Site icon MAMIRA.ID

Laras Slendro, Komparasi Karawitan Madura dengan Jawa

Mamira.id – Kata Karawitan berasal dari bahasa sansekerta rawit, yang memiliki arti keharmonisan, elegan, dan kehalusan. Perpaduan suara dari beberapa alat musik seperti gendang, kenong (bonang), kolenang (gamelan), gong, dan lainnya. Di mainkan dengan sepenuh hati hingga menciptakan nada dan irama yang merdu mendayu-dayu membuat hati tentram jika mendengar seni karawitan .

Seni musik Karawitan di sumenep sudah ada sejak zaman dahulu, sedari zaman nenek moyang. Bahkan pada zaman kerajaanpun seni musik karawitan ini sudah digunakan untuk mengisi acara-acara di keraton kala itu. Karawitan merupakan seni musik tradisional yang mengacu pada permainan musik gamelan, seni musik karawitan ini sudah ada sejak masa kerajaan.

Namun, berkat bapak Rifa’ie seni musik karawitan tetap bertahan ditengah serbuan dan menjamurnya musik modern saat ini, khususnya di kabupaten ujung timur pulau Madura ini.

“Pemain musik karawitan sanggar Kuda Panole & Putri Ayu terdiri dari 22 orang. Mayoritas mereka semua masih siswa aktif sekolah. Dari tingkatan siswa SMP dan SMA, ada juga yang masih SD bahkan TK. Mereka semua di latih sama saya,” katanya sembari mengenalkan alat-alat musik karawitan kepada tim Mamira saat melakukan kunjungan dan peliputa beberapa waktu lalu.

Siang berawan kala itu, terdengar tabuhan gendang dan gamelan mendayu-dayu dengan merdu memanjakan indra pendengaran dengan irama indah memanjakan telinga di tengah hingar kota dengan ikon kuda terbang, Sumenep. Irama tembang terdengar merdu saat tangan gemulai mengetuk kenong (bonang) di ikuti gerak lentik lengan mulai meniti satu persatu lempengan besi tipis, demung namanya.

Telapak tangan di kepakkan ke kendang bak tarian seorang putri. Dari Sanggar karawitan Kuda Panole & Putri Ayu mempersembahkan tembang khas kesenian sumenep untuk Nusantara. Bapak Rifa’ie salah satu seniman musik karawitan asal sumenep, tepatnya di desa Pangarangan, Kecamatan Kota Sumenep. Beliau merupakan ketua sanggar karawitan tersebut. Sejak kecil beliau sudah menggemari dunia musik tradisonal, hingga masa senjanya. Saat ini beliau tetap setia dengan seni kecintaannya tersebut.

“Sejak saya masih kecil seni musik karawitan ini sudah ada, saking senangnya kepada seni karawitan pak Rifa’ie belajar musik karawitan sejak beliau masih usia kanak-kanak,” tutur bapak Rifa’ie.

Sebagai bentuk rasa cintanya sejak kecil terhadap seni musik tradisional ini, masik karawitan tetap dilestarikan hingga saat ini. “Seseorang akan merasa jenuh menjalani aktivitas atau pekerjaan, tapi jika cinta sudah terpatri semua itu akan hilang, tak mau tau berapa lama waktu sudah dilewati dengan bermain musik karawitan, rasa suka dan kecitaan terhadap seni yang satu ini takkan pernah hilang dari kehidupan saya,” tegas pak Rifa’ie dengan senyum bangga di wajahnya.

Dengan penuh cinta dan ketelatenan, Pak Rifa’ie melatih mereka setiap hari minggu, dari jam 08:00 hingga jam 10:00. Para anggota yang belajar tidak pernah ditekan untuk selalu hadir apa bila masih ada kegiatan sekolah di hari libur mereka.

“Saya tidak memaksa mereka harus datang jika memang masih ada kegiatan sekolah yang lain. Jika masih ada kegiatan sekolah, ya harus didahulukan sekolah. Bahkan, saya langsung koordinasi dengan para orang tua mereka setiap hari minggu, karena khawatir mereka pamitnya latihan karawiran tapi gak sampai kesini. Yaa tau sendiri anak jaman sekarang.” Kata pak Rifa’ie sembari tertawa.

Ada belasan alat musik yang digunakan dalam seni kerawitan ini, di antaranya: Kendang, Gender besar dan Gender kecil, Pekkeng, Saron. Barung, Gender Penerus, Bonang Barung, Bonang Penerus, Kenong, Ketuk Kempyang, Kempul Gong, Balungan, Gambang, Seruling dan iter. Inventaris saggar karawitan ini semua milik pribadi pak Rifa’ie, bukan milik sanggar karena dari pemerintah belum ada pemberian inventaris untuk sanggar ini.

Secara umum, nyaris tak ada perbedaan antara musik karawitan Sumenep dengan musik karawitan di kabupaten-kabupaten lain di Madura. Tapi jika dibandingkan dengan karawitan jawa perbedaan itu terletak pada laras atau titi nada. Karawitan Madura umumnya menggunakan laras Slendro. Tangga nada slendro memiliki karakterisitik musik yang gembira, lincah dan menyenangkan.

“Kalau dengan jawa ada bedanya, bedanya hanya larasnya saja. Kalau di Sumenep khususnya, rata-rata pakai laras slendro. Slendro ini, notasi dari not-not nya, satu, dua, tiga, lima dan enam. Ada yang bersifat seneng-senengan, ada yang rekong, ada yang perang. Itu tergantung mau apa gamelan ini. Untuk topeng lain, untuk ludruk juga lain. Umpamanya tayuban, itu lain juga,” jelas Pak Rifa’ie di depan para anak asuhnya dan tim mamira.

Di usianya yang sudah senja, pak Rifa’ie semangatnya masih membara mengajar anak-anak didiknya di anggar Kuda Panole & Putri Ayu ini dengan suka rela. Beliau tak pernah berfikir soal uang. Dengan adanya para siswa, pemuda dan pemudi yang minat dan niat untuk belajar seni musik karawitan beliau sudah merasa bahagia.

“Saya tidak dibayar, sepeserpun saya tidak dibayar. Saya sudah mendapatkan kebahagiaan dengan adanya para siswa dan siswi ini saja sudah lebih dari cukup, ini tak bisa ditukar dengan uang. Dari pada karawitan hilang dari bumi nusantara, apalagi di sumenep, sangat sayang sekali kan. Eman, emaan.” Katanya.

Orang tua dari anak-anak anggota sangar karawitan bersyukur dengan adanya kegiatan ini karna mereka merasa anak mereka ada kegiatan yang bermanfaat untuk mengisi waktu liburnya dari pada diisi dengan kegiatan yang tidak bermanfaat. Hal ini menandakan bahwa kegiatan ini berdampak positif bagi anak-anak sanggar itu sendiri. Disetiap selesai latihan pun, Pak Rifa’ie selalu menyampaikan nasihat sekaligus peraturan yang harus ditaati oleh para anggota sanggar.

“Selesaikan semua tugas sekolah maupun tugas rumah. Kedua, pamit kepada orang tua. Ketiga, hati-hati dijalan. Keempat, dilarang bermain HP saat berkendara, kalau perlu berhenti jika ada telpon atau mau bales WA, udah sering terjadi kecelakaan karena HP. Yang kelima jangan lupa berdoa selalu. Semoga ini semua terealisasi dengan baik. Ini yang masih TK masih, yang belajar karawitan. Ini cucu saya ini. Baru lulus TK. Tapi alhamdulillah meski masih TK, bermain musik karawitan sudah luar biasa. Mari kita saksikan mereka bermain musik tradisional ini.” Kata Pak Rifa’ie di depan para anak asuhnya dan tim mamira yang sudah sedari tadi setia menyimak penyampaian pak Rifa’ie saol musik karawitan.

Berdinya sanggar karawitan ini berawal dari perkumpulan karawitan guru-guru kecamatan kota. Namun usia perkumpulan tersebut hanya semur jagung. Karena bubar perkumpulan tersebut, maka pak Rifai’ie berinisiatif untuk mengumpulkan guru-guru tersebut dan mengadakan rapat tindak lanjut mengenai kumpulan yang sudah bubar ini, apa mau di hidupkan kembali atau mau mendirikan perkumpulan baru. Lalu kemudian muncul kesepakatan dari anggota yang hadir untuk mendirikan perkumpulan baru. Pada tanggal 23 April 2004 sanggar karawitan Kuda Panole & Putri Ayu terbentuk dengan adanya kerja sama Bersama disparbud kala itu.

Dilain kesempatan, setelah selesai latihan, tim mamira mewawancara beberapa anak asuh Pak Rifa’ie. Surya namanya. Dia merupakan anak asuh senior pak Rifa’ie. Selain secara usia pendidikan lebih tinggi dari pada anggota yang lain, siswa SMA di salah satu Kota Sumenep ini sudah tujuh tahun belajar dan sudah mampu menguasai semua alat musik karawitan.

“Masuk anggota karawitan sejak SMP, tapi kalau belajarnya saya sudah sejak masih SD kelas tiga. Sekarang sudah kelas 3 SMA.” Kata Surya dengan penuh semangat.

Ada motivasi tersendiri bagi Surya mengapa dia berminat belajar dan menguasi semua alat musik karawitan ini. “Saya sudah jatuh cinta sama musik karawitan ini. Selain itu, karawitan ini merupakan potensi yang dimiliki kabupaten Sumenep. Saya ingin melestarikan budaya dan kesenian khas Sumenep yang sudah sedikit peminatnya. Saya tidak ingin kesenian ini punah,” ujarnya.

Tidak ada usaha yang menghianati hasil, begitulah pepatah mengatakan. Hal itu dibuktikan oleh Surya. Niat dan usahanya membuahkan hasil. Saat ini, berkat rasa cintanya terhadap seni musik karawitan, banyak teman-tema surya yang mempunyai minat dan keinginan yang sama untuk tetap melestarikan musik tradisional ini.

“Seangkatan saya hanya delapan orang dulu mas, tapi sekarang di sanggar Kuda Panole & Putri Ayu ini sudah 20 orangan yang aktif. Di awal-awal saya belajar Kenong, tapi kalau sekarang sudah bisa semuanya. Karena Pak Rifa’ie tidak mengajarkan fokus pada satu alat saja, tapi setiap anggota diajari semua alat musik ini. Kalau disanggar ini alatnya dibedakan menjadi dua mas, ada alat yang khusus dewasa ada yang khusus pemula. Kalau yang pemula ya seperti yang ada ini, yang diamainakn sama teman-teman tadi.” Kata Surya sembari langsung mempraktekkan keterampilannya dalam memainkan gendang.

Tidak mudah memang menciptakan rasa cinta terhadap sesuatu, apalagi cinta terhadap musik tradisional seperti musik karawitan ini. Namun, berkat pak Rifa’ie dan para anak asuhnya, musik warisan budaya laiknya karawitan tetap lestari hingga saat ini. Lantunan musih khas nusantara masih bisa kita nikmati.

Tonton Video ini:

Penulis: M. Zainuri

Editor: Mamira.id

Exit mobile version