Site icon MAMIRA.ID

Asta Tinggi Bagian I: Cungkup Pangeran Panji Pulang Jiwa

Ket. Foto: Cungkup Pangeran Panji Pulang Jiwa

 

Mamira.id – Asta Tinggi merupakan nama sebuah tempat peristirahatan para raja dan keluarga bangsawan keraton Sumenep yang sudah terkemuka. Berjarak kurang lebih dua kilo meter dari pusat kota atau keraton, lokasi asta ini berada di atas perbukitan. Asta keramat tersebut terletak di sebuah desa bernama Kebon Agung, Kecamatan Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep.

Entah karena sengaja atau memang kebetulan belaka, sebutan Asta Tinggi bukan karena letaknya di dataran tinggi. Namun, pemberian nama Asta Tinggi dicatut dari bahasa Madura yang berarti Makam Rajha (baca: rajhe)/Tengghi yang bermakna asta para pangrajha (asta para raja), anak keturunan beserta kerabat-kerabatnya.

Sebelum tulisan ini membahas lebih detail area dalam Asta Tinggi, sepertinya penting untuk mengupas meski hanya sepotong bagian dari sejarah berdirinya komplek pemakaman yang tak pernah sepi peziarah ini, karena memang raja-raja Sumenep dikenal dengan kewalian dan karomahnya. Umumnya, peziarah tak hanya datang dari kalangan masyarakat lokal atau orang Madura saja, namun dari berbagai pelosok nusantara negeri, bahkan terkadang pula dari dari manca negara.

“Kalau orang yang berziarah itu banyak juga yang dari luar Madura, apalagi saat bulan maulid, menjelang bulan puasa dan setelah hari raya idul fitri, orang yang berziarah membludak. Sampai tidak ada tempat parkir“. Tutur salah satu penjaga Asta Tinggi, Pak Rahwini kepada tim Mamira.id.

Keberadaan kompleks pemakaman Asta Tinggi sebenarnya sudah ada sejak abad ke-16. Namun, baru ada pembangunan seperti yang bisa dilihat saat ini dimulai pada abad ke-17 atau setalah Islam masuk ke Sumenep, tepatnya pada tahun 1750 Masehi. Rencana awal pembangunan Asta Tinggi dibuat oleh Panembahan Somala dan dilanjutkan oleh Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I yang berkuasa pada tahun 1811-1854 dan kemudian baru selesai pada pemerintahan Panembahan Moh. Saleh atau lebih dikenal sebagai Panembahan Natakusuma II yang memerintah Sumenep pada tahun 1854-1879. Itu artinya, pembangunan komplek pemakaman ini selesai dibangun selama tiga periode pemerintahan.

Secara umum, Asta Tinggi dibagi menjadi tiga area komplek makam. Area pertama merupakan area komplek makam bawah. Tempat ini diperuntukkan sebagai makam para Raden rendahan atau orang yang hanya memiliki gelar Raden tanpa embel-embel lainnya. Adapun komplek makam yang kedua, yakni area luar Asta Tinggi. Tempat ini diperuntukkan sebagai makam Raden menengah atau kerabat para raja, namun bukan keturunan langsung raja Sumenep. Sementara komplek yang ketiga merupakan area dalam Asta Tinggi, area ini khusus diperuntukkan sebagai peristirahatan terakhir para raja Sumenep beserta para keturunannya.

Areal komplek makam Asta Tinggi memang cukup luas, yakni 112,2 meter x 109,25 meter dengan menghadap ke arah timur laut. Jika dilihat menggunakan pesawat drone, tembok pembatas antara area luar dan area dalam akan tampak jelas. Demikan pun dengan area dalam yang juga terdapat tembok pemisah antara area timur dan barat. Uniknya, tembok-tembok pembatas itu hanya terdiri dari batu kapur dijejer setebal kurang lebih 50 senti meter yang tersusun rapi setinggi tiga meter tanpa campuran semen dan pasir. Meski demikian, sedari ratusan tahun silam tembok-tembok tersebut masih berdiri kokoh. Menegaskan bahwa Asta Tinggi memang mempunyai daya magis tersendiri.

“Awalnya Asta Tinggi tidak memiliki pagar hanya rimba belantara dan batuan terjal. Untuk menghormati Pangeran Anggadipa dan istrinya, Pangeran Rama yang ketika itu menjabat sebagai adipati sumenep membangun pagar hanya dengan batu-batu yang disusun rapi. Sampai saat masih ada dan membentengi para raja di peristirahatan terakhirnya,” begitu kira-kira penjelasan yang pernah saya dengar, kata Rahwini seraya tersenyum.

Agar tidak semakin panjang dan melebar kemana-mana, tulisan ini akan langsung membahas komplek dimana makam para raja Sumenep berada, lebih tepatnya area dalam. Secara garis besar, area dalam Asta Tinggi dibagi menjadi dua bagian. Yakni area barat dan area timur. Lagi-lagi tulisan ini akan membahas secara khusus area barat terlebih dahulu.

Area dalam Asta Tinggi bagian barat terdapat tiga cungkup makam. Cungkup makam pertama atau paling belakang merupakan cungkup Pangeran Pulang Jiwa, bergeser kira-kira tujuh meter kedepan terdapat cungkup kedua yang merupakan cungkup Pangeran Jimat. Sedangkan cungkup Bindara Soad merupakan cungkup yang ketiga, letaknya berdampingan dengan cungkup dua dan hanya dipisahkan jalan atau lorong menuju cungkup satu.

Meski setiap harinya selalu ramai dengan peziarah, namun rasa tenang dan damai begitu sangat terasa saat memasuki area dalam Asta Tinggi ditambah area asta memang terletak di kawasan hutan lindung Kabupaten Sumenep yang menambah kesejukan suasana. Tanpa harus diingatkan oleh para penjaga sebelum memasuki asta, tak ada satupun peziarah yang berbicara nyaring apalagi bercanda saat berada di area dalam asta. Seakan dengan sendirinya hati para peziarah menuntun untuk tidak bicara nyaring atau bahkan bicara sembarangan.

“Takut lancang saja kalau bicara nyaring, apalagi bercanda. Karena saya sudah beberapa kali kesini belum pernah melihat peziarah bicara nyaring, apalagi becanda. Sepertinya, rasa takut itu datang dengan sendirinya untuk bercanda di area asta ini).” Ujar Fatih salah satu pengunjung yang di temui Mamira.id di Asta Tinggi beberapa waktu lalu.

Siang berawan kala itu, Asta Tinggi tampak sesak dengan pengunjung, di area parkir tampak bus-bus baru datang dan diparkir berjejeran, sepertinya mereka peziarah dari luar pulau Madura. Rupanya, pandemi virus korona tak membuat para peziarah mengurungkan niatnya untuk mengunjungi Asta Tinggi.

“Saya kesini karena ingin virus korona segera lenyap dari muka bumi ini, barangkali berkat karomah para raja-raja yang terkenal kewaliannya ini doa kita diijabah oleh Allah,” kata ibu-ibu salah satu rombongan saat itu. Para peziarah memang membawa berbagai macam tujuan dan niat saat mengunjungi Asta Tinggi, sebagian yang lain memang hanya ingin atau sekedar menunaikan hajat untuk sampai ke asta para raja Sumenep.

Keberadaan tiga cungkup di area dalam Asta Tinggi bagian barat tentu punya ciri khusus dan keunikan masing-masing. Sebab itu, tulisan ini akan mengupas tuntas baik dari segi arsitektur maupun ornamentasi yang ada pada masing-masing cungkup. Dari sini, penulisan akan mulai untuk lebih fokus pada cungkup pertama yang merupakan cungkup paling tua berdasarkan usia makamnya, yakni cungkup Pangeran Pulang Jiwa.

Untuk menuju cungkup satu, pizarah akan melewati tiga pintu gerbang. Pintu gerbang pertama tentu merupakan pintu gerbang depan atau pintu utama Asta Tinggi itu sendiri. Dari sini saja peziarah akan langsung melihat kemegahan dan keunikan komplek pemakaman ini, setelah melewati pintu gerbang utama, mata peziarah akan dimanjakan pada beragam corak arsitektur yang menakjubkan.

Untuk menuju pintu gerbang kedua, peziarah harus melewati jalan sepanjang kurang lebih 30 meter. Jalan ini memiliki penamaan dan arti tersendiri, area ini biasa disebut area profan. Di lokasi ini terdapat Patthusen (tempat mensucikan diri dari hadas kecil/berwudhu’). Area ini juga ada beberapa pepohonan. Salah satunya adalah pohon Sawo kecik, pohon ini terkadang dijadikan tempat berteduh bagi para peziarah. Bagi orang Jawa, pohon ini memiliki arti sarwa becik atau serba baik. Selain bermakna filosofis, pohon sawo kecik juga bernilai guna tinggi. Para empu sering membuat pegangan keris dari kayu sawo kecik karena keras, tak mudah retak, berwarna merah kecoklatan, dan seratnya yang halus.

Terdapat juga pohon beringin, pohon ini melambangkan tugas-tugas penguasa untuk melindungi rakyatnya melawan penyakit dan kelaparan. Daun melambai-lambai mengikuti arah mata angin yang sejuk, membuat para peziarah betah untuk berlama-lama di area komlpek asta.

Kemudian mata akan kembali dibuat takjub dan terpana dengan arsitektur kuno, setelah melewati gapura atau pintu gerbang kedua yang masih tampak kokoh dengan dilengkapi empat pilar berdiri tegak dengan warna kuning dan biru sebagai ciri khas dari Asta Tinggi. Warna kuning pada arsitektur yang terdapat pada setiap bangunan di Asta Tinggi memang meniru corak warna keraton Sumenep yang mempunyai arti Konenglijk yang berarti kantor raja atau kadipaten.

Arsitektur pintu gerbang kedua menunjukkan bahwa Islam sudah masuk dan berkembang di Sumenep. Pintu gerbang tersebut sampai saat ini masih tetap terawat dan keasliannya masih terjaga. Di pintu gerbang ini terdapat lambang mahkota pada bagian atasnya, lambang tersebut tidak jauh berbeda dengan lambang kraton pada zaman dahulu. Terdapat pula lambang ranting daun yang masih tetap terukir dengan jelas. Lambang mahkota merupakan lambang yang memilki simbol martabat kerajaan dan kekuasaan. Sedangkan lambang bunga atau daun memilki arti perdamaian untuk masyarakat jagat raya.

Setelah melewati pintu gerbang kedua, peziarah kembali melewati lorong menuju pintu gerbang ketiga. Area ini dinamakan area profan dua. Berbeda dengan prafon sebelumnya, prafon du aini terdapat makam kiri dan kanan, prafon ini memiliki kekeramatan tersendiri, sehingga memberikan pengaruh positif kepada para peziarah. Di ujung lorong profan ini terdapat pendopo yang berdiri kokoh dan masih terawat dengan baik. Di dalam pendopo terdapat empat tiang warna coklat sebagai penyangga atap bagian tengah pendopo.

Semakin kebelakang menuju cungkup satu, suasana semakin hening, sayup-sayup angin datang menerpa menambah ketenangan. Peziarah tampak keluar masuk cungkup silih berganti, yang terdengar hanyalah lafadz zdikir dan suara peziarah melantunkan ayat-ayat suci Al-quran.

“Hari ini memang banyak peziarah, padahal bukan hari weekend atau hari libur. Belakangan ini memang semakin ramai peziarah, kalau sebelumnya agak sepi karena korona. Bahkan Asta Tinggi sempat ditutup. Mungkin orang-orang luar Sumenep ingin liburan sekalian ziarah ke Asta Tinggi,” ujar Rahwini yang terus menemani tim Mamira liputan.

Setelah melewati pendopo, peziarah melewati undakan atau anak tangga menuju pintu gerbang yang terakhir. Pintu gerbang yang juga tetap tampak kokoh ini masih lengkap dengan dua daun pintu yang terbuat dari pohon jati. Di pintu gerbang bagian atas terdapat 9 medalion berjejer landai. Pintu gerbang ini bersambung dengan tembok pemisah antara area asta bagian barat dan timur. Pagar ini mempunyai ketebalan kurang lebih satu meter. Sama halnya dengan tembok yang mengelilingi area Asta Tinggi, tembok pemisah ini juga terdiri dari batu yang disusun rapi tanpa campuran semen ataupun pasir.

Jalan setelah pintu gerbang ini merupakan area yang cukup sakral atau keramat karena sudah memasuki area cungkup makam para raja Sumenep, di area inilah tiga cungkup itu berada. Semakin kebelakang area asta, maka area tersebut semakin dikeramatkan, hal ini berdasarkan konsep tata letak bangunan suci kebiasaan sejak jaman pra islam.

Di area inilah peziarah akan melihat dengan jelas tiga cungkup makam para raja, namun seperti dikatakan diawal, tulisan ini akan fokus pada cungkup satu terlebih dahulu. Cungkup Pangeran Pulang Jiwo berada diantara cungkup Pengeran Jimat dan cungkup Bindara Saod. Namun, letak cungkup makam tertua itu agak sedikit menjorok kebelakang, jika dilihat dengan seksama, posisi ketiga cungkup itu berbentuk segi tiga sama kaki.

Melihat arsitektur cungkup Panji Pulang Jiwa , bentuk bangunan menyerupai joglo. Rumah tradisional ini merupakan krakteristik bagi istana yang dihuni oleh para ningrat. Hanya saja, atap cungkup ini memiliki atap tengah yang tak begitu curam. Secara struktural, atap cungkup ini merupakan atap yang paling sederhana jika dibandingkan dengan dua atap cungkup lainnya. Atap cungkup satu ini mirip puncak rumah Kampung. Namun, bedanya cungkup ini menggunakan enam tiang sebagai penyangga atap tengah. Struktur bubungan atap lebih besar, lebar dan rendah atau ujung atap bawah lebih landai, sehingga para peziarah harus membungkukkan badannya jika ingin masuk ke dalam area cungkup.

Arsitektur cungkup yang berada didalam astah Panji Pulangjiwo, merupakan cerminan arsitektur lokal. Seperti keramik yang berwarna kuning ke emas emasan. Atap cungkup landai mempunya makna tersendiri.

“Atap rendah begini agar kita membungkukkan badan. Membungkukkan badan ini merupakan simbol bahwa sopan santun dan etika harus didahulukan saat menghadap raja atau orang alim atau asta seorang wali.” Jelas Rahwini, sambil terus mengajak tim Mamira melihat gebyok dengan ornamentasi mengagumkan.

Dan benar saja, gebyok dibelakang makam memiliki ornamen pahatan begitu menarik dan mengagumkan. Panel-panel gebyok banyak menggambarkan tentang sebuah harapan yang mulia, cita-cita luhur setiap insan. Hampir pada setiap panel memilki unsur hiasan berupa kepala kala atau yang lazim disebut dengan Kalamakara. Hal ini menunjukkan tentang keberadaan areal sakral yang dijaga oleh raksasa. Bentuk ornamen ini juga memilki makna untuk menolak bala. Keyakinan demikian memang muncul sejak zaman pra Islam. Namu, diawal perkenalan masyarakat Nusantara dengan Islam, tradisi-tradisi lama ini masih digunakan.

Kepala Kelamakara mempunyai fariasi, ada yang terpahat dengan jelas namun ada pula yang terpahat dengan Stilirisasi. Proses ini merupakan salah satu bentuk perkembangan seni pada masa awal Islam masuk ke Nusantara dengan tujuan untuk menyamarkan objek-objek tertentu yang tidak diperkenankan untuk digambarkan atau dilukiskan pada masa Islam.

Pada beberapa panel juga terdapat pahatan Swastika yang merupakan sebuah pandangan masa depan yang luhur dan lahir pada peradaban masyarakat India. Jika tidak cermat dalam belajar sejarah, Swastika sering dimaknai sebagai logo nazi Jerman. Namun jika ditinjau dari angka tahunnya, pada waktu itu nazi tersebut belum juga lahir.

Swastika merupakan simbol religius yang memilliki makna keberuntungan, kemujuran dan tentu saja ini sebenarnya adalah sebuah pengharapan bagi kita semua. Pada bagian lain, panel panel ornamen menggambarkan pahatan pahatan yang memberikan kisah tentang gambaran binatang, baik itu binatang mitologi ataupun binatang yang banyak kita temukan pada kehidupan nyata. Kisah tentang binatang ini merupakan bagian dari cerita Tantri, dimana kisah tentang binatang-binatang ini sebenarnya ingin mengajarkan nilai-nilai moral tertentu. Pahatan-pahatan yang berada didalam cungkup ini,  merupakan media dalam mewariskan pembangunan karakter pada manusia.

Lantunan ayat-ayat suci Al-quran terdengar riuh rendah, sambil duduk manis dengan hembusan angin yang sejuk dan tenang, menyeruak wangi-wangi kembang tujuh rupa yang dibawa para peziarah menyapa indra penciuman. Asta tokoh-tokoh utama yang dimakamkan di cungkup memiliki gaya yang berbentuk jirat bertingkat yang cukup tinggi. Semakin tinggi tingkatannya, semakin tinggi pula status sosial dari ketokohannya. Bahkan di setiap batu nisan terdapat pahatan yang berbentuk ukiran-ukiran, ada yang berbentuk kaligrafi Arab dan ukiran yang berbentuk bunga.

Saking terus membludaknya para peziarah yang datang, saat ini cungkup satu semakin diperluas dengan ditambahkan teras depan dan pagar besi namun tanpa merubah struktur atau bentuk bangunan yang ada. Didalam cungkup satu terdapat 6 asta yang sampai saat ini masih terawat dengan baik.

Secara berurutan, enam asta tersebut merupakan asta dari RA. Mas Ireng ( Istri Pangeran Anggadipa), Pangeran Anggadipa (Pendiri Masjid Laju yang terletak di Kepanjen Sumenep 1639 M), Pangeran Wirosari ( Pangeran Seppo ),  Pangerean Rama (Orang tuan Pangeran Jimat), R.A Artak ( Istri Pangeran Panji Pulang Jiwo) dan terakhir merupakan asta Pangeran Panji Pulang Jiwa ( R. Kaskiyan).

“Asta tertua di cungkup ini bukan asta Pangeran Pulang Jiwa, tapi sebelumnya sudah ada asta Pengeran Angga Dipa. Cungkup ini dinanamkan cungkup Pangeran Pulang Jiwo, karena menurut penjelasan yang saya dapat, Pangeran Pulang Jiwo merupakan raja yang sangat dicintai rakyatnya, sehingga tetap dikenal hingga saat ini. Bahkan beliau itu dikenal dengan penguasan yang memiliki banyak karomah. Di asta ini tidak ada jasad beliau, karena jasadnya lenyap saat akan dikuburkan,” jelas Rahwini yang kemudian langsung mengajak pindah melihat dua cungkup lainnya.

Tonton Video ini:

Penulis : Fauzi

Editor : Mamira.ID

Exit mobile version