Mamira.ID – Wabah atau pandemi tidak hanya terjadi saat ini saja. Dulu masyarakat Madura juga pernah mengalami wabah yang tak kalah mematikan. Orang Madura menyebut wabah tersebut dengan istilah ‘ta’on’ atau penyakit tha’un. Wabah ta’on ini umumnya menyerang manusia dan mematikan. Wabah tersebut membuat orang meninggal tanpa sakit terlebih dahulu, atau tak berselang lama, orang yang terkena wabah tersebut akan meninggal.
Tidak jelas terjadi pada tahun berapa dan berapa lama terjadinya wabah tersebut. Namun, berdasarkan cerita turun-temurun, masyarakat Madura juga pernah menghadapi wabah seperti yang menimpa dunia saat ini, corona virus atau familier dengan sebutan Covid-19. Seperti halnya wabah yang terjadi pada ratusan tahun silam, semasa hidup Kiai Gurang Garing saat menyebarkan agama Islam di Desa Lombang, Kecamatan Batang-batang.
Memang, gelombang berita duka sangat santer terdengar dalam tiga minggu belakangan ini. Meski banyaknya jumlah orang yang meninggal tersebut belum tentu karena terpapar virus yang berasal dari Wuhan, China tersebut.
Atas kejadian ini, sebagian masyarakat Madura percaya bahwa wabah yang terjadi saat ini merupakan wabah tha’un, orang Madura menyebutnya ‘Panyaket Ta’on’. Karena sebagian dari deretan kasus kematian tersebut ada yang meninggal mendadak, atau tidak lama dari jatuh sakit, orang tersebut meninggal.
Maka tidak heran jika saat ini masyarakat Madura terus meningkatkan kewaspadaannya agar terhindar dari terjangkitnya wabah ini. Selain melaksanakan protokol kesehatan yang diinstruksikan pemerintah. Orang Madura juga memiliki dua cara yang dilakukan untuk menangkal wabah atau pandemi yang terjadi saat ini.
Bahkan, bisa dikatakan dua cara tersebut sudah menjadi sebuah tradisi bagi orang Madura. Selain dijadikan sebagai bentuk rasa syukur, dua hal tersebut juga dilakukan jika sudah menghadapi musibah- musibah, ketidakberuntungan atau hal-hal yang bersifat negatif lainnya. Pelaksanaan tradisi tersebut sangat diyakini mampu mengusir, menangkal, atau melenyapkan musibah-musibah. Termasuk wabah penyakit seperti halnya virus corona saat ini.
Apa saja dua cara tersebut? Klik halaman selanjutnya→
Menggelar Acara Rokat
Rokat merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh orang Madura sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan dan juga permohonan atau doa agar dijauhkan dari hal-hal negatif yang bisa saja terjadi atau menimpanya di masa depan. Terutama hal yang berkaitan dengan musibah dan penderitaan, seperti bencana alam, penyakit, wabah dan mara bahaya lainnya.
Sebenarnya, ada banyak macam rokat di Madura. Untuk rokat yang dilakukan secara bersama-sama atau kolektif diantaranya adalah rokat tase’, rokat bumi/pakarangan, rokat dhisa/kampong, rokat tola’ bala’ dan lain-lain. Sementara rokat yang digelar khusus atau individual adalah rokat pandhabe.
Namun yang menjadi ulasan dalam tulisan Mamira.ID kali ini adalah rokat kampung dan rokat tolak bala. Seperti acara rokatan yang dilakukan oleh warga Desa Payudan Daleman, Kecamatan Guluk-guluk, beberapa waktu lalu. Rokatan tersebut dilaksanakan atas inisiasi kiai atau tokoh agama desa setempat. Acara rokat tersebut merupakan sebuah ikhtiar untuk keselamatan umat atau warga desa setempat.
“Acara rokatan ini digelar untuk keselamatan umat. Khususnya, masyarakat Desa Payudan Daleman dan umat manusia umumnya. Rokat ini merupakan rokat kampung sekaligus rokat tolak bala. Karena, di musim pandemi corona atau Covid-19 ini harus memperbanyak ikhtiar. Salah satunya, ya dengan menggelar acara rokatan,” kata Kamali El Payudani, salah satu warga Dhaleman yang juga mengikuti acara rokatan tersebut.
Acara rokatan tersebut diinisiasi oleh tokoh agama setempat, kiai penuh karismatik, yakni Kiai H. Khairul Anam, dan didukung oleh remaja masjid (Remas) Masjid Jami’ Addasuqi. Dalam acara rokat dhisa dan rokat tolak bala tersebut dilakukan penyembelihan sapi jantan. Sapi tersebut diperoleh dengan cara patungan oleh warga desa. Sebelum melakukan penyembelihan atau pemotongan sapi, Kiai H. Khairul Anam bertawasul dan memimpin tahlil bersama.
“Saat penyembelihan dilakukan, lalu Kiai H. Khairul Anam membacakan doa tolak bala. Dengan harapan, semoga wabah Covid-19 atau tha’un yang melanda negeri tercinta ini segera diangkat oleh Allah SWT. Selain itu, warga juga membaca burdah bersama saat penyembelihan sapi,” jelasnya.
Tidak seperti acara rokat pada umumnya, dalam pelaksanaan rokat yang digelar warga Desa Payudan Daleman tersebut tidak ada sesajian atau sesajen khusus.
“Tidak ada sesajen. Kami hanya melakukan penyembelihan sapi jantan. Landasan atas digelarnya rokat ini adalah Kitab Ar-Rahmah Fi Thib Wal Hikmah, karangan Jalaluddin As Suyuthi. Dasar kami adalah kitab tersebut. Di dalam kitab tersebut, disuruh menyembelih hewan sapi jantan, jika tidak mampu bisa diganti dengan kambing jantan, dan jika tidak mampu menyembelih kambing, bisa ayam jantan,” tutupnya.
Menggelar Pembacaan Burdah
Sejak sebulan terakhir ini banyak warga kampung di Madura menggelar pembacaan burdah di masjid ataupun musala. Bahkan, ada yang melaksanakan pembacaan burdah seraya berkekeliling kampung. Pembacaan burdah keliling ini biasanya dipimpin langsung oleh kiai atau tokoh agama setempat. Berbagai kalangan ikut serta dalam kegiatan tersebut, mulai dari kaum laki dan perempuan, tua dan muda, bahkan tak terkecuali anak-anak.
Burdah merupakan suatu kasidah (lagu-lagu) yang berisi syair tentang pujian atau selawat kepada Nabi Muhammad SAW. Syair tersebut diciptakan oleh Imam al-Busiri dari Mesir, yang ditulis pada abad ke-13 Masehi. Yakni pada masa transisi perpindahan kekuasaan antara Dinasti Ayyubiyah ke Dinasti Mamluk. Di Indonesia, burdah sering dilantunkan terutama oleh kaum Nahdliyin.
“Kalau di kampung saya, pembacaan burdah hanya dilakukan di tiap-tiap masjid dan musala saja. Pembacaan burdah digelar setiap malam. Tak hanya baca burdah saja, tapi doa atau amalan-amalan lain yang seperti membaca sholawat tibbil qulub dan lain-lain,” ujar Muhammad Kholid, salah satu warga Desa Lebeng Barat, Dusun Galuguran saat dihubungi Mamira.ID via whatsapp.
Pembacaan burdah dipimpin langsung oleh tokoh agama atau kiai desa setempat.
“Dipimpin langsung oleh kiai di kampung ini, sejak awal mula corona satu tahun lalu memang selalu menggelar istigasah di sini. Tapi, tidak sampai menggelar pembacaan burdah keliling. Kalau dusun sebelah, sampai keliling kampung dengan membawa obor,” ujarnya.
Jangan lupa juga tonton video Mamira.ID di youtube:
Mamira.ID