Mamira.ID – Tradisi Nyonson merupakan tradisi nenek moyang yang masih dilakukan sebagian orang Madura hingga saat ini. Nyonson berasal dari kata sonson yang berarti membakar kemenyan hingga mengeluarkan asap dengan harum menyengat. Dikatakan sebagian karena sudah jarang sekali masyarakat Madura yang melakukan ritual penuh mistik ini.
Lalu, di daerah manakah yang sebagian masyarakatnya masih melakukan tradisi tersebut? Adakah hari atau waktu-waktu tertentu dan apa saja yang di “sonson”?
Salah satu daerah di Madura yang sebagian masyarakatnya masih melakukan tradisi nyonson adalah Desa Tamidung, Kecamatan Batang-Batang. Tradisi ini dilakukan pada setiap malam Jumat. Selain itu, masih ada waktu-waktu tertentu kapan nyonson itu dilakukan, yakni hari Jumat menjelang kumandang adzan shalat Magrib, orang Madura menyebutnya dengan istilah “Asar Mabe” atau “Rop-sorop Are” yang berarti waktu senja hari.
Pada era tahun 90 an, masih ramai sekali masyarakat Madura melakukan “ritual” tradisi nyonson. Namun seiring berkembangan zaman, tradisi turun-temurun ini mulai memudar, bahkan hilang.
“Kalau dulu pasti bau kemenyan berseliweran saat hari jumat tiba, sebelum maghrib sudah banyak asap berbau kemenyan di tiap-tiap rumah, kalau sekarang sudah tidak ada, apalagi anak jaman sekarang. Sudah gak bakalan tau apa itu nyonson,” kata Absaruddin, salah satu sesepuh Desa Tamidung, beberapa waktu lalu kepada tim Mamira.ID.
Wangi menyengat kemenyan saat nyonson memang diidentikkan dengan wangi yang mampu mendatangkan arwah atau roh leluhur. Adapula yang mengatakan bahwa wangi dari kemenyan merupakan wewangian yang disukai roh-roh leluhur (Madura: Arwah Bangaseppo) yang pulang ke rumah saat malam jumat tiba.
Selain ada waktu-waktu khusus, ritual nyonson juga ada tempat-tempat tertentu, seperti sudut-sudut pekarangan rumah, tiap pintu utama masuk rumah hingga kandang tempat hewan ternak seperti kandang sapi dan kandang ayam.
“Kalau kata nenek saya dulu, arwah nenek moyang atau leluhur kita pulang ke rumah tiap malam jumat. Makanya kita disuruh bakar kemenyan atau nyonson untuk menyambut roh atau arwah leluhur,” kata Absaruddin yang kini sudah berusia lebih separuh abad itu.
Nyonson memang tidak diajarkan dalam Islam, namun tradisi ini dilakukan oleh orang-orang Muslim di Madura. Meski bakar kemenyan atau nyonson itu identik dengan Agama Hindu- Budha, bukan berarti orang Muslim Madura melakukan ritual-ritual seperti agama Hindu dan Budha.
Sebelum Islam datang ke Pulau Garam, Hindu dan Budha memang sudah masuk ke wilayah Madura, jadi tidak heran jika sebagian ajaran-ajaran kedua agama tersebut masih melekat pada orang-orang Madura pasca masuknya ajaran Islam.
“Saya persisnya tidak tahu itu ajaran siapa, tapi pasti ada perbedaan antara nyonsonnya orang islam Madura dengan nyonson atau bakar kemenyan masyararkat non muslim. Kalau orang Islam Madura hanya untuk menghormati leluhur dan melestarikan tradisi yang sudah lama ini, tapi kalau non muslim mungkin saja untuk menghormati Tuhannya. Dan nyonson merupakan ritual yang menyimpan kesakralan menurut saya. Karena tak mungkin ritual ini tetap lestari hingga saat ini meski sudah tak semuanya orang Madura yang melakukan,” terang Absaruddin.
Selain itu, bakar kemenyan memang identik dengan hal-hal mistis seperti santet atau ritual-ritual tertentu demi memperoleh kekayaan “Araja” dalam bahasa Maduranya, atau membakar kemenyan dengan sesajen yang diletakkan di tempat yang dianggap keramat atau angker seperti di bawah pohon besar, di sungai-sungai maupun di pinggir jalan. Namun berbeda dengan ritual nyonson itu sendiri.
“Dulu saya dengar dari nenek, setiap beliau nyonson selalu sembari bercerita. Jika arwah leluhur sangat senang dengan wangi kemenyan. Arwah-arwah leluhur, utamanya pemilik pekarangan rumah senang karena dengan nyonson itu berarti kita masih ingat dan mengirimkan doa kepada mereka,” ucapnya.
Bagi Masyarakat Madura, tidak hanya rumah atau sudut-sudut pekarangan yang di sonson, namun juga benda berharga seperti pusaka atau benda-benda kuna lainnya seperti kitab-kitab kuna peninggalan leluhur.
“Yang di son-son itu tak hanya rumah dan pekarangn kalau orang Madura, tapi benda-benda pusaka seperti keris, tosan cakung (Golok dalam bahasa Madura), tombak, jimat, dan Al-Qur’an itu juga di son-son,” ujarnya.
Tempo dulu, tradisi nyonson memakai kemenyan serbuk atau dupa serbuk. Namun saat ini ada kemenyan yang lebih praktis, yakni menggunakan dupa lidi, orang Madura ada yang menyebutnya dupa Arab.
“Bahkan dulu ada alat khusus untuk membakar dupa atau kemenyan itu, alatnya seperti mangkok kecil tapi terbuat dari tanah liat kemudian diisi dengan arang yang ada baranya. Ada yang lebih sederhana, memakai serabut kelapa. Serabutnya itu dibakar terus ditaburi kemenyan. Kalau sekarang enak, tidak ribet, tinggal beli dupa lidi. Dipasar banyak yang jual,” katanya, sembari memberi sebaris senyum, garis keriput tampak di pipi Pak Absaruddin.
Saat ini, tradisi nyonson hanya kerap kali digunakan saat acara-acara tertentu saja seperti halnya acara tahlilan, rokatan dan acara-acara keagamaan atau ritual lainnya.
“Sekarang sudah jarang orang nyonson pada malam jumat. Sekarang, nyonson hanya dipakai saat acara-acara tahlilan, rokatan dan selametan. Nyonson hanya dijadikan penanda bahwa tahlilan segera dimulai,” pungkas Absaruddin.
Jangan lupa tonton video Mamira.ID di youtube:
Mamira.ID