Mamira.ID – Madura adalah sebuah kepulauan yang selalu menarik untuk diperbincangkan. Disana ada berbagai macam budaya, tradisi, dan nilai-nilai agama yang tak akan pernah terpisahkan dari kehidupan masyarakat Madura. Seolah tradisi dan agama bagai dua mata uang logam bagi kehidupan mereka sejak tempo dulu.
Madura yang memiliki segudang tradisi dan masih memegang teguh ajaran serta nilai-nilai agamanya (agama Islam) tidak pernah mengesampingkan antara keduanya. Agama dan tradisi selalu dapat dikompromikan dalam rangka sebuah acara adat sekaligus menjadi tradisi luhur yang secara turun-temurun masih eksis dilaksanakan oleh sebagian masyarakat Madura. Sebut saja tradisi rokat rumah atau disebut dengan ‘bhendhem konthong’ dan rokat pakarangan, ada pula yang menyebutnya dengan “rokat pamengkang”.
Rokat rumah dan pakarangan merupakan tradisi masyarakat Madura yang dilaksanakan setiap memasuki bulan baru hijriah. Masyarakat Madura menyebutnya bulan Sora (Muharram atau Suro). Rokat pamengkang merupakan sebuah ritual yang memadukan antara tradisi dan agama.
Sebagian besar orang maupun keluarga di Madura bisa dipastikan memiliki tanah pekarangan. Mereka lazim menyebutnya “tana pakarangan atau tana pamengkang” yang diwarisi dari para leluhurnya pada tempo dulu sebagai salah satu tali pengikat hubungan antara orang tua dengan anak cucunya. Perlu diketahui bahwa tanah pekarangan biasanya merupakan tanah yang di atasnya dibangun rumah serta menjadi asal muasal atau keberlangsungan hidup dalam satu keluarga tersebut.
Tanah pekarangan yang di dalamnya terdiri atas bangunan rumah, tentu bagi masyarakat Madura sangatlah sakral. Sebagai warisan para leluhurnya, tanah tersebut merupakan anugerah terbesar yang dilimpahkan Tuhan yang Maha Kuasa. Maka, tanah tersebut dirasa perlu untuk dirokat sebagai bentuk syukur kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki pada makhluknya, dan sebagai bentuk rasa terima kasih kepada para leluhurnya. Tradisi ini, orang Madura mengenalnya dengan istilah rokat rumah yang biasa disebut ‘bhendhem konthong’ dan rokat pakarangan.
Rumah dan pekarangan merupakan sebuah anugerah Allah SWT sebagai bentuk taburan rezeki kepada para penghuni bumi ini, serta sebagai salah satu warisan para leluhur. Tentu, hal tersebut menjadi kewajiban atas pemiliknya untuk bersyukur dengan cara bersedekah, seperti halnya melaksanakan ritual adat masyarakat Madura. Hal yang bersifat sakral seakan sudah melekat antara tradisi dan agama, serta menjadi nilai kultur tersendiri bagi masyarakatnya. Seolah tradisi itu adalah anjuran agama. Mereka beranggapan jika tanah pekarangan itu tidak dilakukan ritual rokat akan terkena bala bencana atau hal-hal negatif lainnya dari yang memberikan tanah warisan tersebut.
“Rokat pakarangan itu merupakan bentuk rasa syukur kita sebagai anak atau keturunan pewaris lahan atau pekarangan dari kakek buyut kita. Sebagai bentuk rasa syukur itu, maka kemudian kita menggelar selamatan atau rokatan,” kata Kiai Busyro, salah satu tokoh masyarakat di Desa Tamedung, Kecamatan Batang Batang, Sumenep.
Apa Makna dan Bagaimana Rokat Pakarangan Dilaksanakan? Baca selengkapnya pada halaman berikut⇒
Bagi yang belum tahu tradisi ini mungkin bertanya-tanya, apa sebenarnya rokat rumah dan rokat pakarangan? Karena tidak semua orang Madura melaksanakan ritual tersebut. Rokat rumah dan pakarangan sebenarnya sama dengan aktivitas selamatan pada umumnya, yaitu membaca Al-Qur’an seperti surah Yasin, surah Ar-Rahman, dan zikir-zikir yang dipimpin oleh pemuka agama atau kiai bersama para tetangga serta para sanak famili keluarga tersebut. Khusus tradisi bhendhem konthong dan rokat pakarangan memiliki ritual yang khas, sesajen yang unik, serta membacakan doa khusus pula, yakni do’a pangrokat berbahasa Jawa dan Madura.
Sebelum acara tradisi itu digelar, masyarakat Madura biasanya menyembelih ayam kampung tepat di halaman rumah lurus dengan pintu utama (Madura: labang agung). Daging ayam tersebut harus dihidangkan kepada para sanak famili dan para tetangga yang diundang. Sedangkan darahnya dikubur dalam lubang yang digali di halaman rumah atau tanah pakarangan atau pamengkang.
Makna filosofi di balik penyembelihan ayam kampung hingga penguburan darah di halaman rumah merupakan suatu bentuk penguburan bala, mara bahaya, dan pemusnahan segala bentuk kejahatan dari muka bumi ini. Khususnya di tanah pekarangan yang telah menjadi tempat mereka sekeluarga. Di dalam Islam, ini masyhur dengan istilah tafa’ulan, yaitu berharap kebaikan dan keberkahan atas pemberian rezeki dari Yang Maha Kuasa, yakni berupa tanah pekarangan dan rumah yang ditempati.
“Umumnya, rokat pakarangan itu memang menyembelih ayam kampung, biasanya ayam jantan. Namun, ada pula yang tetap menyesuaikan dengan rokat-rokat para pendahulunya soal ayam yang disembelih. Ada yang menyembelih ayam warna putih, ada yang ayam warna hitam, itu warna bulu ayamnya ya, bukan dagingnya,” ujar Kiai Busyro seraya tertawa.
Tradisi rokat rumah dan pakarangan merupakan bentuk akulturasi dan harmonisasi antara ajaran Islam dengan tradisi Hindu Budha. Terbukti dengan adanya berupa tasyakuran atau selamatan, seperti membaca Al-Qur’an dan berdoa memohon keselamatan dengan warisan tradisi ajaran para leluhur yang berupa penyembelihan ayam kampung, penguburan darah serta berupa sesaji yang ditempatkan di dalam rumah tersebut.
Akulturasi budaya dan agama terletak pada istilah sesaji atau sesajen yang merupakan bagian dari ritual Hindu Budha. Sesaji tersebut dibungkus di dalam gerabah kecil terbuat dari tanah liat. Orang Madura mengenalnya dengan istilah “polo’ atau konthong” yang dikubur di dalam rumah yang bersangkutan, tepat lurus dengan pintu utama dan lurus ke atas dengan wuwungan atap tengah-tengah bangunan tersebut. Konthong yang dikubur di dalam rumah berisi kacang hijau, kacang karpis, jagung, paku, uang logam, dan paling atas berupa nasi putih lengkap dengan sambal serta ati ayam kampung yang sebelumnya telah disembelih.
Selain itu juga terdapat lima macam bubur warna-warni yang dibungkus daun pisang (Madura: Taker). Posisi peletakan bubur tersebut berbeda-beda, warna putih di arah timur, warna merah di arah barat, warna biru di atas, warna kuning di arah selatan, dan warna hitam di arah utara.
Adapun sesajen yang diletakkan di pekarangan rumah, berupa nasi dan jajan pasar yang dibungkus “taker” dari daun pisang. Peletakan sesajin tersebut diletakkan di tiap-tiap pojok tanah warisan leluhur yang menjadi tempat berdirinya bangunan rumah, atau orang Madura bilangnya diletakkan “e paddhuna pakarangan atau pamengkang”.
Selain berupa sesajen, ranah agama mengimbanginya dengan cara bersadaqah, mengundang kiai, dan para tetangga guna membaca ayat suci Al-Qur’an, zikir-zikir serta permohonan do’a pangrokat yang menjadi ciri khas tradisi tersebut.
Kedatangan Islam pada masa terdahulu tidak pernah dilakukan dengan jalan kekerasan dan pemaksaan. Maka, para wali terdahulu mengakulturasi dakwahnya lewat budaya dan agama. Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘aa-lamiien, para wali mengakomodasi kearifan lokal dan memasukkan nilai-nilai Islam ke dalamnya. Sehingga, Islam mudah diterima oleh masyarakat Nusantara ini, lebih khususnya masyarakat Madura.
Hal yang paling unik dari tradisi ini adalah harmonisasi sekaligus akulturasi antara tradisi atau budaya lokal dengan syariat agama Islam, serta sangat melekat pada diri masyarakat Madura. Tugas para generasi sekarang yakni menjaga dan melestarikan tradisi atau budaya sebagai bentuk kearifan lokal serta nilai-nilai luhur di balik filosofi tradisi tersebut. Dan semoga masih tetap lestari agar menjadi Madura yang jaya dan berbudaya.
“Intinya, rokat pakarangan itu bukanlah hal yang wajib. Tapi, akan menjadi baik jika kita melaksanakannya sebagai bentuk rasa syukur kita. Karena di dalam rokatan, rokat apapun itu termasuk rokat pakarangan itu berisi nilai-nilai agung di dalamnya, seperti pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan zikir kepada Allah SWT. Semoga tradisi ini tetap terjaga hingga anak cucu kita nanti,” pungkas Kiai Busyro.
Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di youtube:
Penulis: Abd Warits
Editor: Mamira.ID