Mamira.ID – Keraton Sumenep merupakan satu-satunya keraton di Jawa Timur yang masih berdiri kokoh hingga saat ini. Keraton yang terletak di Desa Pajagalan, Kota Sumenep ini dibangun pada tahun 1781 dengan arsitektur keturunan Tiongkok bernama Lauw Piango yang juga merupakan perancang bangunan Masjid Jami’. Keraton atau Karaton Songennep dibangun di atas tanah pribadi milik Panembahan Sumolo, penguasa Sumenep ke-31.
Kompleks Keraton Sumenep lebih sederhana jika dibandingkan dengan keraton kerajaan-kerajaan yang berada di daerah jawa maupun daerah lain di Indonesia. Bangunannya hanya meliputi Gedung Negeri, Pengadilan Keraton, Paseban, dan beberapa bangunan pribadi keluarga keraton. Bangunan-bangunan yang berada di kompleks keraton tidak dibangun secara bersamaan, namun dibangun dan diperluas oleh para keturunannya.
Layaknya bangunan keraton kerajaan pada umumnya, sebuah keraton tentu memiliki pintu gerbang sebagai pintu masuk menuju kawasan utama. Gerbang keraton Sumenep berada di sebelah timur Gedung Negeri atau berada di sebelah kanan Taman Sare, kolam tempat pemandian para putri adipati atau raja (jika dilihat dari dalam gerbang arah selatan).
Pintu gerbang Keraton Sumenep ini sangat monumental, di mana pada bagian atasnya terdapat loteng kecil berbentuk limasan dengan atap bersusun tiga. Loteng tersebut merupakan ruang pengamatan yang digunakan untuk memantau segala aktivitas yang berada di dalam maupun luar keraton.
Sementara, pada bagian kiri dan kanan terdapat tempat istirahat penjaga gerbang dengan ornamen tiang-tiang besar berhias bunga-bunga berantai. Pada bagian atap ini terdapat pendukung atap kedua dan ketiga yang berbentuk atap tajuk atau atap yang mempunyai wujud piramidal yang terdapat lambang kerajaan Sumenep di tengahnya.
Lalu mengapa pintu gerbang tersebut disebut dengan Labang Mesem? Labang berarti pintu, sementara Mesem berarti senyum. Jadi, jika dibahasa Indonesiakan Labang Mesem bermakna Pintu Senyum. Setidaknya ada beberapa versi yang berbentuk tulisan maupun informasi mengenai penyebutan Labang Mesem tersebut, dari yang hanya berbentuk cerita hingga yang lebih mengacu pada data dan fakta. Baca halaman selanjutnya →
Penyebutan Labang Mesem versi pertama, versi ini berdasarkan sejarah lisan. Penyebutan Labang Mesem dikarenakan pada waktu Pangeran Jimat, salah satu penguasa Sumenep yang memerintah 1721-1744 M, pintu masuk keraton dijaga oleh para pengawal yang bertubuh kerdil. Orang Sumenep menyebutnya cabul, tapi bukan “cabul” dalam Bahasa Indonesia. Jika dibahasa Indonesiakan lagi, cabul itu cebol, kerdil, atau kata lain yang semakna.
ketika ada orang yang melihat pemandangan tersebut; baik masyarakat, tamu, atau kalangan keraton sendiri sering senyum-senyum geli. Sehingga lambat laun pintu masuk atau gerbang keraton itu disebut dengan Labang Mesem.
Meski begitu, belum ada literatur yang menjelaskan hubungan manusia cebol dengan Pangeran Jimat yang bernama lain Raden Ahmad alias Pangeran Cakranegara III ini. Di pasarean tokoh yang dikenal keramat itu memang terdapat beberapa kuburan “mini”. Keterangan sejak zaman lampau yang tetap dikenal hingga kini, itu makam manusia atau orang cebol. Kendatipun belum pasti yang dimakamkan di cungkup Pangeran Jimat adalah pengawal yang menjaga Labang Mesem.
Sementara fakta yang lain, Pangeran Jimat seperti disebut di muka, memerintah tahun 1721-1744 M. Kala itu pusat pemerintahan, kediaman raja, atau yang lidah masyarakat menyebut karaton, terletak di kawasan Karang Toroy. Pusat tersebut dimulai sejak pemerintahan Pangeran Cakranegara I, alias Raden Abdullah (1589-1626), penguasa Sumenep ketujuh sebelum Pangeran Jimat. Lokasi itu terus bertahan hingga dua penguasa setelah Pangeran Jimat, yaitu Pangeran Lolos dan Ke’ Lesap. Baru setelah itu, yaitu di masa Ratu Tirtonegoro dan suaminya, Bindara Saot, pusat keraton pindah ke Pajagalan. Yaitu lokasi keraton yang bangunannya tetap ada hingga sekarang.
Jika demikian, sebutan Labang Mesem di waktu itu jelas tidak tepat. Karena waktu itu bangunan keraton yang berlabangkan mesem itu masih belum ada. Bangunan itu baru ada di masa Panembahan Sumolo (memerintah 1762-1811 M), sang pembangun, yaitu pengganti Bindara Saot. Lokasinya juga di Pajagalan, bukan Karang Toroy. Baca halaman selanjutnya →
Adapun versi kedua, disebut Labang Mesem karena di atasnya terdapat sebuah loteng kecil, tempat raja biasa mengawasi area sekitar keraton. Ketika itu, raja juga mengawasi istri, dan putri-putri keraton, serta dayang-dayang yang sedang mandi di Taman Sare. Saat memperhatikan pemandangan kolam dan mereka yang mandi di sana itulah, raja lantas tersenyum atau mesem.
Namun, soal penyebutan Labang Mesem yang mengacu pada sikap raja saat melihat para istri dan putri serta dayang-dayang yang sedang mandi di Taman Sare, dari atas loteng Labang Mesem tersebut dibantah oleh sedikitnya tiga orang pemerhati sejarah di Sumenep: RPM Mangkuadiningrat, RB Ja’far Shadiq, dan RB Hairil Anwar.
Menurut Mangkuadiningrat, salah satu sesepuh di kalangan keluarga keraton Sumenep saat ini, belum ada satu pun riwayat kuna yang menceritakan hal itu. “Asal-usul penamaan Labang Mesem dari kisah tersebut baru saya dengar. Terasa aneh. Kalau riwayat tutur sesepuh turun-temurun, tidaklah demikian,” kata Mangku, kala itu.
Ja’far Shadiq dan Hairil Anwar juga menilai versi tersebut tidak mengakar pada sumber keraton. Apalagi jika dilihat dari segi etika, hal itu tidak mencerminkan sikap raja dinasti terakhir yang dikenal banyak yang alim dan berakhlak baik.
Sementara versi ketiga, Istilah labang mesem muncul pasca “Keraton Sumenep” berhasil memukul mundur pasukan dari kerajaan Bali. Menyisakan dendam, Raja Bali bermaksud menuntut balas. Maka, mereka pun datang ke Sumenep beserta bala tentaranya. Namun siapa sangka, ketika mereka sudah sampai di depan gerbang keraton, amarah yang diselimuti dendam berubah menjadi senyum ramah dan penuh persahabatan.
Namun, versi ini juga tidak relevan karena perang Sumenep-Bali lebih awal lagi dari masa Pangeran Jimat, sandaran versi pertama sebutan Labang Mesem. Perang itu terjadi di masa Pangeran Lor dan Pangeran Wetan I, anak Tumenggung Kanduruhan. Keduanya merupakan penguasa kembar Sumenep yang memerintah 1562-1567 M.
Jika ketiga versi tersebut masih menyisakan ganjalan, baik secara etika maupun yang sifatnya anakronisme. Lalu, adakah versi yang lebih mengacu pada data dan fakta, atau paling tidak masih sangat relevan dengan keberadaan atau awal berdirinya keraton yang saat ini menjadi wisata historis tersebut? Setidaknya ada dua versi. Baca halaman selanjutnya →
Pertama, penamaan Labang Mesem karena dahulu, di dalam keraton, posisinya lurus dengan pintu masuk utama tersebut. Ada arca menghadap ke Selatan. “Arca itu digambarkan tersenyum. Maknanya, tamu yang masuk keraton dihadiahi senyuman yang disimbolkan oleh arca. Juga ketika hendak pulang, tamu yang melintas Labang Mesem juga mendapatkan senyuman patung kecil di loteng Labang Mesem. Menurut cerita sesepuh keraton, begitu,” ujar RPM Mangkuadiningrat.
Kedua, dahulu, ketika Bindara Saot memanggil kedua putranya yang berada di Lembung untuk menghadap ke keraton. Terjadi adegan mengharukan, karena ayah-anak lama tak jumpa. Keduanya pun sama-sama melempar senyum. Nah, di lokasi pertemuan itu lantas oleh Panembahan Sumolo diabadikan dalam bentuk Labang Mesem di keraton yang dibangunnya. Tujuannya untuk mengenang peristiwa dengan ayahnya di masa lampau itu,” cerita Imam Alfarisi, salah satu pemerhati sejarah dari Sendir, Lenteng.
Lalu, versi yang manakah menurut sahabat Mamira.ID lebih benar? Tentu siapa pun saat ini tidak bisa memberi jaminan atau bukti, karena tidak mengalami apalagi melihat peristiwa yang terjadi pada ratusan tahun silam tersebut.
Namun, adanya banyak versi di atas tentu bukan untuk membanding-bandingkan atau bahkan mencari versi mana yang lebih benar. Tapi setidaknya bisa dipetik pelajaran baik, dan yang lebih penting lagi ialah bagaimana kita menjaga, merawat dan melestarikan warisan budaya luhur para pendahulu kita, baik yang berupa bendawi maupun tak bendawi.
Jangan lupa tonton video Mamira.ID di youtube:
Mamira.ID