Site icon MAMIRA.ID

Wabah Thaun dan Hukuman Raja Sumenep kepada Kiai Gurang Garing

Ket.Foto: Komplek asta atau pasarean Kiai Gurang Garing tampak dari atas. Komplek ini terletak di Desa Lombang, Kecamatan Batang-batang, Sumenep. (Mamira.ID)

Mamira.ID – Angin sepoi-sepoi menerpa dedaunan, melambai seolah menyambut sang fajar dari ufuk timur. Gemuruh ombak senantiasa setia menemani ranting-ranting pohon berdaun lebat nan hijau. Membuat kesejukan tersendiri di daerah yang bernama Desa Lombang. Hamparan pasir putih melintang dengan jejeran pohon-pohon cemara udang menambah pesona keindahan di desa ujung timur daya kabupaten yang berjuluk Kota Keris ini.

Di balik keindahan pantai serta panorama pohon cemara udang itu, ternyata desa ini menyimpan destinasi wisata religi yang sampai saat ini masih selalu ramai akan peziarah yang datang dari berbagai daerah di Sumenep sendiri, Madura, dan Jawa pada umumnya.

Pasarean Kiai Gurang Garing, begitulah orang banyak menyebutnya. Sebuah pusara kuna berjejer rapi di atas gundukan  tanah berpasir, menambah keagungan sang Wali dalam persemayamannya. Asta Gurang Garing lokasinya tidak jauh dari wisata yang sudah kesohor, yakni Pantai Lombang. Dari arah pintu masuk Pantai Lombang, kurang lebih 1 kilometer ke arah timur, tampak sebuah pintu gapura berdiri megah di sisi kiri jalan dengan dilengkapi sebuah petunjuk arah menuju Asta Pasarean Kiai Gurang Garing.

Kiai Gurang Garing yang memiliki nama asli Sayyid Mahfudz, merupakan sosok ulama yang awalnya berkedudukan di Kampung Lambi Cabbi, Desa Gapura Tengah, Kecamatan Gapura, Sumenep. Beliau adalah putra dari Kiai Agung Sayyid, atau yang dikenal dengan sebutan Kiai Tembing. Ibunya bernama Nyai Hawa, putri dari Kiai Ali Barangbang. Kiai Agung Sayyid bersama istrinya menetap di sebuah kampung yang bernama Kampung Tembing, Desa Banjar Barat, Kecamatan Gapura, Sumenep. Sehingga, sosok Agung Sayyid dikenal dengan sebutan Kiai Tembing.

Dikisahkan, bahwasanya Kiai Gurang Garing pada masa hidupnya banyak dimanfaatkan untuk kehidupan ukhrawi, yakni mendalami ilmu agama guna kepentingan dakwah penyebaran agama Islam, khususnya di daerah Gapura dan Sumenep secara luas. Jejak sang wali ini merupakan suatu wujud nyata dalam rangka melestarikan jejak-jejak leluhurnya tempo dulu.

Menurut beberapa catatan kuna Sumenep, Kiai Gurang Garing merupakan cucu dari Kiai Abdurahman Rombu, sosok wali agung yang juga menetap di kawasan Desa Gapura. Kiai Abdurrahman Rombu tak lain adalah cucu Pangeran Katandur, dari putranya yang bernama Kiai Khatib Paranggan.

Kiai Gurang Garing semasa hidupnya selalu disibukkan dengan kegiatan dakwah serta sebagai salah satu penggagas pesantren kuna di kawasan Desa Gapura. Pesantren Lambi Cabbi begitu melegenda di telinga masyarakat Gapura, wilayah Batang-batang, dan Sumenep umumnya. Sebuah pesantren klasikal yang masih tetap eksis sampai saat ini. Para santri kunanya telah banyak  melahirkan pesantren baru yang tak jauh bedanya dengan pesantren kuna Lambi Cabbi. Pesantren itu banyak menyebar di kawasan Gapura dan sebagian di kawasan Batang-batang.

Terjadinya Wabah Thaun

Atas keteguhan hati, kecintaan, dan kepedulian sang Kiai terhadap pesantren dan misi penyebaran agama Islam di bumi Sumenep, membuat sang Kiai hijrah sembari menyebarkan agama Islam di belahan timur daya Sumenep, khususnya di daerah Lombang, Kecamatan Batang-batang. Konon, di daerah ini merupakan bandar pelabuhan dan banyak kemaksiatan yang terjadi di kawasan ini.

“Dulu, kemaksiatan merajalela di kawasan pelabuhan pantai timur daya ini. Sampai-sampai pada saat sang wali menyebarkan agama Islam di sana, Tuhan memberikan peringatan berupa penyakit ganas mematikan. Orang Madura bilangnya ‘panyaket Ta’on atau Thaun’, wabah penyakit yang menyerang manusia dan mematikan. Wabah tersebut membuat orang mati tanpa sakit terlebih dahulu, atau tak berselang lama, orang yang terkena wabah tersebut akan meninggal. Sehingga banyak penduduk yang meninggal dunia. Makanya, banyak sekali pemakaman di daerah sana, mulai ujung timur Desa Lapa Laok hingga ujung barat Desa Lombang,” ujar Abdullah Khawas Bil Faqih, salah satu keturunan dari Kiai Gurang Garing jalur Nyai Andawiyah yang kini eksis dalam dunia pesantren dan madrasah di daerah Tamedung, Batang Batang..

Kiai Gurang Garing akhirnya menetap di desa yang terletak di sebelah timur daya Sumenep tersebut dalam menyelesaikan misi dakwahnya hingga akhir hayat. Bahkan, pasareannya pun juga terletak di daerah tersebut. Sang Kiai ini memiliki keturunan bernama Bindara Muhammad, yang dikenal dengan Bindara Sodagar atau Kiai Saudagar.  Dari Kiai Saudagar inilah, banyak menyebar para ulama di kawasan Gapura, Batang-batang, luar Madura, dan Jawa, yang sampai saat ini masih melanjutkan  misi leluhurnya yakni pengembangan agama Islam.

Hukuman Sang Raja kepada Kiai Gurang Garing

Klik halaman selanjutnya→

Dalam kisah yang lain juga diceritakan, konon beliau pernah ditawarkan menjadi hakim negara oleh penguasa Keraton Sumenep. Entah pada era pemerintahan siapa, beliau hendak diangkat menjadi hakim negara. Kiai Gurang Garing diperkirakan hidup sekitar tahun 1200 H akhir dan 1300 H awal.

Namun, tawaran jabatan sebagai hakim oleh sang raja, beliau tolak. Penolakan tersebut bukan tanpa sebab, melainkan karena beliau selalu rindu akan pesantren dan tidak ingin meninggalkan para santrinya guna pengembangan pesantren dan agama Islam. Tawaran jabatan mentereng tersebut tidak menggoyahkan hatinya atas kecintaannya terhadap dunia pendidikan dan penyebaran Islam.

Penolakan jabatan hakim oleh Kiai Gurang Garing membuat sang raja marah. Sehingga sang Kiai mendapat hukuman. Sebagai hukuman kepada sang Kiai, Raja meminta untuk mengisi gentong raksasa yang berada di dalam keraton. Kondisi pada saat itu adalah musim kemarau. Secara logika, akan merasa kesulitan mengisi gentong tersebut. Di sana-sini terjadi kekeringan, sumur-sumur pun banyak yang tak berisi air lagi. Tak terkecuali, sungai yang terlihat hanyalah hamparan batu tanpa air. Sang raja yakin bahwa kiai itu tidak akan mampu menjalankan tugas sebagai hukuman atas penolakannya menjadi seorang hakim negara.

Musim kemarau panjang yang melanda negeri Sumenep kala itu, kini menjadi sebuah kesejukan. Sebab, air untuk kebutuhan keraton sudah bisa terpenuhi saat Kiai Gurang Garing mendapat hukuman berupa perintah mengisi gentong raksasa. Kuasa Tuhan Rabbul ‘Aalamiin memang selalu menyertai orang- orang dekat dengan-Nya. Kiai alim itu memanjatkan doa, dan permohonan doa sang wali itu pun diijabah. Terjadi mendung tebal di atas langit, awan hitam nan tebal tersebut tampak mengikuti sang Kiai ketika melaksakan tugas atau hukuman. Mendung tebal tersebut tampak berhenti di atas gentong yang menjadi tempat penampungan air untuk kebutuhan keraton.

“Kiai Agung Gurang Garing itu memang wara’, selalu mendekatkan diri kepada Allah dan segala ucapannya terjadi dengan nyata, atau orang Madura bilang “mandi pangocap, mandi akadiya rassana cabbi (Perkataannya menjadi nyata, nyata seperti rasanya cabai),” ungkap Abdullah Khawas Bil Faqih.

Gemercik air mulai turun menandakan terjadinya hujan. Namun apa dikata, hujan itu hanya turun tepat di atas bibir gentong raksasa itu. Sementara, area keraton yang lain tidak ada hujan sama sekali. Sehingga dengan tanpa susah payah, sang Kiai itu mengisi wadah tersebut. Tak begitu lama gentong itu penuh dengan air. Raja pun terkejut, sebab beliau mampu mengisi air dalam waktu sekejap dan tanpa susah payah mencari air ke luar keraton.

Atas kejadian itu, sang raja pun mengakui kalau Kiai Gurang Garing bukanlah orang sembarangan, melainkan wali Allah dan kekasih para Nabi, dan segala sesuatunya sudah kehendak Sang Khalik. Sebab itu kemudian, kiai bernama asli Sayyid Mahfudz dikenal dengan sebutan Kiai Gurang Garing. Nama laqab yang diambil atas kejadian di luar nalar, yakni bisa mengisi gentong raksasa dalam waktu sekejap. Diambil dari kata “Jurang Kerreng” (Jurang Kering) hingga pelafalannya menjadi lebih mudah yakni Gurang Garing.

Ket.Foto: Asta Kiai Gurang Garing tampak dikelilingi pagar besi. (Mamira.ID)

Asta Kiai Gurang Garing

Asta Kiai Gurang Garing terletak di Desa Lombang, Kecamatan Batang-batang, Sumenep. Lokasi pemakaman tampak berjejer rapi di atas gundukan tanah berpasir. Area kompleks pasarean Kiai Gurang Garing telah mendapat perhatian dari berbagai pihak. Mulai dari anak cucu keturunannya, bahkan dari pihak Pemerintah Desa Lombang. Kini, kondisi asta beliau telah dikelilingi pagar tembok termasuk maqbarah beliau yang dikelilingi pagar besi, dibangun gapura, tempat para peziarah memanjatkan doa atau mengaji, dan dilengkapi kamar mandi serta area parkir.

Namun di balik kemegahan itu semua, pusara beliau masih tampak asli. Mulai dari kijing dan nisan tampak masih terjaga keasliannya. Di area kompleks ini, semua makam masih asli tanpa ada pemugaran sedikit pun. Hamparan pasir menjadi simbol keagungan sang wali. Sebab, mulai dari arah pintu masuk sudah harus melepaskan alas kaki. Bukti penghormatan akan kewaliannya.

Di dalam area pasarean Kiai Gurang Garing, tepatnya di belakang maqbarah beliau, terdapat pohon bidara (Madura: Bukkol). Umumnya, pohon bidara, berduri. Namun anehnya, pohon bidara itu tampak rindang dan tidak berduri. Ini bukti kekuasaan Tuhan atas keagungan serta kewalian dari sosok agung dari tanah Lambi Cabbi itu.

“Meski musim kemarau, pohon bidara itu masih tetap hidup, rimbun, dan selalu berbuah. Bahkan, sampai para peziarah dibuat tidak menyadari dengan kondisi pohonnya yang tak berduri itu,” pungkas Abdullah Khawas Bil Faqih.

Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di youtube:

 

Mamira.ID

Exit mobile version