Mamira.ID – Kopi tubruk hangat nan nikmat menjadi teman setia kru media ini saat beristirahat sejenak usai melakukan hunting konten khusus di website, sore itu. Kami memilih duduk santai di pinggiran sebuah taman bunga, seberang jalan Masjid Jami’ Sumenep. Taman Adipura, namanya. Sambil menyeruput kopi yang kami pesan di warkop yang tak jauh dari tempat kami melepas lelah.
Tanpa sengaja, pandangan kami tertuju pada area halaman Masjid Jami’ Sumenep. Tidak seperti biasanya, di area parkir masjid hanya terdapat beberapa mobil dan sepeda motor saja. Suasana tersebut jauh sekali berbeda sebelum pandemi melanda nusantara. Corona memang nyaris merengkuh segalanya. Semua sektor terdampak, tak terkecuali tempat wisata seperti wisata religi Asta Tinggi Sumenep.
Sebelum datangnya Covid-19, bangunan ikonik Sumenep yang syarat akan sejarah tersebut biasanya selalu ramai pengunjung, baik dari luar Sumenep maupun dari luar Pulau Madura. Para pengunjung biasanya mampir untuk salat berjamaah, baik setelah atau ketika hendak berziarah ke Asta Tinggi.
Saat asyik bercengkrama tentang suasana di jantung kota, tiba-tiba salah satu dari kru nyeletuk dengan sebuah pertanyaan mengenai bangunan ikonik tersebut, “Oh ya, kalau Masjid Jami’ ini masuk desa atau kelurahan apa ya?” Tanyanya dengan wajah serius.
Kebetulan sekali, salah satu dari kami ada yang tinggal atau berdomisili di daerah ini. “Masjid Jami’ ini masuk dalam wilayah Kelurahan Bangselok,” sahut Oyonk, nama panggilan dari Nurul Hidayat, salah satu kru Mamira.ID.
Bagi orang Sumenep sendiri, nama Bangselok tentu tidak asing lagi. Karena di atas tanah kawasan tersebut berdiri masjid monumental. Bangunan Masjid Jami’ Panembahan Natakusuma yang hampir selalu menjadi buah bibir orang luar Sumenep atau bahkan orang-orang luar Madura. Bangselok juga menjadi sasaran keingintahuan banyak orang yang belum memahami peta Madura Timur.
Meski begitu, tak jarang orang Sumekar yang memang warga Bangselok sendiri ketika menjelaskan alamat kediamannya pada kenalan di luar, pastilah merujuk pada Masjid Jami’ sebagai bagian dari kawasannya. “Tahu Masjid Jami’ Sumenep, gak? Kalimat tanya tersebut termasuk salah satu cara untuk menjawab jika seseorang menyakan lokasi atau posisi tempat di wilayah kota, seolah-olah di Kota Sumenep hanyalah masjid yang menjadi ikon Kota Keris tersebut.
Nah, Bangselok, yang kini merupakan salah satu kelurahan di kawasan Kecamatan Kota Sumenep tersebut tidak sekedar nama tanpa makna. Meski tak banyak yang mengetahui sejarah di balik nama itu.
Suasana yang tadinya santai dan hanya diisi dengan obrolan ringan, tiba-tiba berubah menjadi serius, tentu karena kru yang lain melihat semangat rekannya, Oyonk yang menjelaskan detail tentang sejarah kawasan yang berada di Kota Sumenep itu.
“Sepanjang sejarah yang saya ketahui memang ada. Namun meski begitu, terkait dengan sejarah dan makna di balik nama Bangselok ini tak semua generasi yang tahu. Apalagi, generasi zaman now, saya yakin masih banyak yang belum mengetahuinya,” kata Oyonk meyakinkan.
Penamaan Bangselok rupanya berawal dari peristiwa peralihan dinasti. Klik kisah selanjutnya→
Awal Mula Penyebutan Bangselok
Ditarik ke belakang, Bangselok memiliki benang merah dengan peristiwa peralihan dinasti di masa Keraton Sumenep. Nama Bangselok juga bisa dikata lebih tua dibanding nama desa atau kelurahan di kawasan Kota.
“Kalau merujuk pada sejarahnya, usia penamaan Bangselok sudah sedari lima abad lalu,” kata Oyonk menambahkan.
Sejarah awal mula atau asal-usul penamaan Bangselok terkait dengan masa peralihan dinasti, yakni peristiwa gugurnya Pangeran Sidingpuri dan masuknya Tumenggung Kanduruan sebagai penguasa baru di Sumenep. Tumenggung Kanduruan merupakan putra bungsu Raden Fatah, Sultan Demak. Beliau mulai bertahta di Sumenep pada 1492 Masehi menggantikan Pangeran Sidingpuri yang gugur di Puri. Orang Sumenep menyebutnya Pore. Kini, merupakan salah satu desa di Kecamatan Lenteng, Sumenep.
“Berdasarkan hasil diskusi saya dengan Roziqi beberapa waktu lalu, jadi begini sejarah Bangselok itu, ketika Tumenggung Kanduruan bertahta di Sumenep, mengambil lokasi dalam keraton di tempat yang kini disebut Karangduak. Sedangkan keluarga sentana dan pejabat keraton berada di kawasan selatan. Nah, kawasan itu, dulu dikenal dengan kawasan bongso ilok atau bangsa elok. Yaitu kalangan bangsawan tingkat atas. Jadi, awal mula penamaan Bangselok itu berasal dari kata bangsa elok, kemudian penyebutan dipermudah menjadi Bangselok,” jelas Oyonk, merujuk keterangan pemerhati sejarah muda di Sumenep, RB. Ach. Roziqi.
“Oh…jadi, RB. Ahmad Roziqi itu masih berdarah biru ya? Tanya salah satu kru yang lain.
“Iya, beliau termasuk orang yang berdarah biru, hobinya mengoleksi sepeda ontel kuno,” jawab Oyonk disertai tawa kecil.
Nama atau sebutan Bangselok itu lantas populer sehingga menjadi nama resmi keluarga bangsawan atau keluarga sentana keraton. Hingga saat ini, nama Bangselok pun terus hidup dan terpatri di benak generasi Sumenep dari masa ke masa. Bangselok resmi menjadi nama pemukiman warga umum, tidak hanya keluarga bangsawan saja. Bahkan orang-orang luar kalangan keraton pun bermukim di lokasi ini.
Asyik mendengarkan penjelasan tentang sejarah penamaan Bangselok, membuat kami lupa jika sebentar lagi akan berkumandang azan Magrib. Tanpa aba-aba, kami pun bergegas membubarkan diri.
Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di youtube:
Mamira.ID