Site icon MAMIRA.ID

Kiai Abdullah Sajjad: Pejuang Kemerdekaan yang Syahid Di Ujung Senapan Belanda

Ket.Foto: Gambar wajah Kiai Abdullah Sajjad, tugu kemerdekaan, monumen tempat Kiai Abdullah Sajjad dieksekusi oleh serdadu Belanda dan asta Kiai Abdullah Sajjad yang terletak di Pondok Pesantren Annuqayah. (Mamira.ID)

Mamira.ID – Kabupaten Sumenep memiliki sosok ulama karismatik, pemberani, tegas, dan berkarakter yang berjasa besar dalam perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Beliau merupakan pemimpin Laskar Sabilillah yang syahid di ujung senapan penjajah Belanda.

Pada makam atau asta beliau terdapat simbol yang terbuat dari semen berupa bambu runcing setinggi dua meter dengan bendara merah putih di ujungnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa beliau merupakan pejuang atau pahlawan yang mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada zaman kolonial.

Meski berada di area pesantren dengan santri berjumlah ribuan, kondisi asta tersebut tampak terasa tenang dan sejuk. Asta ini hanya ramai dengan para santri yang mengaji silih berganti, utamanya pada Kamis sore atau setelah salat Asar hingga menjelang azan Magrib. Maklum, pada malam atau hari Jumat merupakan hari libur kegiatan belajar mengajar di pesantren. Sebagian besar santri mengisi kegiatan sore dengan mengaji ke asta para masyayikh pendiri dan penerus pesantren yang telah wafat.

Asta dengan kijing dan nisan berwarna putih tersebut terletak di kawasan Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, persis di sebelah selatan Madrasah Aliyah Putri, atau di sebelah barat Kampus Instika Putri. Di kalangan para santri, asta ini familiar dengan sebutan Asta Laok (Asta Selatan), karena memang posisinya berada di area paling selatan pondok pesantren.

Asta laok memang merupakan salah satu asta khusus para almarhum dan almarhumah keluarga pesantren. Ketika kita mengunjungi asta tersebut akan ada satu maqbarah yang tampak berbeda dengan asta yang lain karena keberadaan simbol bambu runcing dan bendera merah putih. Bahkan, maqbarah tersebut akan tampak terlihat di saat kita berada di pintu masuk asta yang sekelilingnya berpagar tembok setinggi satu meter setengah tersebut, karena posisinya memang berada tak jauh dari pintu masuk.

Inilah asta Kiai Abdullah Sajjad Syarqawi, salah satu putra dari Kiai Syarqawi dengan Nyai Mariyah. Tidak ada catatan atau data secara pasti mengenai tanggal dan tahun beliau dilahirkan. Namun, sang pejuang diperkirakan lahir pada tahun 1895 M. Meski demikian, nama dan jasa besarnya terhadap bangsa ini tidak bisa dilupakan begitu saja oleh siapapun dan hingga kapanpun.

Tepat di sebelah timur asta Kiai Abdullah Sajjad terdapat maqbarah Kiai Khazin, sang pelaksana taktik dan strategi perang Kiai Abdullah Sajjad di medan perang.

Ket.Foto: Gambar wajah kiai Abdullah Sajjad. Gambar ini diambil dari FB Ammy Abduh (Kiai Abdullah Sajjad) yang diunggah pada tanggal 17 Agustus 2017.

“Saya sendiri belum menemukan catatan terkait tahun dan tanggal lahir Kiai Sajjad. Mungkin tahun delapan belas sekian, saya tidak bisa memberikan data pasti soal itu. Belum ada sumber yang valid. Kalau Mbah itu (KH. Ahmad Basyir Abdullah Sajjad), 10 Agustus 1930. Mbah mondok ke Sidogiri sekitar umur 17 tahun. Jadi, sebelum mondok, Mbah ikut berperang dulu. Di Sidogiri mondok 2,5 tahun. Itu Mbah sendiri yang bilang ke saya sebelum beliau wafat,” ujar Lora Muhammad Nubail atau akrab disapa Ra Nobel oleh para santri. Beliau merupakan generasi keempat Kiai Abdullah Sajjad, saat ditemui Mamira.ID.

Keberanian Kiai Abdullah Sajjad Terhadap Penjajah. Baca selengkapnya di halaman berikut⇒

Keberanian Kiai Abdullah Sajjad kepada para penjajah tergambar dalam kisah tutur yang diunggah dalam status facebook Ammy Abduh (Abdullah Sajjad), cicit Kiai Abdullah Sajjad yang diunggah pada 17 Agustus 2017 lalu. Dalam statusnya tertulis sebagai berikut:

“Pada masa penjajahan, pernah dalam beberapa kurun lamanya, Belanda memberlakukan jam malam. Penduduk dilarang menyalakan lampu penerang, tidak boleh keluar ataupun berkumpul dan berkegiatan di waktu malam.

Suatu saat selepas Isya, datanglah dua orang pribumi jongos Belanda ke Latee untuk menegur almarhum KH. Abdullah Sajjad yang bersiap mengadakan pengajian atau khotmil Qur’an.

Beliau kemudian menunjuk purnama sambil berkata dengan lantang “Heiii.. Kabele, mon Belendeh bisah mate’eh tera’na bulen, sengko’ bakal tunduk” (Heiii..Sampaikan, jika Belanda mampu memadamkan cahaya rembulan, niscaya aku akan tunduk).

Seketika keduanya gemetar, mulutnya muntah mengeluarkan sisa makanan dalam perut, kemudian bergegas lari ketakutan.

*Almarhum KH. Abdullah Sajjad bin KH. Muhammad as-Syarqawi al-Kudusi gugur di ujung senapan serdadu Belanda pada hari Selasa tanggal 20 Muharram 1367 H (03 Desember 1947 M). Riwayat ini disampaikan oleh sesepuh keluarga besar Pondok Lengkong Guluk-Guluk Sumenep. Wallahu a’lam.” Bunyi status tersebut.

Meski tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya peristiwa seperti yang tertulis dalam status facebook tersebut. Apakah memang terjadi sebelum pendudukan Jepang, atau setelah agresi ke-2 Belanda.

“Nah…Pertanyaan yang kritis. Ini juga menjadi pertanyaan bagi saya, kapan sebenarnya kisah ini terjadi. Apakah sebelum pendudukan Jepang, atau setelah agresi ke-2 Belanda. Atau bisa jadi yang disebut “Belanda” dalam cerita di atas sebenarnya adalah serdadu Jepang itu sendiri. Wallahu a’lam. Saya hanya menulis sesuai dengan apa yang saya dengar dan saya ingat dari penuturnya,” jelas Kiai Ammy Abduh menanggapi salah satu komentar netizen dalam kolom komentarnya.

Sementara dalam kisah Kiai Abdullah Sajjad yang lain, di saat Belanda dengan ambisi imperialistiknya terus berupaya merebut kembali Indonesia  setelah Kemerdekaan 1945. Penjajah terus meluaskan wilayah ekspansinya hingga ke wilayah Madura. Bahkan, untuk kedua kalinya Belanda memasuki wilayah Madura pada tahun 1947.

Pada saat itu, Kiai Abdullah Sajjad merupakan pemimpin pasukan Laskar Sabilillah Sumenep. Di mana kepemimpinan laskar sebelumnya dipegang oleh Kiai Muhammad Ilyas. Disamping itu, Kiai Abdullah Sajjad juga baru saja menjadi Kepala Desa (Madura: Kalebun) Guluk-guluk.

“Kiai Abdullah Sajjad sebelum menjabat kepala desa memang sering berbaur dengan masyarakat, lebih dekat dengan masyarakat. Saat itu, ketika ada masyarakat yang sakit, beliau langsung menjenguknya, tidak hanya sekedar menjenguk, namun juga membacakan burdah untuk yang sakit dan alhamdulillah yang sakit itu sembuh. Jadi, masyarakat banyak yang menjadi pengikut dan sangat dekat dengan beliau. Kemudian beliau dipilih jadi kepala desa oleh masyarakat. Jabatan kepala desa, beliau jadikan ladang dakwah. Beliau memang punya tipikal pemimpin. Awalnya, kepimimpinan laskar itu K. Ilyas. Namun kemudian dipasrahkan ke Kiai Sajjad dan Kiai Khazin, ponakannya, abahnya Kiai Tsabit Khazin itu. Beliau dilantik jadi kepala desa hampir bersamaan dengan agresi militer II Belanda,” terang Lora Nobel.

Ket.Foto: Tugu kemerdekaan yang terletak samping puskesmas kemmisan, tak jauh dari tempat Kiai Abdullah Sajjad dieksekusi oleh serdadu Belanda. (Mamira.ID)

Melalui institusi itulah, Kiai Abdullah Sajjad menghimbau dan mengajak para warganya guna menghimpun kekuatan dalam melawan penjajah yang kembali ingin menguasai Sumenep. Masyarakat kemudian bergabung dalam Laskar Sabilillah yang berisi barisan para kiai, santri dan barisan anak-anak muda.

“Jabatan kepala desa itu memang dijadikan untuk berdakwah, itu tahun 1947. Saya melihat di catatan Mbah (KH. Ahmad Basyir Abdullah Sajjad). Beliau juga punya karangan kitab, kitab tauhid kecil, nama kitabnya, lupa saya. Sama Mbah, itu disimpan karena ada semacam kekeliruan, khawatir disebar karena belum sempat diperbaiki. Mbah Basyir juga ikut berperang dulu. Saat perang, Mbah berumur 15 tahun. Mbah itu kelahiran 1930, beliau itu termasuk Laskar Sabilillah. Beliau juga ikut menghancurkan jembatan-jembatan yang ada di Pakong (Bakeong) agar tank-tank Belanda tidak bisa masuk ke timur (Sumenep). Jadi, Mbah itu fokusnya ke tank-tank Belanda,” tambahnya.

Kala itu, Kiai Abdullah Sajjad menjadi orang yang selalu dicari-cari oleh pasukan Belanda, karena beliau merupakan juru taktik dan strategi dalam pertempuran kala itu, dan sebagai penggerak taktik dan strategi di lapangan. Beliau dibantu langsung oleh keponakannya yang bernama Kiai Khazin.

“Kiai Sajjad selalu dicari-cari, karena beliau memang orang yang sangat kuat menurut Belanda. Kiai Khazin itu juga bergabung dengan para kiai di Pamekasan. Dalam kisahnya, Kiai Khazin itu diberi azimat, semacam itu lah pokoknya, berupa lidi dan dipakai (diletakkan) di kepala beliau. Kiai Khazin itu memang ditugaskan di perbatasan Sumenep-Pamekasan. Pada saat itu Belanda sempat dipukul mundur, sampai jauh ke arah barat, sampai ke daerah Berenta,” ujar Lora Nobel dengan wajah serius.

Gencarnya serangan pasukan penjajah kala itu tidak membuat nyali pasukan Laskar Sabilillah ciut. Nyala semangat juang mereka dalam mempertahankan kemerdekaan tetap berkobar. Serangan demi serangan terus dilancarkan Belanda. Pun dengan perlawanan pasukan Laskar Sabillah semakin gencar.

Meski upaya untuk mempertahankan diri dari serangan Belanda, para Laskar Sabilillah dipaksa mundur karena solidnya serdadu penjajah. Akhirnya pertahanan laskar berhasil ditembus oleh penjajah karena tentu peralatan perang mereka jauh lebih canggih dan modern.

Kiai Abdullah Sajjad Mengungsi ke Karduluk

Disaat situasi seperti itu, Kiai Khazin pengirim utusan ke markas Laskar Sabillah, Annuqayah. Melalui utusan tersebut, Kiai Khazin meminta mengosongkan markas untuk sementara waktu.

“Memang, ketika Belanda kembali ke Madura, Latee yang awalnya rumah ilmu menjadi rumah untuk mengatur taktik dan strategi perang melawan penjajah itu,” ujarnya.

Kiai Mohammad Ilyas mengungsi di Dusun Berca, daerah pedalaman Guluk-Guluk. Sementara Kiai Abdullah Sajjad dengan beberapa santrinya mengungsi ke Desa Karduluk, Kecamatan Pragaan. Awalnya, Kiai Abdullah Sajjad disarankan untuk mengungsi ke Pulau Jawa. Namun, beliau bertahan di wilayah Sumenep dengan pertimbangan tidak ingin meninggalkan santri dan rakyatnya.

“Kiai Sajjad kemudian mengungsi ke Karduluk selama kurang lebih empat bulan lamanya, kemudian oleh K. Baharuddin, abah K.H Abdul Basith Bahar, itu aslinya karduluk kan. Beliau menyarankan agar Kiai Abdullah Sajjad mengungsi ke daerah Jawa, tepatnya ke Sokarajja (Sukorejo). Namun beliau menolak (tak kasokan), beliau lebih memilih untuk bertahan karena memikirkan santri dan rakyatnya. Yang mengungsi ke sana cuma Kiai Khazin itu, karena di sana merupakan satu-satunya tempat yang aman,” katanya.

Kiai Khazin yang kemudian mengungsi ke Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Asembagus, Sitobondo. Pesantren ini, oleh Belanda dinyatakan sebagai Heillige Zone (zona suci) yang merupakan daerah terlarang bagi tentara Belanda. Artinya, tentara Belanda dilarang keras untuk memasuki kawasan tersebut, walau untuk menangkap tokoh dan pejuang kemerdekaan sekalipun. Sehingga, pondok pesantren dijadikan sebagai penyembunyian dan sarang pelarian gerilyawan pasukan Indonesia.

Datanglah Sepucuk Surat kepada Kiai Abdullah Sajjad, taktik licik Belanda untuk menangkap beliau. Baca selengkapnya⇒

Setelah empat bulan di pengungsian, datanglah sepucuk surat yang ditujukan kepada Kiai Abdullah Sajjad yang berisi pernyataan bahwa Guluk-Guluk aman terkendali, dan Kiai Abdullah Sajjad dimohon untuk kembali ke Pesantren Annuqayah. Sebelum surat itu disampaikan kepada Kiai Abdullah Sajjad, pihak pimpinan pesantren Annuqayah yaitu Kiai Mohammad Ilyas dan Kiai Idris melakukan musyawarah, dan akhirnya keduanya pun menyetujui.

Kiai Abdullah Sajjad pun kembali ke Pesantrren Annuqayah. Mendengar kedatangan Kiai Abdullah Sajjad, sontak saja masyarakat berkunjung ke pesantren untuk menemuinya. Di saat Kiai Abdullah Sajjad sedang bercengkrama dan menjamu para tamu di Musala, sehabis beliau melaksanakan salat Magrib berjamaah, tiba-tiba serdadu Belanda datang dan menagkap beliau. Rupanya, surat tersebut merupakan taktik licik Belanda untuk menangkap Kiai Abdullah Sajjad dengan iming-iming untuk berunding.

“Memang ada mata-mata Belanda untuk mencari tahu keberadaan Kiai Sajjad, ada yang bilang mata-mata itu mengirim surat untuk beliau agar kembali ke Latee. Mata-mata itu mengirim surat perundingan damai, waktu itu sore atau Asar. Memang, warga sekitar Latee juga katanya yang jadi mata-mata waktu itu. Dan pengkhianat itu juga yang memberi tahu kepada Belanda kalau Kiai Sajjad sudah kembali ke Latee. Setelah salat Magrib itu, dijemput oleh serdadu Belanda. Kemudian beliau lebih memilih menyerahkan diri untuk menghindari kontak fisik antara santri dan masyarakat di Latee. Kiai Sajjad dibawa ke Kemmisan oleh Belanda. Sebenarnya sudah hampir terjadi kontak fisik di Latee, tapi kemudian beliau mengatakan, ‘Sudah, bawa dan bunuh saja saya, asal santri dan masyarakat di sini aman’,” ujar Lora Nobel mengisahkan sang buyut.

Ket.Foto: monumen tempat dimana Kiai Sajjad syahid sebagai pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. (Mamira.ID)

Kemudian, Kiai Abdullah Sajjad dibawa ke lapangan Guluk-Guluk yang saat ini lebih dikenal dengan Lapangan Kemmisan, satu kilometer ke arah utara dari pesantren. Di sanalah pimpinan barisan Laskar Sabilillah itu gugur. Beliau wafat di depan regu tembak Belanda.

“Jadi, nama Kiai Sajjad itu bukan nama sematan atau semacamnya, itu nama daging memang. Nama asli sejak baru lahir itu. Memang, Kiai Syarqawi itu memberi nama ‘Abdullah Sajjad’ agar puteranya itu menjadi orang ahli sujud, dalam artian ahli ibadah. Saya tidak tahu kalau ada yang mengatakan Kiai Sajjad ditembak saat bersujud. Tapi beliau memang meminta izin untuk melaksanakan salat sunnah terlebih dahulu. Salat sunnah mutlak, bukan salat sunnah yang lain. Jadi, mungkin agar wafatnya sempurna jika selesai salat,” tutur Lora Nobel.

Jenazahnya kemudian dibawa secara diam-diam oleh salah satu santri, lalu dikebumikan di lingkungan Pesantren Annuqayah. Peristiwa berkabung tersebut terjadi pada tanggal 03 Desember 1947 atau pada masa agresi II Belanda.

“Darah Kiai Sajjad itu harum, katanya. Jenazah beliau diambil saat dini hari. Itu jenazahnya sangat ringan seperti kapas. Kalau tidak salah, almarhum KH. Tsabit punya (agaduan) darah beliau. Saya dengar begitu, tapi gak tahu kalau sekarang. Darah Kiai Sajjad itu sangat wangi katanya. Yang membawa jenazah beliau dari Kemmisan ke Annuqayah itu cuma satu orang. Ada namanya yang membawa jasad beliau itu, tapi saya lupa. Santri itu yang membawa ke Annuqayah. Malam-malam itu, santri yang mencuri jasad Kiai Sajjad,” pungkasnya.

Ket.Foto: Asta Kiai Abdullah Sajjad dengan simbol bambu runcing dan bendera merah putih dan asta ponakan beliau Kiai Khazin. (Mamira.ID)

Untuk mengenang peristiwa tersebut, dibangunlah sebuah monumen tepat di area Kiai Abdullah Sajjad gugur sebagai syuhada. Area tersebut kini diberi pagar berupa tembok berbalut keramik. Di tengah tengahnya dibangun monumen dari semen selebar dua meter persegi dengan tinggi satu meter dengan berbalut keramik hitam. Di sana juga dijelaskan tanggal dan tahun peristiwa berkabung tersebut.

Sementara, tidak jauh dari lapangan tersebut juga dibangun tugu kemerdekaan atas kerjasama beberapa lembaga, di antaranya : Wahid Foundation Seeding Peacful Islam, Biro Pangabdian Masyarakat Pondok Pesantren Annuqayah (BPMPA), Pemerintah Kabupaten Sumenep, UN Women dan terdapat bendera Jepang dengan keterangan di bawahnya ‘From the People of Japan’.

Tepat di hari kemerdekaan ini, 17 Agustus 2021, sudah sepantasnya kita mengheningkan cipta sekaligus mengirimkan hadiah doa kepada para pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia. Alfatihah.

Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di youtube:

Mamira.ID

Exit mobile version