MAMIRA.ID – Kamis pagi (12/06/2025) beberapa orang nampak sibuk menata seperangkat gamelan di pelataran sebuah rumah bercorak arsitektur khas Madura. Alat tabuh berbahan logam itu ditata sedemikian rupa menunggu giliran untuk dijamas oleh Kalebun (Kepala Desa) Larangan Perreng, Imam Mastum.
Gamelan yang dibersihkan dan disucikan itu terdiri dari gong, kenong, kerca, suling dan saron. Tak hanya itu, barang lain yang terkait, seperti aneka topeng dan pedang turut juga dijamas.
Aneka alat kesenian yang dijamas itu adalah peninggalan Kiai Mat Kholil—Mat, kependekan dari Muhammad, tokoh masyarakat yang mashur pada masanya. Beliau diyakini oleh masyarakat yang ada di desa-desa yang ada di Kecamatan Pragaan sebagai seorang penyiar agama Islam yang aktif menggunakan media kesenian dalam setiap dakwahnya.
Acara itu berlangsung hampir sehari penuh. Rangkaian acaranya dimulai dari terbitnya matahari hingga lewat tengah hari.
Mula-mula sebelum acara inti dimulai, dua ember hitam yang telah berisi air, kembang setaman, daun gelling dan daun bhira diletakkan di halaman rumah. Satu persatu seperangkat tabuhan tua dan barang peninggalan sang Kiai dikeluarkan dari tempat penyimpanannya.
Barang itu dibawa hati-hati, terutama gong dan kempul yang konon dibuat karena hasil tirakat sang empunya. Pun kenong yang beberapa bagiannya sudah mengalamai serangkaian proses oksidasi dibawa dengan seksama.
Barang peninggalan lain, yang berupa tiga buah topeng punakawan, satu topeng madura, satu topeng barong Bali dikeluarkan dari buntalan kain putih. Tak ketinggalan celurit berukuran besar dan pedang samurai dikeluarkan juga dari kamar penyimpanan.
“Semua benda-benda itu disucikan, tak ada satupun yang terlewatkan. Semua benda itu disucikan atas dasar wasiat dari sang leluhur,” ucap Kalebun Imam.
Proses penjamasan aneka pusaka itu berlangsung kurang lebih satu jam. Benda-benda yang telah disucikan itu kemudian ditata sedemikian rupa dipelataran setengah terbuka di depan rumah yang fungsinya kurang lebih mirip dengan pendapa di Jawa, meski model arsitekturnya mencerminkan gaya-gaya arsitektur vernakuler yang berkembang di Sumenep pada kurun periode 70-80an.
Selang beberapa waktu kemudian, para tamu yang didominasi oleh laki-laki mulai berdatangan. Mereka duduk bersila mengeliling seperangkat gamelan yang sudah disucikan. Agar memudahkan para niyaga menabuh, seperangkat gamelan itu ditata sedemikian rupa.
Di bagian depan, dua buah gender disusun berjajar kanan dan kiri. Tepat di belakangnya diletakkan satu set kenong yang jumlahnya ada dua belas. Disusul dua gendang berukuran besar dan kecil di belakangnya. Terakhir, di jabagian paling belakang diletakkan peking dan saron. Khusus satu set gong yang dikeramatkan diletakkan di samping kanan dari perangkat gamelan yang lain.
Seperti pada umumnya, gong memiliki perlakuan khusus alias tak bisa diperlakukan sembarang rupa. Oleh karena itu, tepat di samping Gong tengahan atau kempul, diletakkan seperangkat sesaji yang terdiri dari aneka nasi rasol, damar kambang, segelas kopi, air berisi daun kelor, kain putih, dan gerabah atau polo’ yang berisikan bedak yang sudah dilarutkan air.
Setelah semua tamu berkumpul, salah seorang yang di antara mereka kemudian menyalakan dupa hio sebagai pertanda dimulainya acara. Seorang yang disepuhkan kemudian mulai memimpin pembacaan doa tahlil yang secara khusus ditujukan untuk Kiai Mat Kholil.
Ketika selesai, sebagian dari mereka terutama yang sepuh kemudian langsung memposisikan diri di depan aneka tabuhan tradisional itu yang usianya sudah lebih dari satu abad.
Sementara yang muda juga menyesuaikan posisi duduknya. Mereka mempersiapkan diri untuk menyimak dengan seksama rangkaian acara yang tak kalah sakralnya. Sebuah rangkaian acara yang konon banyak dinanti-nanti oleh para tamu undangan karena aneka gending tambur ciptaan sang Kiai akan segera dimainkan.
Pak El, salah seorang niyaga yang dituakan kemudian mulai mempimpin permainan. Ia duduk bersila di depan kenong. Mula-mula untuk memulai tabuhan, ia memberi komando dengan mengetuk beberapa bagian kenong, yang kemudian secara bergantian para niyaga lainnya turut memainkan perangkat gamelan yang ada didepannya. Sontak dalam sekejap ruangan itu menjadi hening dan syahdu dengan alunan gending.
Permainan gamelan itu dibagi menjadi sembilan bagian mengikuti jumlah gending tambur yang dicipatakan sang Kiai.
Tak ada nama khusus terkait judul dari masing-masing bagian dari gending tersebut. Hanya saja beberapa niyaga memberikan penamaan secara impromptu atau spontan. Penamaan itu didasarkan pada ritme musik yang dimainkan disetiap bagiannya. Misal tak-kotak ajam, pojian dan Indonesia merdeka.
Di sela-sela acara, kalebun Imam menuturkan, bahwa gending tambur yang dimainkan secara berurutan itu diyakini berisi pesan-pesan kehidupan dan kebaikan dari penciptanya.
“Gending itu sejak dulu menjadi pembuka dari gending hiburan lainnya atau acara ludruk yang sering dipentaskan oleh kelompok kesenian dibawah asuhan sang Kiai,” terangnya.
Ia juga menambahkan jika gending tersebut terakhir dimainkan pada tahun 1985, sebelum akhirnya diperdengarkan kembali sekitar tahun 2000an saat perayaan acara Haul Kiai Mat Kholil yang rutin diselenggarkan seminggu setelah hari raya Idul Adha.
Setelah sembilan gending tambur selesai dimainkan, para niyaga kemudian berganti posisi tempat duduk. Selanjutnya mereka memainkan kembali gending jung-kejungan.
Seorang dari tamu mengambil posisi sebagai tokang kejung. Ia secara khusus menyanyikan bait-bait pujian dan cerita perjalanan yang berkaitan dengan perangkat gamelan pusaka milik Kiai Mat Kholil.
Gending kejungan itu menjadi penanda bagi para tamu dan tetangga sekitar untuk mengambil air sisa jamasan gamelan dan benda-benda pusaka dari sang Kiai. Air ini diyakini oleh masyarakat setempat dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan memberikan keselamatan.
Gending kejungan dimainkan cukup lama hingga matahari tepat berada ditengah-tengah bumi. Sebagai akhir dari jalannya rangkaian acara sakral itu, sang tuan rumah kemudian membagikan berkat kepada para niaga.