Site icon MAMIRA.ID

Menelusuri Jejak Cina Muslim di Madura

Ket.Foto: Makam Kiai Bieng Seng yang terletak di Dusun Togu atau kampung Radin desa Tamidung Batang-batang. (Mamira.ID)

Mamira.ID – Panorama sejuk dan segar akan terasa saat menginjakkan kaki di desa kecil ini. Sejauh mata memandang terlihat pesona yang menakjubkan. Dengan kondisi alam yang penuh lembah berbukit, tampak pohon-pohon rindang berjejer membuat pemandangan yang menyejukkan mata. Pun begitu dengan penduduknya yang sangat ramah, menegaskan kesan kuat bahwa kehidupan di desa ini begitu damai dan bersahaja. Desa itu bernama Tamedung.

Secara geografis, Desa Tamedung berada dalam wilayah Kecamatan Batang-batang. Di desa ini terdapat sebuah dusun kecil bernama Togu. Namun banyak orang mengenal dusun tersebut dengan sebutan ‘Kampong Radin’ atau pemukiman Radin/Raden.

Di pemukiman Radin tersebut terdapat sebuah makam kuna yang masih orisinal. Berdasarkan inkripsi batu nisan, makam itu diidentifikasi sebagai makam Kien Bieng Seng. Jika dilihat dari namanya, diduga kuat beliau bukanlah orang asli nusantara, khususnya Madura. Beliau memang warga asing, tepatnya warga berdarah Cina yang hijrah ke belahan timur pulau Garam.

“Berdasarkan riwayat para sesepuh desa ini, Kien Bieng Seng merupakan anak dari seorang kapitan bernama Kien atau Keng, dari Kerajaan Sriwijaya,” kata Abdul Warits, salah satu pegiat sejarah yang berasal dari Tamedung.

Meski berdarah Cina, makam Kien Bieng Seng menunjukkan ciri khas makam kuna Islam. Prasasti makam juga ditulis menggunakan paduan huruf Arab dan carakan.

Ket.Foto: nisan makam Kiai Kien Bieng Seng (Mamira.ID)

Selain nama, pada batu nisan Kien Bieng Seng terdapat tanggal wafat dan tahun pemugaran. Beliau wafat pada tanggal 20 Safar tahun 1602 Masehi. Kemudian makam Kiai Bieng Seng dipugar pada tahun 1793 Masehi. Namun mengenai tahun wafat tersebut belum bisa dipastikan sebagai tahun Masehi. Karena Madura juga mengadopsi tarikh Jawa, seperti tahun Saka, yang merupakan paduan Masehi dan Hijriah.

“Juga ada tahun yang memakai sandi dengan huruf hijaiah, seperti misalnya tahun wawu,” kata pemerhati sejarah di Sumenep, R. B. Nurul Hidayat. Baca halaman selanjutnya

Lalu bagaimana kisah Kien Bieng Seng bisa sampai ke daerah Tamedung?

Tidak ada keterangan tertulis mengenai kisah hidup Kien Bieng Seng. Riwayat lisan di Tamedung sendiri, menurut keterangan Warits juga sangat minim. Hanya saja, menurut salah satu keterangan, di daerah tersebut juga disebut sebagai lokasi terdamparnya 6 tentara Tartar atau Mongol, yang salah satunya ialah kakek Lauw Piango, arsitek Masjid Jami’ dan Keraton di masa Panembahan Sumolo (1762-1811 M).

“Muncul kemudian dugaan Kien Bieng Seng ini salah satu dari 6 tentara itu. Namun apakah itu benar masih belum bisa dipastikan,” tambah Warits.

Keturunan Kien Bieng Seng lantas berasimilasi dengan penduduk pribumi. Kemudian menyebar di bagian pesisir Sumenep atau pantura hingga Pasongsongan.

Masyarakat Desa Tamedung sendiri menyebut Kien Bieng Seng dengan awalan Kiai. “Jadi yang dikenal di sini beliau bernama Kiai Bieng Seng atau Bien Seng. Pada prasasti nisannya memang tertulis Kien Bieng Seng. Sehingga bisa saja kata Kien lambat laun dilafalkan menjadi Kiai. Bisa jadi begitu (Kien menjadi Kiai; red),” imbuh Warits.

Ket.Foto: Rumah keturunan Kiai Bieng Seng yang berada di perkampungan radin, Desa Tamedung, Batang-batang

Warits mengaku tidak memiliki riwayat khusus tentang hal itu. Kemungkinan sebutan kiai pada Kien Bieng Seng sebagai gelar ketokohan, yang identik dengan gelar keilmuan di bidang agama.

“Banyak tokoh-tokoh kiai di bagian timur Sumenep ini yang juga bernasab ke Kiai Kien Bieng Seng dan Buju’ Nipa. Salah satu keturunan Kiai Bein Seing ada yang diperistri oleh salah satu ulama di sana, tokoh yang diyakini sebagai waliyullah di Sumenep. Ya, Buju’ Nipa itu sendiri,” ungkapnya.

“Keturunan beliau rata-rata dahulu dipanggil Radin atau Raden, karena konon Buju’ Nipa masih ada hubungan darah dengan keluarga keraton,” pungkas Warits.

Mamira.ID

Exit mobile version