Site icon MAMIRA.ID

Menjemput Maut di Pantai Saroka, dan Loji yang Menjadi Saksi

Foto udara kawasan Patih Mangun di Asta Tinggi, Sumenep. (Foto/Mamira)

Mamira.ID BULAN Rajab baru saja berakhir. Berganti bulan barokah kedua, yakni Sya’ban. Kalender Masehi kala itu menunjukkan angka 1796. Pertanda telah hampir setengah abad masa berdirinya dinasti Saot di bumi Songennep. Dinasti baru yang sekaligus menjadi penutup era keratonisasi di ujung timur pulau garam. Sebuah penanda yang dibasahi darah dan air mata terjadi di pembuka bulan tersebut.

Matahari sudah hampir tergelincir. Suasana di dalam tembok bangunan keraton yang baru berdiri tak sampai dua dasawarsa itu tampak tegang. Beberapa tokoh penting berkumpul. Dari sikap mereka yang tampak waspada, sekaligus memancarkan aura ksatria yang siap perang, bisa ditebak: sesuatu yang bersifat ancaman, datang.

“Sudah kau periksa dan sekaligus pastikan bahwa itu berasal dari serangan meriam?” kata lelaki yang duduk di hadapan loloran itu. Yang lainnya, yang juga hadir di pendapa itu menyimak, tak bergerak. Hanya sesekali menghela nafas.

Loloran merupakan sebutan khusus bagi para penjaga Asta Tinggi. Asal kata dari lora. Dari cerita tutur, loloran sudah dibentuk sejak masa Pangeran Jimat alias Cakranegara III. Penguasa sebelum Bindara Saot.

Yang ditanya segera menjawab dengan didahului posisi kedua tangan terangkat dan mengatup, membentuk sembah. “Iya, Gusti Patih. Namun anehnya, kubah makam yang terkena bola meriam itu tidak hancur. Hanya membentuk lobang kecil di bagian atap”.

“Tidak usah heran. Itu merupakan bukti kuasa Sang Khaliq pada para KekasihNya, meski sudah tak lagi di alam dunia ini,” kata pria yang dipanggil Gusti Patih itu.

“Laporan kalian menunjukkan kesesuaian dengan laporan penjaga keraton. Yaitu mengenai keberadaan kapal asing dari negeri Inggris yang jelas mau bermaksud buruk. Mereka saat ini mendarat di Saroka. Serangan meriam itu sudah bisa dipastikan dari mereka,” tambahnya.

Meski tampak tenang, sosok sepuh yang memiliki semangat juang tinggi itu jelas naik pitam saat mengetahui bangsa asing tanpa menunjukkan tatakrama, menginjakkan kaki di bumi Songennep.

Ilustrasi berupa dialog di atas terjadi sebelum lelaki berwibawa dengan penyakit asma berat yang disandangnya itu, memutuskan memimpin langsung sebuah serangan yang ditujukan pada para serdadu Inggris yang mendarat di pelabuhan Madura Timur, tepatnya di pantai Saroka.

Sebelumnya, sosok sepuh pemilik nama Kiai Angabei atau Ngabei Mangundireja itu telah berkirim surat pada junjungannya, Kangjeng Pangeran Natakusuma I (kelak setelah berpangkat panembahan, dikenal dengan Panembahan Sumolo), penguasa Sumenep yang tengah melawat ke negeri Semarang. Surat yang berisi kabar bahwa negeri  ini kedatangan musuh, dan sang Kiai yang berupakan wazir atau wakil raja kala itu, memohon ijin untuk memimpin sementara jika sampai terjadi bentrok fisik.

“Cari kurir yang tangkas dan kuda tercepat. Surat ini harus segera sampai ke tangan Kangjeng Pangeran dengan selamat,” perintah Sang Patih. Tangannya yang keras dan kekar itu menyamarkan kesan keriput pada kulitnya. Di dalam genggaman tangan itu tampak gulungan berisi surat. Diserahkannya pada pria tegap yang bersila di hadapannya.

Dalem, Gusti Patih,” sembah pria yang merupakan seorang prajurit penerima perintah.

“Pamanda Patih, apa sudah bulat kita akan mengadu fisik?” tanya seorang Menteri berpangkat Demang.

“Mereka sudah menyerang kita dengan meriam. Jelas ini bukan persoalan yang harus disikapi dengan sekadar waspada. Karena pilihannya, kita atau mereka yang akan hancur,” jawab Sang Patih sambil kemudian mengalihkan pandangan pada prajurit yang menerima gulungan surat tadi.

“Lekas kau laksanakan. Dan pastikan itu sesuai dengan yang kuperintahkan”. Prajurit itu kembali menyembah, dan beringsut mundur.

***

Dan, adu fisik itu pun benar-benar terjadi. Seperti yang disinggung sebelumnya, hal itu sudah dimulai dengan serangan meriam tentara Inggris yang ditujukan pada bangunan Asta Tinggi. Orang-orang Britis itu rupanya mengira Asta Tinggi ialah benteng keraton. Sehingga moncong meriam ditujukan ke sana. Namun serangan tersebut hanya mengenai atap atau cungkup. Itu pun konon banyak yang meleset. baca halaman selanjutnya →

Serangan itu lantas dibalas oleh Patih Sumenep, Kiai Angabei Mangundireja dengan mengirim sejumlah pasukan barisan yang dipimpinnya langsung beserta seorang putranya. Pertempuran dahsyat pun meletus. Hanya saja perang tak seimbang, baik dari jumlah pasukan Sumenep sekaligus perlengkapan perang, yang kalah banyak dan modern dibanding milik pasukan Inggris.

Meski begitu, orang-orang Sumenep tak gentar dan tak takut mati. Mereka tetap bertahan meski banyak pasukannya yang gugur. Hingga puncaknya, Sumenep harus membayar mahal dengan nyawa putra terbaiknya. Sang Patih yang ksatria itu gugur beserta putranya, di kawasan bernama Loji. Tepat di Jumat pertama bulan Sya’ban, di tanggal 10 tahun 1725 berdasar kalender tahun Jawa.

Kubah makam Patih Mangun di Asta Tinggi. (Foto/Mamira)

“Kita harus mundur Kangjeng Rama,” kata pria muda pemberani yang tak tega melihat kondisi fisik ayahnya yang mulai lemah, dan terluka. Beberapa saat sebelum maut menjemput.

Yang diajak bicara tersenyum dengan bibir pucatnya. “Aku tahu kita tak bakalan menang. Namun kita mengulur waktu. Sampai Sang Ksatria sejati itu datang,” kata Kiai Patih.

Ksatria yang merupakan junjungannya itu memang akan datang, namun setelah ruh Patih ini melayang. Perjuangannya bertahan tak sia-sia, pasukan Inggris tak sampai menyentuh tembok keraton.

Gugurnya sang patih ini hampir bersamaan dengan datangnya Pangeran Natakusuma, yang langsung bertolak dari Semarang pasca menerima kiriman surat. Sayang, sesampainya di Saroka, pangeran yang dikenal keras itu datang terlambat.

Penguasa Sumenep yang alim dan pilih tanding itu sudah siap dengan sebilah pedang di tangannya, sementara pasukan Inggris buru-buru angkat kaki. Saat anak Bindara Saot itu sampai di Saroka, pasukan Inggris memang sudah naik ke atas kapal dan cepat berlayar. Mungkin karena mendengar kedatangan Pangeran Natakusuma.

Dikisahkan turun-temurun, kala itu Pangeran Natakusuma dalam keadaan sangat marah sehingga pedang yang dipegangnya itu tak bisa dibuka dari genggaman tangannya hingga 7 hari lamanya. Beliau merasa sangat kehilangan Patih Mangun, yang sangat dihormatinya dan dicintainya seperti orang tua sendiri.

Jenazah Kiai Ngabai Mangundireja atau yang menurut lidah orang-orang Sumenep disebut Pate Mangon dimakamkan secara militer dan mendapat penghargaan tinggi dari penguasa Sumenep. Hal itu bisa dilihat dari ornamen cungkup dan jirat makam beliau di kawasan Asta Tinggi Kebunagung.

Bisa dikata beliau pahlawan pertama dari dinasti terakhir yang menumpahkan darahnya demi bumi Jokotole. Sayang, generasi selanjutnya hingga sekarang banyak yang melupakan beliau, bahkan mungkin banyak yang sudah tak tahu kisahnya.

ASUL-USUL SANG MARTIR

Nama Pate Mangon, atau Ke Mangon atau Patih Kiai Angabei Mangundireja sudah lama terkubur bersama jasadnya. Sejarah lisan, cerita rakyat (folklore) hampir tak ada yang mengupas kiprahnya di dalam tembok Keraton Sumenep. Kecuali sebait pantun yang berisi info kematiannya yang tragis. baca halaman selanjutnya →

Raden Werdisastra dalam karya monumentalnya, Babad Songennep (1914) mengabadikan pantun itu dan kisah kematian Pate Mangon. “Jimbrit baceng, kamarong kellana maronggi; Inggris dateng, Ke Mangon mate e Loji” (Jimbrit busuk, kamarong rebusan kelor; Inggris datang, Kiai Mangun mati di Loji).

Loji merupakan nama kawasan di sekitar Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep. Rencana awal, di sekitar itu memang akan dibangun sebuah loji, namun tidak jadi. Sehingga oleh orang Sumenep disebut Loji Kantang (loji yang mulai dibangun, tapi tak berlanjut).

Potret Pelabuhan Kalianget pada suatu masa. (Foto/diambil dari kaliangettimur.blogspot.com)

Lalu, soal asal-usul Ke Mangon hanya bisa dijawab dengan analisa sejarah dan masih bersifat dugaan. “Kalau melihat namanya, Kiai Angabei atau Ngabei merupakan gelar bangsawan menengah di Jawa,” kata R. B. Muhlis, salah satu pemerhati sejarah Sumenep.

Seperti yang disebut di muka, masa Pate Mangon adalah masa bertahtanya Pangeran Natakusuma alias Panembahan Sumolo, generasi kedua dinasti Saot (1750-1929). Di masa itu pergolakan politik Sumenep sudah mulai mereda. Pergolakan yang dimulai dari beralihnya dinasti ke tangan Bindara Saot, putra Bindara Bungso alias Kiai Abdullah Batuampar hingga puncaknya dengan kematian Patih Purwonegoro.

Berlanjut pada keputusan raja bahwa siapapun keluarga dinasti sebelumnya yang kontra terhadap Bindara Saot, dipersilahkan kembali ke Pamekasan. “Dinasti sebelum Bindara Saut memang perpaduan trah Sumenep-Pamekasan, perpaduan darah Pangeran Yudanegara Sumenep dan Panembahan Ronggosukowati Pamekasan, ” kata Muhlis.

Sementara yang pro, diperkenankan tetap di Sumenep dengan menggunakan gelar Kiai dan menanggalkan titel Raden-nya. Otomatis banyak keluarga bangsawan, yang notabene sanak famili Ratu Tirtonegoro, isteri Bindara Saot, dipanggil “Ke”, tidak lagi “Radhin”.

Susunan pemerintahan juga masih diisi oleh kalangan bangsawan yang pro. Baru setelah masa Panembahan Sumolo, struktur baru, muncul. Seperti kalangan qodi atau penghulu negara, patih, menteri, jaksa, dan lain sebagainya, yang mulai bervariasi dan merupakan kombinasi antar beberapa trah.

Ada beberapa nama yang muncul, seperti Kiai Wiradipura, Kiai Demang Wangsanegara, Kiai Tumenggung Mangsupati, Kiai Angabei Mangundireja, Tumenggung Rangga Pratalikrama, Kiai Penghulu Zainal Abidin, Raden Panji Sastradipura, dan lainnya.

Selain Kiai Angabei Mangundireja, nama-nama lain itu berasal dari sanak famili Bindara Saut (sentana), baik yang Batuampar maupun Parongpong. Ada juga yang berasal dari kerabat di Lembung, tempat Bindara Saot mengaji dan mengajar di pesantren pamannya, Kiai Pekke (Faqih).

Dari nama-nama itu memang hanya Pate Mangon yang memiliki gelar Ngabei atau Angabei. Sehingga dugaan yang muncul beliau memang dari luar Madura. “Bisa jadi beliau kerabat isteri Panembahan Sumolo yang dari Semarang, yaitu keluarga Suroadimenggolo, ” duga Gus Muhlis.

Seperti disebut dalam sejarah, salah satu isteri Pangeran Natakusuma alias Panembahan Sumolo, yaitu Raden Ajeng Maimunah adalah Putri Pangeran Adipati Suroadimenggolo III, Semarang. Sang Raden Ayu ini juga ibunda dari Sultan Sumenep, Abdurrahman Pakunataningrat.

“Di masa setelah Panembahan Sumolo, bisa jadi merupakan periode kedua kiprah bangsawan Jawa di Sumenep, yang ditandai dengan hadirnya Kangjeng Kiai Adipati Suraadimenggolo V, pasca pembuangannya dari Ambon,” tambah Muhlis.

Bagaimana pun juga asal-usul Pate Mangon masih banyak menyisakan tanda tanya, dan tetap menarik untuk ditelusuri. Namun apapun dan dari mana beliau, sejarah telah membuktikan bahwa beliaulah martir pertama bumi Songennep yang gugur di ujung bedil penjajah.

Red

Exit mobile version