Site icon MAMIRA.ID

Kiai Baroya: Penerus Estafet Perjuangan Kiai Faqih

Mamira.id – Lembung sejatinya banyak menyimpan sejarah perabadan pesantren serta menjadi cikal bakal para leluhur pemimpin dinasti terakhir keraton Sumenep, namun banyak orang tidak tahu akan sejuta peninggalan sejarah itu. Sebuah desa yang cukup asri dan permai menandakan sebuah kemakmuran masyarakatnya serta adat istiadat yang masih kental dengan dunia pesantren dan bidang keilmuan pada umumnya.

Pesantren menjadi salah satu media pemekaran dunia keilmuan guna mencetak kader-kader pesantren yang ideal dan bermoral tinggi. Tentu di Desa Lembung ini banyak tokoh sufi yang mengembangkan dunia pesantren dan langgar sebagai tempat menyiarkan agama Allah dan mengajarkan ilmu agama serta nilai-nilai moral kemasyarakatan, sebutlah ulama tersebut seperti Nyai Cettir dan K. Faqih.

Dalam genealogi sejarah, kedua tokoh di atas sangat banyak mendedikasikan ilmunya terhadap dunia perkembangan islam dan pesantren lebih khususnya, selain itu juga beliau manjadi tokoh leluhur para penguasa dinasti terakhir kraton Sumenep.

Tak hanya dari dua tokoh tersebut dunia islam/pesantren bisa berkembang. Pada perkembangan selanjutnya, ada sosok tokoh yang mungkin tidak banyak di kupas dalam lembaran sejarah peradaban serta situs-situs peningalan Asta Lembung. Sosok tersebut adalah K. Baroya.

Pada liputan kali ini tim mamira akan sedikit menelusuri jejak sang tokoh yang bernama K. Baroya tersebut. Beliaulah yang meneruskan perjuangan dunia pesantren setelah K. Faqih wafat, terbukti dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan dan juga pesantren di daerah Lembung yang masih eksis sampai saat ini.

“Ya adanya pesantren di desa ini karena berkat adanya K. Baroya, beliau yang menjadi penerus pertama tonggak estafet perjuangan K. Faqih dalam dunia ilmu keagamaan dan pesantren pada khususnya,” Jelas K. Marjuddin, salah satu keturunan K. Baroya beberapa waktu lalu saat tim mamira mengunjungi pasarean tokoh-tokoh tempo dulu di tanah Lembung.

Baroya adalah sosok ulama pendatang di daerah Lembung, beliau berasal dari Pasongsongan keturunan Sayyid Ali Akbar ulama terkemuka di daerah pantura. Meski seorang pendatang namun keilmuan K. Baroya tak bisa di remehkan beliau juga memiliki ilmu dan karomah yang tinggi. K. Baroya diambil menantu K. Shaleh putra dari K. Bungso yang tak lain masih keturunan dari K. Khatib Bangil Parongpong.

Sementara K. Bungso sendiri merupakan saudara dari K. Faqih atau saudara dari Ny. Nuriyam, ibu dari Bindara Saot. Jadi antara K. Faqih dan istri K. Baroya masih ada ikatan kekerabatan. Sebab mertua dari K. Baroya adalah ponakan dari K. Faqih.  Istri K. Baroya bernama Nyai Roimah putri dari K. Shaleh yang tak lain adalah putra K. Bungso, sosok ulama yang juga punya peranan penting dalam perkembangan dan keberlangsungan perantren K. Faqih di masanya.

“K. Faqih itu tidak memiliki keturunan, jadi pesantren di lanjutkan oleh saudara serta cucu keponakan beliau,” Imbuh K. Marjuddin yang juga ikut menemani tim mamira waktu itu.

Karomah dan Peninggalan K. Baroya

Sebagai salah satu penerus sang guru agung dipelataran bumi Lembung, tentu banyak hal kejadian yang luar biasa sebagai salah satu karomah yang dimilik K. Baroya. Diantaranya K. Baroya selalu naik “karocok” (bahasa madura) bungkus bunga pohon kelapa kemana beliau hendak akan bepergian terutama tempat-tempat yang jauh. Selain itu beliau kuga bisa menundukan pohon kelapa ketika beliau menginginkan buah kelapa yang ia kehendaki.

“Beliau hanya tinggal menujuk pohon tersebut dengan jari beliau. Maka pohon tersebut langsung merunduk. Sungguh luar biasa,” Papar K. Marjuddin sambil menyeruput secangkir kopi hitam sore itu bersama tim mamira.

Mentari sore sudah memerah, sebentar lagi malam akan menjemput senja, secangkir kopi pun sudah mulai menipis namun suasana semakin hangat dalam bincang-bincang tentang K. Baroya. Sudah banyak hal yang di peroleh tentang informasi soal kyai alim ini.

Ditengah senja yang mulai temaram, K. Marjuddin melanjutkan tentang peninggalan situs K. Baroya. Di kisahkan pada suatu hari K. Baroya datang dari perjalanan jauh beliau membawa 1 kantong yang isinya tiga buah langgar kuna. Subhanallah wal hamdulillah sungguh kejadian luar biasa 3 langgar kayu bisa di bungkus dengan satu kantong. Seraya K. Baroya memerintahkan para santri untuk mendirikan langgar tersebut, sore itu pun mulai dikerjakan pembangunan langgar tersebut dalam waktu singkat 3 langgar itu bisa terselesaikan sekaligus.

“Dari waktu sore itu hingga menjelang adzan isya tiga bangunan langgar itu terselesaikan, bahkan bisa di tempati untuk shalat isyak secara berjamaah,” Cerita K. Marjuddin dengan wajah penuh haru.

Ketiga langgar tersebut sampai saat ini masih bisa kita saksikan sebagai salah satu jejak situs peninggalan K. Baroya, namun di sayangkan 2 langgar sudah mulai ada perubahan dari bentuk aslinya dan di letakkan di tempat yang berbeda.

“Langgar timur” sebutan bagi sebuah langgar yang letaknya tak jauh dari kediaman beliau yakni sebelah timur laut komplek asta K. Baroya. Langgar timur tampak masih asli pada sisi bangunan dengan dinding batu putih dan 4 tiang penyanggah terbuat dari kayu masih berdiri kokoh tanpa ada perubahan keasliannya, namun pada gentengnya sudah ada perubahan karena termakan usia.

Sementara “Langgar tengah” sebutan bagi langgar yang letaknya tepat di lembaga pendidikan Nurul Yaqin, Desa Lembung Barat, Kecamatan Lenteng, sudah ada pemugaran secara total. Saat ini pesantren tersebut di asuh oleh Kh. Hasbullah salah satu menantu dari keturunan K. Baroya.

Langgar yang terakhir merupakan “Langgar Barat” sebutan bagi langgar yang letaknya ada di sebelah barat Sungai Lembung. Langgar ini sudah di rubah total menjadi bangunan Masjid karena perkembangan zaman dan tuntutan masyarakat akan sarana ibadah yang lebih memadai dan lebih baik. Masjid tersebut bernama Masjid Al. Musyarrafah dan sampai saat ini masih eksis dengan kegiatan ubudiyah seperti shalat jum’at, shalat berjamaah, pengajian Al. Qur’an dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.

Keturunan K. Baroya dan Kehidupan Pesantren Saat Ini

Baroya menikah dengan Nyai Roimah putri dari K. Shaleh salah satu ulama terkemuka keturunan dari K. Bungso yang tak lain merupakan saudara dari K. Faqih. Beliau dikaruniai putra bernama K. Sihah. Dari K. Sihah ini banyak bermunculan ulama ulama yang menjadi penerus sekaligus mengembangkan pesantren di berbagai daerah di wilayah Sumenep.

Anak cucu dari K. Sihah inilah yang meneruskan perjuangan leluhurnya guna mengembangkan ilmu agama, pesantren dan lembaga pendidikan pada umumnya. Didaerah Lembung Barat terdapat dua pesantren yang masih eksis sampai saat ini, yang di kenal dengan langgar timur dan langgar tengah karena di dua langgar ini mengalir darah K. Baroya yang meneruskan perjuangan di bidang agama dan pendidikan moral.

Langgar Timur yang menjadi sentra utama tempat berawalnya pusat pendidikan kepesantrenan di tanah Lembung, Langgar tersebut menjadi saksi sejarah tempat K. Baroya mengembangkan keilmuannya dan menjalankan misi dakwahnya. Di langgar inilah mulai bermunculan lembaga pendidikan umum yang sampai saat ini masih aktif di tengah tengah masyarakat. Pesantren tersebut bernama Arrahman serta Lembaga pendidikan formalnya bernama Al. Huda. Lembaga formalnya meliputi lembaga pendidikan PAUD, TK, MI, MTs dan SMA.

Masih berada di tanah lembung, satu lagi lembaga yang masih termasuk rintisan dari K. Baroya, lembaga ini terletak di sebelah barat asta K. Baroya, Langgar Tengah begitulah banyak orang menyebutnya. Di sana juga berkembang pesantren Nurul Yaqin dan lembaga pendidikan formal bernama Nurul Yaqin yang juga punya pendidikan formal meliputi PAUD, MI, MTs hingga SMAI.

Tak hanya di daerah Lembung saja keturunan K. Baroya mengembangkan pesantren dan lembaga pendidikan. Sebut saja salah satunya di daerah Gadu Barat, Kecamatan Ganding. Di daerah ini juga berdiri pesantren yang di prakarsai oleh KH. Abd. Hamid yang tak lain masih ada nasab K. Baroya.

“Lembaga Raudlatul Iman nama yang sudah masyhur di kalangan masyarakat Ganding, lembaga ini di asuh oleh tiga kyai bersaudara yakni KH. Mufti Hamid, K. Sidqi Hamid dan K. Sahli Hamid. Di lembaga ini selain berkembang pesantren ada juga lembaga formal mulai tinggat usia dini sampai perguruan tinggi, kesemuanya tak lain adalah salah bentuk pengabdian anak cucu K. Baroya akan dunia pesantren dan lembaga pendidikan pada umunya,” ujar K. Sahli Hamid yang juga masih termasuk keturunan K. Baroya.

Pasarean K. Baroya dan Istrinya

“Kullu nafsin daiqatul maut” begitulah kalam ilahi dalam Al. Qur’an. K. Baroya dan istrinya Nyai Roimah dikebumikan diarea yang sama yakni di belakang masjid Jami’ K. Faqih, tepatnya di Desa Lembung Barat, Kecamatan Lenteng. Kondisi pagar pembatas maqburah keduanya berdinding susunan batu putih yang kondisinya tampak masih asli dan tak ada perubahan.

Sementara maqburah keduanya sudah ada perubahan dari bentuk aslinya mulai jirat dan nisan sudah tak asli lagi. Asta keduanya sudah dibalut dengan semen menjadi variasi nisan dan jirat pasarean K. Baroya. Namun nisan Ny. Roimah tetap asli tapi tanpa ada pahatan prasasti yang menjadi sumber sejarah tentang wafatnya tokoh tersebut.

Pada pusara K. Baroya dan istrinya terdapat dua gunungan tampak masih berdiri kokoh dan keasliannya masih terjaga betul. Gunungan adalah simbol keagungan pada dua tokoh ulama yang bersemayam di sana, keduanya adalah pasangan suami istri yang semasa hidupnya banyak disibukan dengan dunia pesantren dan pengembangan ilmu keagamaan guna mencetak kader-kader santri yang berwawasan tinggi, agamis dan bermoral baik. Semoga kelak anak cucu dari tokoh ini masih mampu mengembangkan jejak sang tokoh dalam dunia pesantren dan lembaga pendidikan pada umumnya.

Jangan lupa tonton video ini:

Penulis: Abd. Warist

Editor: Mamira.id

Exit mobile version