Mamira. ID – Di kawasan ujung timur Kota Sumenep, sekaligus ujung timur Pulau Garam, banyak menyimpan jejak-jejak sejarah tempo doeloe. Mulai dari masa tokoh legendaris Sumekar seperti Raden Aria Kudapanole alias Jokotole, serta serpihan sejarah dan jejak tokoh-tokoh penggagas keilmuan dan dakwah islamiah.
Dalam Babab Sumenep karya Raden Musa’ied Werdisastra, salah satu tokoh yang disebut adalah Kiai Tengnga alias Kiai Abdullah Bungin-bungin. Tokoh ini wafat dan dikebumikan di Desa Ngen-bungen (Bungin-bungin), Kecamatan Dungkek, Kabupaten Sumenep.
Asal-usul dan Nasab Kiai Bungin-bungin
Kiai Tengnga, begitulah sebutan sang tokoh dalam Babad Songenep. Salah satu keterangan menyebutkan bahwa Kiai Tengnga adalah anak dari Kiai Wangsadikara, yang berasal dari Mataram. Ibu Kiai Tengnga bernama Nyai Berrek, yaitu salah satu putri Kiai Khatib Paranggan.
“Kiai Khatib Paranggan bersaudara dengan Kiai Khatib Paddusan dan Kiai Khatib Sendang. Ketiganya merupakan anak dari Sayyid Akhmad Baidlawi alias Pangeran Katandur . Sedangkan Pangeran Katandur merupakan putra Panembahan Pakaos bin Sayyid Jakfar Shadiq, atau lebih masyhur dengan sebutan Sunan Kudus,” terang I Bagus Salam Guno Sasmito yang akrab dipanggil Iik, salah satu pemerhati sejarah Sumenep.
Dalam naskah silsilah keluarga besar keraton Sumenep, Kiai Tengnga bernama lahir Kiai Abdullah. Beliau juga dikenal dengan sebutan Kiai Ceddir.
Jadi, jika ditarik secara nasab, Kiai Ceddir alias Kiai Bungin-bungin masih memiliki aliran darah dari tokoh Wali Nandur di belahan timur Madura ini. Buyut beliau terkenal sebagai sosok ulama sekaligus penyebar agama Islam pada masanya.
Kisah Hidup Sang Kiai
Dalam lembaran sejarah, Kiai Ceddir alias Kiai Bungin-bungin menikah dengan saudara sepupu ibunya, yang dikenal dengan nama Nyai Ceddir. Nyai Ceddir merupakan salah satu putri Kiai Khatib Paddusan. Beliau juga bersaudara dengan Kiai Ali Barangbang, Desa Kalimo’ok, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep
Kiai Ceddir dan Nyai Ceddir bermukim di Desa Lembung, Kecamatan Lenteng, Sumenep. Meski berasal dari kalangan pemuka agama dan keluarga besar tokoh-tokoh ulama besar Sumenep, Kiai Ceddir dikisahkan memiliki kepribadian yang menyimpang dari syari’at Islam.
Di samping dikenal hedonis, beliau dikenal sebagai seorang yang dekat dengan kehidupan malam dan bergelimang maksiat. Minum minuman keras, main perempuan, dan berjudi merupakan kegemaran beliau sejak muda hingga menikah, bahkan setelah memiliki anak.
Pernikahan Kiai Bungin-bungin dengan Nyai Ceddir dikaruniai dua orang putra/i, yakni Kiai Jalaluddin dan Nyai Kartika. Dari Kiai Jalaluddin lah lahir generasi ulama dan umara yang banyak menyebar di seluruh tanah Sumenep dan sekitarnya. Bahkan, sosok pemimpin era keraton Sumenep masih mengalir darah beliau. Sebut saja Panembahan Natakusuma (berkuasa 1762- 1811 Masehi) alias putra dari Bindara Saot dengan Nyai Izzah. Nyai Izzah adalah cucu dari Kiai Bungin-bungin.
“Meski begitu, mengingat status sosialnya yang tinggi, yang masih keturunan keluarga besar Pangeran Katandur yang sangat disegani, bahkan oleh kalangan keraton, tidak ada satupun orang yang berani menegurnya. Bahkan, sang istri yang salihah dan arif juga tetap menghormatinya” terang Iik.
Bertobatnya sang kiai….
Bertobatnya Sang Kiai
Alkisah, suatu ketika Kiai Ceddir baru datang dari tempat maksiat dan marah kepada sang istri. Beliau meminta kunci lemari untuk mengambil uang dan harta berharga lainnya. Namun, Nyai Ceddir bilang kalau di lemari tidak ada apa-apa. Kiai Ceddir pun marah sehingga meminta dengan paksa kunci tersebut. Dari saking marahnya, beliau sampai berniat akan mencelakai istrinya.
Dengan masih menyimpan amarah, suatu ketika Kiai Ceddir mengisi “Patthesan” tempat berwudu Nyai Ceddir dengan ular berbisa dengan niat untuk mencelakai sang istri. Namun ajaibnya, saat Nyai Ceddir mengambil wudu di tempat yang di dalamnya berisi ular, malah berubah menjadi kepingan emas yang sangat banyak. Hal itu membuat Kiai Ceddir alias Kiai Bungin-bungin terkejut. Sang Kiai pun takjub menyaksikan hal tersebut, sehingga membuat hati beliau tak kuasa untuk insaf dan mengakui kalau sang istri bukan orang sembarangan, akan tetapi merupakan sosok perempuan sufi berkaromah tinggi.
“Kisah ini adalah detik-detik di mana Kiai Ceddir mulai berubah, dari sosok yang ahli maksiat lalu menjadi sosok sufi dan ahlul ibadah. Beliau memilih pamitan kepada istrinya untuk kembali ke kampung halamannya, di mana beliau dibesarkan yakni di Desa Bungin-bungin, Kecamatan Dungkek. Kiai Ceddir memilih untuk menyepi dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik sampai akhir hayatnya. Serta, beliau berkata kepada istrinya: ‘Mulai sekarang, aku mohon izin untuk meninggalkan segala macam kehidupan duniawi ini. Kita akan berjumpa lagi kelak di akhirat nanti,’ ucap Kiai Ceddir kepada sang kekasih,” ujar Iik.
Pasarean Kiai Bungin-bungin
Setelah peristiwa itu, Kiai Ceddir dikisahkan berkelana menuju ke arah timur untuk berkhalwat dan beruzlah. Konon, beliau melakukan tirakat di bawah pohon nangnger hingga akhir hayatnya, tepatnya di kampung halaman tempat beliau lahir, yakni Desa Ngen-bungen, Kecamatan Dungkek. Dari tempat sakral itulah, beliau dikenal dengan sebutan Kiai Ngen-bungen atau Bungin-bungin.
Jenazah sang Kiai dikebumikan di sana, berdampingan dengan asta ibundanya, yakni Nyai Berrek binti Kiai Khatib Paranggan. Pusara keduanya tampak sangat sederhana. Jirat atau kijing makan telah terbalut dengan semen. Akan tetapi, nisannya masih terjaga keasliannya. Asta atau makamnya dipagari dengan tembok setinggi satu meter dengan luas 4×2 meter persegi, dengan pintu masuk atau gapura sederhana.
“Pasarean Kiai Bungin-bungin masih terawat dan terjaga kesitusannya, serta banyak juga para peziarah yang datang ke sana. Bahkan, hingga dari luar Madura. Pusara sakral ini kenapa tidak diberi atap? Karena, menurut keterangan para sepuh, beliau tidak mau (Madura: Ta’ Kasokan) diberi atap atau cungkup,” pungkas Iik.
Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di youtube:
Penulis: Abd Warits
Editor: Mamira.ID