana keraton yang disegani.
Selama menjalankan tugas di tanah perdikan itu, Kiai Ragasuta bertempat tinggal di rumah seorang saudagar yang dermawan. Klik untuk membaca kisah selanjutnya→
Tinggal di Rumah Kiai Gemma
Pada tahun 1913 M, Pragaan dipisah menjadi dua desa yaitu Pragaan Laok dan Pragaan Daya. Sedangkan nama Pragaan sendiri tetap dipakai sebagai nama kecamatan sampai sekarang. Selama menjalankan tugasnya sebagai patih, Kiai Ragasuta menempati rumah dari seorang saudagar yang dermawan dan juga sosok yang sangat peduli akan syiar Islam di sana, beliau bernama Kiai Gemma. Sampai saat ini, nama beliau masih diingat dan diabadikan menjadi nama sebuah mesjid besar di Prenduan yaitu Mesjid Besar Gemma.
“Kiai Ragasuta merupakan sosok yang sangat alim, pendiam, tegas, berwibawa, dan linuih. Selain itu, beliau dikenal karena ucapannya selalu menjadi kenyataan. Orang Madura menyebutnya dengan ‘mandi pangocap’, atau si pahit lidah dalam bahasa Indonesia,” kata Kiai Bahrum, putra Kiai Fathul Wahab, salah satu keturunan Kiai Ragasuta.
Kiai Ragasuta wafat di Prenduan dan dimakamkan di Dusun Aengsoka, Desa Pragaan Laok, Kecamatan Pragaan. Nisan beliau diganti batu marmer yang ditulis dan diukir oleh cicitnya, yaitu Kiai R. Moh Sarkawi Guno Sasmito, Mantri Cacar Panembahan Sumenep, putra dari Kiai Ragasuta III alias K.R. Miftahol Arifin Joyo Sasmito, cucu Kiai Ragasuta pada tahun 1353 Hijriyah, seperti yang tertulis dalam prasasti pada nisan. Lokasi makam beliau berjarak sekitar 5-7 meter dari jalan raya Sumenep-Pamekasan dengan dinaungi rindangnya pohon asam besar yang menambah kesejukan di saat berziarah ke sana.
“Saudara Kiai Ragasuta yaitu Nyai Teleng menghabiskan masa hidupnya di desa Baragung. Beliau juga terkenal linuih dan sakti. Konon, apabila beliau meludah ke daun, maka daun tersebut akan berlubang. Itu semua bisa terjadi karena beliau suka bertapa, bermunajat kepada Allah SWT sampai akhir hayatnya. Beliau tidak menikah dan setelah wafat dimakamkan di sebelah timur makam ayahandanya. Berjarak sekitar 30 meter di utara sumber mata air Mingsoi di Desa Baragung, Kecamatan Guluk-Guluk, Kabupaten Sumenep,” jelas Kiai Bahrum.
Kiai Ragasuta alias Pangeran Raga memiliki keturunan bernama Kiai Ragasuta II alias Kiai R.Moh Irsyad yang juga menjadi penguasa di Pragaan bergelar Ki Demang Pragaan. Sama seperti ayahandanya, beliau wafat di Sumenep dan dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga Tumenggung Mangsupati, Kampung Jeruk Purut, Desa Pamolokan, Kecamatan Kota Sumenep.
“Selain Kiai Ragasuta II alias Kiai R.Moh Irsyad, putra dari Kiai Ragasuta adalah Kiai R.Moh Latifih di Karangduak, Kota Sumenep, kemudian Kiai Rada’ie di Kapedi, Bluto. Makam beliau berdua juga ada di Pragaan berkumpul dengan makam ayahandanya,” tutur Iik Guno Sasmito yang juga merupakan salah satu keturunan Kiai Ragasuta.
Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di yuotube:
Mamira.ID