Site icon MAMIRA.ID

Bindara Bungso: Leluhur Para Raja Sumenep

Ket.Foto: Asta Kiai Abdulullah atau Bindara Bungso yang terletak di Desa Batu Ampar, Guluk-guluk. (Mamira.ID/Ririp)

Mamira.ID – Sejarah Sumenep tidak bisa lepas dari sosok Kiai Abdullah alias Bindara Bungso, atau masyarakat menyebutnya dengan sebutan Kiai Batuampar. Dari beliaulah era keemasan di poros timur pulau garam ini bermula. Dimulai pada abad ke-18 terlukis oleh sebagian besar anak cucunya. Dua karakter ulama dan umara yang melekat pada keturunannya, menjadi bagian yang tak terpisahkan pada era penguasa Sumenep tempo dulu. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan diangkatnya Bindara Saot sebagai penguasa bumi Sumekar.

Dikisahkan, sosok Kiai Abdullah merupakan salah satu santri yang setia menemani Kiai  Abdurrahman Raba saat membabat tanah Kampung Raba, Desa Sumedangan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan. Selain dikenal sebagai santri yang setia, beliau juga merupakan keponakan dari Sang Wali dari tanah Sendir, Kecamatan Lenteng, Sumenep.

Kiai Abdullah menetap di sebuah desa yang asri dan permai, yakni Desa Batuampar, Kecamatan Guluk Guluk, Kabupaten Sumenep. Beliau menempati kawasan itu berdasarkan isyarat sekaligus petunjuk sang guru guna memperluas ajaran keilmuan dan dakwah Islamiah.

Secara garis nasab, Kiai Abdullah merupakan putra dari pasangan Kiai Abdul Qidam dan Nyai Dewi Asri. Ayahnya berasal dari Kampung Airsojih, Kota Gerbang Salam, Pamekasan. Sedangkan ibunya berasal dari Desa Sendir, Kecamatan Lenteng yang tak lain merupakan saudara dari Sang Wali pembabat kawasan Raba, kota Gerbang Salam.

Kiai Abdullah tercatat sebagai ayah dari Bindara Saot alias Kanjeng Raden Tumenggung Tirtanegara, penguasa Sumenep 1750-1762. Dari sinilah berawal era gemilang atau puncak keemasan masa pemerintahan keraton Sumenep.

“Asta Kiai Abdullah dikenal banyak orang dengan sebutan Asta Batuampar , asta tersebut merupakan situs bersejarah sekaligus lehuhur para penguasa dinasti terakhir keraton Sumenep,” ujar H. Muhammad Farid Rofik yang merupakan Kepala Desa Batuampar sekaligus masih keturunan dari Kiai Abdullah.

Ket.Foto: Bagian dalam masjid tampak masih asli yang berada di komplek Asta Batu Ampar (Mamira.ID/Ririp)

Cara Bindara Bungso Berdakwah

Di samping itu, Kiai Agung Abdullah atau yang juga dikenal dengan sebutan Kiai Bindara Bungso, beliau banyak berjasa dalam membentuk peradaban dan membumikan nilai-nilai keislaman di Madura timur, khususnya di belahan barat jalur tengah Sumenep.

Dakwah Kiai Abdullah diawali dengan cara mengobati orang sakit atau menjadi tabib. Dari sinilah, masyarakat sekitar mulai berbondong-bondong untuk menemui beliau dalam hal pengobatan. Misi dakwah pun mulai diselipkan lewat pengobatan tersebut, sehingga dengan mudah masyarakat menerima ajaran agama Islam.

Keturunan dan penerus Kiai Abdulah menyebar di bumi Sumekar sekaligus Pamekasan. Bahkan dalam masa-masa selanjutnya, banyak menyebar hingga kawasan Tapal Kuda. Di antara keturunannya banyak yang berperan sebagai ulama dan umara.

Pasarean Bindara Bungso

Pasarean Kiai Abdullah terletak di Desa Batuampar, Dusun Somalang, tepat di sebelah barat masjid kuna. Di area asta ini tampak berjejer dengan rapi tokoh-tokoh berpengaruh tempo dulu, di antaranya adalah  maqbarah  Kiai Abdullah itu sendiri, Nyai Dewi Asri, Nyai Nurima, Kiai Asiruddin alias Bindara Bandungan, Kiai Saba alias Bindara Ibrahim, dan masih banyak lagi anak cucu dari beliau di pasarean tersebut.

Sebagai wujud kepedulian pemerintah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sumenep, akhirnya situs Asta Kiai Abdullah mendapat perhatian yang serius guna melestarikan cagar budaya dan rekam jejak situs para leluhur penguasa Sumenep.  Salah satunya adalah pembangunan cungkup makam. Tak hanya pembangunan cungkup, namun juga perbaikan area asta yang lain, seperti halnya jalan menuju asta, mulai dari ujung jalan awal hingga menuju pintu masuk asta.

Ket.Foto: Asta Batu Ampar tampak dari ujung jalan pintu masuk (Mamira.ID/Ririp)

Meski begitu, hal yang bersifat situs tetap terawat keasliannya, seperti nisan, kijing, serta sebuah pintu gapura tampak masih asli. Termasuk sebuah bangunan masjid kuna yang tetap terjaga keasliannya, khususnya pada bangunan utama masjid. Namun, pada sisi depan telah mengalami perluasan guna menampung jemaah lebih banyak lagi.

“Selain masjid kuna, ada juga langgar kuna yang tetap terjaga keasliannya. Semua bahan dasarnya terbuat dari pohon kayu jati, dan atapnya masih beratap ilalang. Nah, semua itu masih tetap terawat, karena hal tersebut merupakan bagian dari cagar budaya yang harus kita jaga,” pungkas H. Muhammad Farid Rofik.

Jangan lupa tontong juga video Mamira.ID di youtube:

Penulis: Abd Warits

Editor: Mamira.ID

Exit mobile version