Site icon MAMIRA.ID

Jubhada, Jajanan Legendaris Khas Karduluk

Ket Foto: Jubhada, Jananan Tradisional Khas Karduluk

Mamira.id – Jubhada, itulah nama jajanan yang sudah ada sejak bangsa ini belum lepas dari belenggu penjajah yang hingga saat ini masih bisa kita nikmati. Maka tak berlebihan jika istilah “tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas” layak disandingkan pada jajanan tradisional yang legendaris satu ini.

“Kalau menurut cerita nenek saya, Jubhada ini sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Jubadha itu memang sudah ada,” ujar ibu Jazilah (45) ketika ditemui tim mamira beberapa waktu lalu, saat itu ia sedang sibuk mengemas jajanan manis tersebut.

Jajanan tradisional khas Desa Karduluk ini sudah tidak asing lagi bagi orang Madura sendiri dan masyarkat kawasan tapal kuda, Jubhada sampai saat ini masih tetap eksis dan sering dijadikan oleh-oleh saat orang Madura berkunjung ke jawa atau “onggha” dalam istilah Madura, seolah-olah jawa ada di atas. Pun sebaliknya, Ketika orang jawa yang berkunjung ke madura “toron” juga membawa oleh-oleh khas desa Karduluk ini.

Ibu Jazilah merupakan salah satu warga dari delapan ibu rumah tangga Dusun Blajud, Desa Karduluk, Kecamatan Pragaan yang masih setia menggeluti usaha jajanan tradisional ini. Alasan Ibu dua anak ini tetap menekuni usaha Jubhada karena tak ingin jajanan yang melegenda hilang ditelan zaman, agar anak-anak milenial juga tau bahwa ada jajanan tempo dulu yang perlu tetap dilestarikan.

Bahan-bahan dan Cara Membuat Jubadha

Cuaca pagi cerah nan berawan kala itu, di teras rumahnya, ibu Jazilah duduk di kursi teras rumahnya dengan ditemani seorang gadis yang tak lain merupakan anak perempuannya. Di mejanya terdapat nampan yang berisi tumpukan jubadha yang sudah diikat, rupanya mereka sedang mengemas jubadha hasil produksi kemarin ke dalam mika.

Melihat bentuk Jubhada yang dikemas berbentuk unik, rasa penasaran pun muncul untuk segera tahu apa saja bahan-bahan membuat jajanan tempo dulu ini. Jajanan yang disukai semua kalangan tersebut rupanya berbahan dasar utama tepung tapioka, tepung jagung, gula dan air la’ang atau legen. Dari empat bahan dasar tersebut, air la’ang merupakan bahan yang wajib ada, karena la’ang itulah yang menjadi khas dari Jubhada itu sendiri. Selain menjadi pemanis, air la’ang memberi aroma khas pada Jubhada.

Dengan penuh kesabaran, ibu Jazilah menjelaskan proses pembuatan adonan pada tim mamira, sebelum bicara panjang lebar, sebaris senyum tampak dibibirnya, “Tepung jagung dan tepung tapioka dicampur rata, kemudian bahan-bahan tersebut dilarutkan kedalam kuali besar yang sudah berisi air la’ang mendidih, kemudian ditambah gula dan diaduk terus-menerus hingga agak sedikit mengental,” tuturnya diselingi senyum dan tawa kecil.

Sambil mengambil Jubadha yang sudah bisa diikat dan dikemas, Ibu jazila kambali menjelaskan proses pembuatan Jubadha selanjutnya. “ Saat adonan di kuali sudah mengental, kemudian adonan tersebut dituangkan ke tempat penjemuran. Cara membuatnya persis sama seperti membuat dodol, cuma kalau jubadha agak sedikit lebih encer”. Jelas ibu jazilah.

Tak lama kemudian tim mamira diajak ke dapur tempat pembuatan Jubhada. Beruntung sekali, tim mamira bisa melihat secara langsung proses pembuatan jajan yang punya rasa manis ini. Dapur khusus pembuatan jubadha berada tak jauh dari rumahnya, sekitar lima meter disamping sebelah barat. Dapur tak berpintu tersebut hanya berdinding anyaman bambu, di dalamnya terdapat satu tungku besar yang terbuat dari tanah liat dan kuali besar diatasnya, disamping tungku terdapat kayu bakar bertumpuk sedikit berserakan.

Di tiang dapur terdapat bambu sepanjang setengah meter sebagai tempat alat untuk mengaduk adonan dan gayung sebagai alat saat adonan dituangkan ke tempat penjemuran. Dapur tua ini menjadi saksi jajanan legendaris itu dibuat. Meski terbilang sebagai jajanan jadul, namun tetap mampu bersaing ditengah menjamurnya jajanan kekinian.

Proses Penjemuran Jubhada

Kepulan asap dan uap panas dari kuali menerpa wajah ibu Jazilah, wajahnya terlihat sedikit berminyak. Dengan ditemani satu karyawannya, ibu Jazilah terus mengaduk adonan yang sudah nyaris mengental itu, sementara karyawannya menyiapkan alat penjemur dari anyaman bambu yang berupa widig orang Madura menyebutnya “bidhik” panjangnya sekira 2×1 meter.

Sebelum adonan dituangkan, widig diberi alas plastik terlebih dahulu dan dibaluri minyak kelapa yang di taruh di dalam cangkir. Minyak kelapa berfungsi agar adonan tidak membuat plastik mengkerut dan tidak lengket saat jubadha kering.

Setelah lembaran demi lembaran plastik menutupi semua permukaan widig. Dengan penuh hati-hati, ibu Jazilah menuangkan adonan dengan menggunakan gayung. Satu widig menampung tiga gayung adonan jubadha. Kemudian adonan diratakan menggunakan kayu berbentuk pipih. Setelah merata, widig kemudian diangkat dan diletakkan di tempat penjemuran yang memang dibuat khusus untuk menjemur adonan jubadha. “Awas jangan dekat-dekat, kalau kena tumpahan adonan kulitnya bisa melepuh” kata ibu Jazila sembari mengangkat widig yang berisi adonan Jubhada.

Waktu yang tepat untuk membuat jubadha adalah dipagi hari. maklum, jajanan ini harus dijemur di bawah sinar matahari langsung. Jubhada tak bisa dikeringkan dengan pengering listrik, itulah salah satu keunikan yang dimiliki jajanan berwarna coklat kekuningan ini. Bagi pembuat jubadha seperti ibu Jazilah, panas terik menjadi anugerah tersendiri.

Jika sinar matahari besinar terik, waktu penjemuran adonan jubadha hanya sehari, namun jika cuaca mendung proses pengeringan bisa berlangsung dua hari. Bahkan, bisa tiga hari disaat musim penghujan seperti saat ini. “Jubhada ini harus dijemur di bawah matahari, tidak bisa memakai pemanas listrik. Kalau pakai pemanas adonan jubadha mencair lagi,” katanya.

Tak setiap hari ibu Jazila membuat jubhada, tergantung kebutuhan pasar dan permintaan pelanggan. Dalam sekali produksi, ibu Jazila menghabiskan 10kg tepung tapioka, 10kg tepung jagung dan 10kg gula merah atau gula pasir. Sementara air la’ang yang digunakan sebanyak 100 liter. Bahan sebanyak itu menghasilkan 8000 ikat jubhada.

“Ga setiap hari bikin jubadha, ya kalau dipasar sudah habis baru bikin lagi. Biasanya dikirim ke pasar Kapedi. Terkadang ada orang pesan, misalnya ada orang yang ma uke jawa, itu mesan minta bikinin.” Ungkapnya.

Mengikat dan Mengemas Jubhada

Setelah tim mamira melihat proses awal hingga penjemuran pembuatan jubadha, ibu Jazilah kembali mengajak duduk di kursi teras rumahnya, kali ini tim mamira akan diperlihatkan bagaimana proses mengikat jubhada.

Semilir angin menyusup teras rumah sederhana itu, sementara tim mamira duduk di kursi siap untuk melihat ibu Jazilah dan anaknya mempraktekkan dari cara memotong, menggulung dan mengikat Jubhada. Ibu Jazilah sendiri sibuk keluar masuk mengambil peralatan berupa telenan, pisau dan tali jubadha yang terbuat dari daun pohon siwalan serta Jubadha kering berbentuk lembaran-lembaran yang tebalnya tak sampai setengah senti meter tersebut. Sementara lebar dan panjangnya sekira dua jengkal tangan orang dewasa .

“Ini Jubhada yang sudah kering, ini dipotong jadi beberapa lembar sebelum digulung. Setelah digulung kemudian dipotong kecil-kecil se ujung jari telunjuk.” Ucapnya saat mempraktekkan menggulung jubhada, wajahnya sesekali melihat tim mamira yang sedang khusuk menyimak, sementara tangannya terus menggulung lembar demi lembar jubadha dan kemudian memotongnya kecil-kecil.

Butuh kesabaran dan ketelatenan mengikat jubadha yang sudah digulun dan dipotong kecil-kecil tersebut. Satu ikatnya berisi empat potongan kecil. Alat pengikatnya menggunakan daun siwalan muda (Madura: Rakara) yang sudah diiris tipis-tipis. “Kalau yang tidak telaten bisa berantakan pas ngikatnya,” timpal suami Ibu jazilah yang saat itu juga duduk di teras.

Potongan kecil dan diikat dengan daun siwalan adalah ciri khas dari jubadha itu sendiri. Suami ibu Jazilah kemudian lanjut bercerita, jika tampilan jubadha saat ini berbeda dengan tampilan jubadha jaman dulu.

“Kalau dulu dipotong sebesar ujung jari jempol. Proses menggulungnya pun dikerjakan di pinggir jalan. Saat moda transortasi masih dokar dan jikar. Terus ada yang bilang proses gulungnya diatas paha, padahal itu ada telenan, Cuma telenannya di taruh di atas paha,” katanya, membuat semua yang ada tertawa memecah suasana.

Alasan sederhana jubadha di potong kecil-kecil seperti saat ini hanyalah untuk mempercantik tampilan saja, meski menjadi lebih sulit saat mengikat. Untuk mengikat jubhada, ibu Jazilah mempekerjakan tetangganya, pun demikian yang menggulung dan memotong yang semuanya berjumlah lima orang. Setelah dipotong dan diikat, jubadha kemudian dikemas dengan mika kecil transparan.

Pemasaran dan Harga

Meski tak tamat sekolah menengah apalagi merasakan bangku kuliah, soal ilmu pemasaran jangan ditanya. Ibu Jazilah sudah hafal betul bagaimana cara memasarkan jajanan tradisonal yang bertekstur sedikit kenyal saat dikunyah ini.

“Silahkan dicobain mas, ga apa-apa ambil saja. Sambil ngobrol sambil makan Jubadhanya” katanya, sambil menyodorkan nampan yang berisi setumpuk jubhada.

Sejurus kemudian, Ibu Jazilah menjelaskan kemana saja jubadha hasil produksinya di jual atau dipasarkan.” Selain dijual di warung sekitar sini, jubadha saya dikirim ke pasar Kapedi, disana ada pusat jajanan dan oleh-oleh. Selain itu, juga dikirim ke tempat-tempat wisata yang ada di Sumenep maupun di daerah Pamekasan”. Terangnya.

Satu ikat kecil berisi 3 sampai 4 potong jubhada, bahkan bisa berisi 7 potongan kecil sesuai pesanan. Satu ikat kecil hanya dibandrol dengan harga Rp125. Sementara satu mika kecil berisi 20 ikat kecil jubadha Rp2500. “itu harga dari saya, ya kalau orang yang jualnya di tempat wisata biasanya empat ribu hingga lima ribu rupiah,” jelasnya.

Matahari rupanya sudah tergelincir, awan mendung sedikit menyelimuti langit. Sepertinya tim mamira sudah saatnya kembali beranjak memburu makanan atau jajanan khas dan unik lainnya. Setelah pamitan, tim mamira kemudian bergegas meninggalkan rumah ibu Jazilah. “kalangkong mas sadhajeh, pon alenggi ekakdintoh, (terima kasih mas, semuanya. Sudah mampir disini), ucap ibu Jazilah sambil melepas senyum.

Tonton Video ini:

 

Penulis: Fauzi

Editor: Mamira.ID

Exit mobile version