Site icon MAMIRA.ID

Nyai Izzah: Istri Pertama Bindara Saot

Ket Foto: Asta Nyai Izzah yang terletak di Desa Lembung, Lenteng, Sumenep

Mamira.id Suasana asri dan sejuk akan terasa saat menginjakkan kaki di desa kecil ini, bentangan aliran sungai yang begitu tenang dengan jejeran pohon-pohon rindang disepanjang tepian membuat pemandangan yang menyejukkan mata. Pun begitu dengan penduduknya yang begitu sangat ramah, menegaskan kesan kuat bahwa kehidupan di desa ini begitu damai dan bersahaja.

“Sungai Taloktok ini emang gak pernah mati aliran airnya meski terjadi kemarau panjang, sungai ini ada penjaganya, mas. Cerita pendahulu orang kampung sini, sungai ini dijaga oleh buaya putih, buaya ini hanya keluar di waktu tertentu dan hanya bisa dilihat oleh orang yang alim atau berilmu tinggi. tapi sampai sekarang saya juga belum pernah lihat itu buaya,” kata Haki disertai tawa kecil, ia merupakan salah satu warga dusun Laok Songai, Desa lembung yang menemani tim mamira liputan bebera waktu lalu.

Kawasan ini terletak kurang lebih 12kilometer ke arah barat laut pusat kota Sumenep. Lembung Bara’ itulah nama tempat ini, sebuah desa yang terdapat di Kecamatan Lenteng.  Tanah Lembung merupakan salah satu pusat situs peninggalan penting dan mengandung nilai jejak-jejak sejarah Sumenep saat pemerintah masih menggunakan sistem kerajaan.

Ulama dan pesantren Lembung tak hanya mencetak santri yang bisa mengaji Al-quran dan membaca kitab kuning, namun juga mampu mencetak pemimpin dan melaksanakan roda pemerintahan dalam sejarah penguasa Sumenep era tempo dulu.

Bahkan, pemimpin dari tanah Lembung mampu berkuasa hingga tujuh turunan. Terhitung dari era pemerintahan Bindara Saod, Panembahan Somolo, Sultan Abdurrahman, Panembahan Muhammad Saleh, Pangeran Pakunataningrat II, R. Prataningkusumo hingga yang terkahir R.P. Ario Prabuwinoto. Para raja-raja masyhur penguasa dan pemimpin keraton Sumenep tersebut lahir dari rahim seorang sosok ibu dambaan setiap insan yang hidup di tanah subur, Lembung.

Nyai Izzah, orang Lembung menyebutnya dan orang Sumenep pada umumnya. Dari darah beliau mengalir sosok sang penguasa yang mampu menggagas berdirinya keraton Sumenep yang sampai saat ini dapat kita saksikan dengan kasat mata kemegahan dan nilai-nilai sejarah yang masih tersimpan di dalamnya. Adapula masjid Jami’ yang menjadi salah satu ikon kota berjuluk kota keris ini.

“Lembung ini memang salah satu tempat leluhur raja-raja di Sumenep, kan emang dari desa inilah sebagian penguasa Sumenep tempo dulu itu berasal, ya dinasti terkahir masa kerjaan Sumenep,” kata Pak Moro, salah satu pengurus asta dan masjid Akbar Lembung.

Silsilah Singkat Nyi Izzah

Nyai Izzah merupakan salah satu keturunan tokoh Agung dari tanah Parongpong, beliau adalah cucu K. Khatib Bangil Parongpong dari pasangan suami istri yang bernama Nyai Galuh dan K. Jaluddin. K. Jalaluddin sendiri merupakan putra dari Nyai Ceddir salah satu cucu Pangeran Katandur, seorang tokoh kharismatik penyebar agama islam sekaligus penggagas cara bercocok tanam dibidang pertanian pada eranya di belataran bumi Sumekar ini.

Tanah Lembung tentunya tak akan pernah terlepas kaitannya dengan tanah Parongpong, hal ini membutikan adanya keterkaitan famili serta sarana media dakwah dalam rangka proses islamisasi dibumi Nusantara ini dan Sumenep lebih khususnya. Tokoh-tokoh, ulama dan umara’ terlahir diantara kedua desa tersebut, salah satu yang masyhur adalah sosok pemimpin/penguasa Sumenep yang sampai tujuh turunan menjadi Adipati atau Raja Sumenep seperti yang sudah disebutkan diatas.

Dari pasangan Nyi Izzah dan Bindara Saot lah mengalir darah Lembung dan Parongpong. Dimana keduanya juga masih sama-sama keturunan wali Agung dari tanah Kudus, yakni Sayyid Jakfar Shadiq atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus.

Secara Garis Besar Silsilah Nyai Izzah Sebagai Berikut:

Sayyid Jakfar Shadiq Sunan Kudus

Panembahan Pakaos

Sayyid Akhmad Baidlawi Pangeran Katandur

Khatib Paddusan

Nyai Ceddir

Jalaluddin

Nyai Izzah

Keturunan Nyai Izzah

Pernikahan dengan Bindara Saot

“Annikahu sunnati faman raghiba an sunnati fa laisa minni” begitulah hadits Nabi Muhammad SAW. Sebagai ummat nabi akhir zaman yang taat dan ingin menunaikan sunnah sang Rasul, Nyai Izzah melangsungkan pernikahan dengan seorang putra ulama masyhur dari belataran bumi Batu Ampar, Kecamatan Guluk-guluk, ia merupakan cucu seorang ulama perempuan dari tanah Sendir, seorang santri berkaromah tinggi dari pesantren yang diasuh langsung K. Faqih di belahan bumi Lembung, Kecamatan Lenteng, sosok laki-laki tersebut bernama Bindara Saot. Nama Bindara Saot adalah sebuah nama yang di ambil dari kisah legenda sang bayi yang menjawab salam sewaktu masih di dalam kandungan ibunya.

Pernikahan Nyai Izzah dan Bindara Saod tergolong pernikahan antar family, sebab kedua masih saudara sepupu secara nasab. Nyai Izzah merupakan putri dari Nyai Galuh, sedangkan Bindara Saod adalah putra dari Nyai Narema, yang keduanya sama-sama putri dari pasangan ulama masyhur di kampung Parongpong, Desa Kecer, Kecamatan Dasuk, yakni K. Khatib Bangil dan Nyai Salama. Pernikahan Nyai Izzah dan Bindara Saod menurunkan dua orang putra yakni K. Bahauddin/Kusumanegara/Raden Ario Pacinan dan Raden Asiruddin / Atmajanegara atau lebih dekenal dengan Pangeran Panembahan Somolo.

Waktu terus berjalan, sementara itu tak satupun tau tentang masa depan dalam perjalanan kehidupan. Termasuk tentang akhir dari sebuah pernikahan, tidak lama kemudian Nyai Izzah dan Bindara Saot harus mengakhiri biduk rumah tangganya. Keduanya bercerai karena Bindara Saot dilamar oleh seorang Ratu. Singkat cerita, akhirnya Bindara Saot menikah dengan R. Ayu Rasmana Tirtonegoro yang pada waktu itu menjabat ratu di kerajaan Sumenep.

Ayu Rasmana adalah janda dari R. Tirtonegoro yang berpangkat Menteri, agar roda pemerintahan di Sumenep berjalan dengan baik, R. Ayu Rasmana disarankan untuk mencari pendamping untuk dirinya, sehingga R Ayu Rasmana melakukan semedi. Selang beberapa lama waktu, akhirnya sang ratu mendapatkan ilham bahwa pendampingnya berasal dari kalangan rakyat biasa, ia hanya tukang rumput yang tinggal di Lembung. Setelah mendapat ilham, R. Ayu Rasmana memerintahkan prajuritnya untuk mencari dan menemukan laki-laki yang datang dalam mimpinya tersebut.

Akhirnya laki-laki itu ditemukan, tak lain dan tak bukan, laki-laki tersebut adalah Bindara Saot. Sejurus kemudian laki-laki gagah itu dibawa untuk menghadap R. Ayu Rasmana, dengan penuh kejujuran, dia menyatakan kalau sudah punya istri, tapi apa boleh buat untuk kemakmuran masyarakat Sumenep akhirnya lelaki tersebut menerima pinangan seorang ratu.

Setelah menghadap sang ratu, Bindara Saot Kembali pulang dan menjelaskan semua kepada pujaan hati dan cinta pertamanya. Sesampainya di rumah, ia jelaskan semua hal apa yang sudah terjadi kepada Nyai Izzah, bahwasanya ia diminta untuk menjadi suami R. Ayu Rasmana. Atas permintaan ratu tersebut dan menyadari demi kepentingan masyarakat Sumenep kala itu, akhirnya Nyi Izzah meminta Bindara Saot untuk menceraikannya, akhirnya mereka bercerai dengan cara baik-baik.

Tak lama kemudian, Bindara Saot melangsungkan pernikahannya dengan R. Ayu Rasmana. Setelah sah menjadi suami istri, R. Ayu Rasmana kemudian memberikan seluruh tanggung jawab pemerintahan Sumenep kepada sang suami dengan gelar Tumenggung Tirtonegoro Bindara Saot.

Setelah cerai dengan Bindara Saot dan masa iddahnya selesai, Nyai Izzah menikah untuk yang kedua kalinya bersama K. Samporna dari Pasongsongan. Dari pernikahan tersebut mereka di karunia putra dan diberi nama K. Cakrayuda, R. Ardikusuma, R. Jayakusuma dan R. Surakusuma.

“Saking dari sabarnya Nyai Izzah, dan mungkin juga demi berlangsungnya pemerintahan di Sumenep Nyai Izzah rela berpisah dengan Bindara Saod. Tak endek e maduh (tidak mau dimadu), makanya Nyi Izzah mungkin minta cerai. Dan mereka bercerai secara baik-baik. Nyi Izzah emang punya garis tangan baik, karena yang melanjutkan pemerintahan Sumenep setelah Bindara Saot adalah keturunanya dengan istri yang pertama, ya Nyai Izzah. Bindara Saot dan R. Ayu Tirtonegoro ga punya keturunan.” jelas pak Moro dengan wajah serius.

Pasarean Nyai Izzah

Pasarean Nyai Izzah lokasinya terletak Lembung Barat, Kecamatan Lenteng, satu komplek dengan leluhurnya yakni Nyai Ceddir. Sebuah pusara kuno yang masih tertata rapi tanpa ada satu pun yang mengalami pemugaran dengan dinding susunan batu bata putih atau orang Madura menyebutnya dengan “beto kompung” masih berdiri kokoh.

Pintu gerbang asta sengaja dibuat pendek pertanda ketawadu’an pada sosok ahlul qabri yang ada di dalamnya, serta bangunan soko guru tiang terbuat dari kayu jati masih tampak indah menaungi pintu tersebut. Hamparan lahan terbuka menjadi tempat peristirahatan terakhir beliau tanpa sebuah bangunan beratap/congkop, ini bukti bahwa beliau tidak berkenan (madura read: ta’ kasokan) diberi congkop. Asta Nyi Izaah tidak berkumpul dengan pasarean suami dan kedua anak laki-lakinya. Suami dan kedua anak laki-lakinya pasareannya berada di komplek Asta Tinggi Sumenep.

“Asta yang tertua disini Nyi Ceddir. Makanya letaknya berada di area paling belakang atau paling ujung sebelah barat. Nyi Ceddir ini nenek dari Nyai Izzah,” kata Pak Moro sembali membersihkan lumut dan rumput yang tumbuh di sela-sela lubang batu nisan asta Nyai Izzah.

Jika ingin mengunjungi asta Nyi Izzah, para peziarah harus melewati masjid Akbar yang merupakan salah satu masjid tertua di Kabupaten Sumenep, karena asta beliau tepat berada dibelakang masjid Akbar. Di komplek pemakaman tersebut tak hanya asta Nyi Izzah saja. Secara berurutan, asta Nyai Izzah berada di area paling barat, sementara area tengah merupakan asta K. Faqih dan area paling timur tepat dibelakang masjid merupakan asta K. Baroya. Kedua ulama tersebut akan dibahas pada penulisan selanjutnya.

Di area bagian barat tersebut terdapat empat asta utama yang diantaranya adalah asta Nyai Izzah itu sendiri, Nyi Ceddir yang merupakan nenek mertua Bindara Saot dan R. KH. Khoirul Wira’i yang berdampingan dengan asta sang istri, sementara beberapa asta lainnya tidak teridentifikasi karena tidak adanya prasasti.

“Ini meski sudah di cat dan diberi pagar tapi tak merubah bangunan asli dari asta ini, semua masih asli dari cungkup ini, kubah sebelum masuk ke area asta juga masih asli. Terus pagarnya juga, hanya saja yang sebelah sana ditambahi tembok penyangga agar tembok aslinya tidak rubuh,” pungkas pak Moro sambil beranjak dan mengajak ke masjid karena adzan ashar sudah berkumandang.

Jangan lupa tonton juga video ini:

Penulis: Abd. Warits

Editor: Mamira.id

Exit mobile version