Mamira.id – Ibu Hairiah (35) salah satu dari sekian banyak warga Dusun Batu Jaran, Desa Pragaan, Kecamatan Pragaan yang memproduksi gula merah murni. Ibu satu anak ini setiap hari membuat gula merah di dapur kecil berukuran 4×3 meter yang berdinding anyaman bambu dan masih berlantai tanah. Bangunan kecil dari kayu tersebut dikelilingi pohon bambu, menambah kesejukan dan keasrian tempat sederhana itu.
Dari dapur inilah Hairiah bergelut dengan panasnya api dan kepulan asap demi mendapatkan pundi-pundi rupiah untuk biaya hidup sejak tiga tahun lalu. Usaha membuat gula merah dengan cara tradisional ini merupakan usaha turun-temurun keluarganya. Hairiah merupakan generasi ke tiga.
Mayoritas warga Dusun Batu Jaran membuat gula merah memang masih menggunakan cara tradisional, termasuk Hairiah salah satunya. Cara lama itu dipilih bukan tanpa sebab, selain membuat proses produksi gula merah lebih cepat, warga lebih memilih memanfaatkan kayu bakar yang alam sediakan. Bahkan, tungku yang digunakan masih tradisional, yakni tungku yang terbuat dari tanah liat.
“Memakai tungku tanah liat biar cepat masak, kalau pakai kompor butuh banyak biaya, rasa dan aromanya beda, dik,” kata Ibu Hairiah saat ditemui tim mamira pekan lalu.
Tak ada hari libur apalagi shooping mingguan bagi seorang Hairiah, ia banyak menghabiskan waktu hari-harinya di dapur saja, karena memang pekerjaannya sebagai pembuat gula merah dikerjakan di dalam dapur. Sedari pagi buta hingga matahari tak lagi memantulkan bayang benda.
“Dari pagi buta saya sudah mengumpulkan kayu, menyiapkan kayu untuk memanaskan air la’ang (air legen), harus banyak kayu kalau memasak la’ang karena harus sampe mendidih dengan api yang harus tetap menyala sampe enam jam lamanya.” Ujarnya sembari sibuk mengaduk air la’ang di kuali yang mulai mendidih.
Sebelum fokus untuk mengolah air la’ang, sembari menunggu sang suami dan ayahnya datang dengan air legen yang baru dipanen, Hairiah mengurus anaknya yang masih balita terlebih dahulu. Setelah memastikan anaknya wangi dan kenyang, Hairiah kembali bergelut dengan bara api dan asap yang pekat.
“Sembari menunggu air la’ang datang, saya mandiin anak dulu, kalau sudah kelar dimandiin dan nyuapin anak, ya ke dapur lagi, anak disuruh jagain ke saudara.” Ujarnya.
Sekira jam delapan pagi biasanya sang suami dan ayah Hairiyah datang membawa belasan hingga puluhan liter air la’ang. Air la’ang yang masih segar itu kemudian dituangkannya ke kuali berukuran besar untuk didihkan. Kuali yang sudah menghitam dan penyok dibeberapa sisi itu berisi sekitar 60 liter air la’ang. Dikatakan Hairiah, air la’ang sebanyak itu hanya menghasilkan 10Kg gula merah.
“Ini la’ang yang kemarin, hasil sadapan hari ini dikumpulin dengan yang kemarin. Yang kemarin di masak dulu. Disatukan dengan hasil yang kemaren biar gak banyak menghabiskan kayu,” jelasnya sembari menyorong kayu dengan tangan kirinya di tungku yang mulai retak dibeberapa sisi itu, sementara tangan kanannya memegang alat pengaduk air la’ang yang terbuat dari pelepah daun siwalan.
Enam jam sudah Hairiah tak beranjak dari dapur, sementara air la’ang di kuali sudah mulai mengental. Dengan dibantu sang suami, kuali yang masih panas dengan kepulan asap itu dipindahkan ke teras dapur. Di teras dapur itu terdapat bangku atau lincak terbuat dari bambu beralaskan tikar yang terbuat dari anyaman daun siwalan, orang Madura menyebutnya ‘teker rakara’.
Bak perpacu dengan waktu, setelah enam jam berdiri di depan tungku dengan panas api dan kepulan asap, pekerjaan Hairiah masih harus terus berlanjut. Setelah menunggu agak dingin, air la’ang yang kental itu kemudian dituangkan ke dalam cetakan berupa mangkok kecil dengan ukuran yang bervariasi, mangkok-mangkok itu sebelumnya sudah dilapisi plastik dan dijejer rapi untuk memudahkan saat penuangan. Setelah dua jam kemudian, baru gula merah sudah bisa dikunsumsi atau dijual ke pengepul.
Keringat mengucur di pelipis Hairiah, namun tak sedikit pun lelah terlihat diwajahnya, sebaris senyum tetap nampak di bibirnya. “Gula merah ini dijual ke pengepul, 1kg nya seharga Rp.13.000, gula merah saya asli, murni air la’ang, tidak dicampur bahan-bahan lain.” Kata Hairiyah sambil sibuk menuangkan air la’ang kental kedalam cetakan.
Menjual gula merah adalah satu-satunya pemasukan keluara Hairiah. Tidak ada penghasilan tambahan, kecuali menjual hasil panen jagung atau kacang tanah, itupun jika hasil panennya melimpah. Bisa dikatakan, keluarga Hairiah hidup dari manisnya gula merah.
Saat musim kemarau, tidak semua air la’ang yang didapat dijadikan gula merah. Sebagian air la’ang dijadikan gula aren dan disimpah di dalam drum. Pantas saja di pojokan dalam dapur terdapat drum-drum berjejer, catnya sudah tampak kusam berselimut debu dan sisa-sisa asap. Rupanya disanalah disimpan harta karun keluarga Hairiah. Gula aren tersebut disimpan hingga berbulan-bulan lamanya dan dijual saat musim penghujan tiba. Satu drum berisi 200 liter gula aren itu dijual ke pengepul seharga 3 juta rupiah.
“Kalau musim kemarau tak semua air la’ang dijadikan gula merah semua, tapi sebagian dibikin gula aren. Gula aren tersebut disimpan di dalam drum ini, dijual nanti saat musim penghujan. Kalua musim penghujan air la’ang susah dan kualiatasnya tidak bagus, di sebabkan banyak bercampur dengan air hujan” Jelas Hairiah sambil menawarkan gula merah yang sudah padat pada tim mamira.
Meski penghasilannya hanya didapat dari air la’ang, Hairiah tetap bersyukur. Meski tak banyak, penghasilannya tersebut didapat dengan cara halal dan mampu mencukupi kehidupan keluarganya.
“Alhamdulillah cokop maske sakonik, cokop angguy melle berres ben kabutoan se laen. sepenting eparengi kasehatan sareng Allah,” (Alhamdulillah cukup meski sedikit, cukup untuk membeli beras dan kebutuhan lainnya. Yang penting diberi Kesehatan oleh Allah SWT). Pungkas Hairiah.
Tonton Video ini:
Penulis: M. Zainuri
Editor: Mamira.ID