MAMIRA.ID – Siapa saja yang menyusuri setiap sudut kota Sumenep, pasti dengan mudah akan menemukan keberadaan kuda terbang. Baik dalam bentuk monumen, ukiran, logo, bahkan kemasan-kemasan produk UMKM.
Tak seperti pandangan masyarakat umum yang menganggap kuda terbang adalah binatang fiktif, di Sumenep justru kuda terbang dianggap sebagai binatang yang syarat makna, bukan semata-mata hanya kendaran ajaib milik penguasa Sumenep, Arya Kuda Panole.
Sejak lama kuda terbang dianggap sebagai tunggangan Batara Wisnu, sang penjaga alam raya. Hingga di kemudian hari Ia juga dipercaya sebagai tunggangan bagi raja dan para kesatria. Di tempat lain, kuda terbang disebut juga kuda sembrani dan juga kuda bang.
Kuda terbang sebagai binatang tunggangan Jokotole banyak diceritakan oleh Raden Werdisastra dalam karya monumentalnya, Babad Sumenep.
Werdisastra bercerita bahwa kuda terbang sakti itu adalah pemberian dari sang paman, Adirasa. Saking sayangnya, Jokotole menaimainya Mega Remmeng.
Kuda kesayangannya itu juga turut serta membantu Jokotole dalam pertempuran melawan Sampo Tua Lang atau Dempo Awang, panglima perang asal negeri tirai bambu, China. Kudanya digambarkan sangat tangguh. Hingga akhirnya bisa memenangkan pertempuran.
Sebagai bentuk penghormatan, Megaremmeng konon dimakamkan di dekat pusara Jokotole, Kampung Sa’asa, Desa Lanjut, Manding.
Berbeda dengan Werdisastra, Henri MacLaine Pont dalam artikelnya di Koran Belanda yang terbit menjelang akhir tahun 1929, justru menyatakan jika Kuda Terbang adalah lambang dari pasukan-pasukan yang banyak berhubungan dengan sang penguasa “Tingang Juru” dalam upayanya menjaga eksistensi kerajaan Majapahit. Penguasa tinggang juru yang di maksud tak lain adalah mantan Adipati Sumenep, Arya Wiraraja.
Relief kuda bersayap itu oleh MacLaine Pont ditemukan takjauh dari relief lainnya yang menggambarkan hubungannya dengan perang.
Hal senada, terkait temuan relief kuda bersayap pada bangunan peninggalan era Majapahit juga sempat disampaikan oleh sejarawan legendaris Madura, Zainal Fattah.
Konon ia pernah melihat langsung simbol kuda terbang tersebut bersama pegawai dari Jawatan Purbakala Kolonial saat dirinya berkunjung ke Mojoagung, Mojokerto.
Mantan Bupati Pamekasan itu memberikan gambaran utuh bagaimana bentuk relief kuda terbang yang dipahat pada salah satu bagian di Candi Bajang Ratu.
“Simbol itu diukirkan pada sebuah batu, bergambar seekor kuda yang memakai sayap, dua kaki dibelakangnya ada di tanah, sedang dua kaki dimukanya diangkat keatas serta kepalanya berbalik (menoleh) kebelakang”. Tulisnya dalam bukunya yang berjudul “Sedjarah Tjaranja Pemerintahan di Daerah-Daerah di Kepulauan Madura”.
Terlepas dari perbedaan pandangan dari para tokoh diatas terkait asal-usul kuda terbang di wilayah kekuasaan Majapahit, kehadiran kuda terbang di Madura khususnya Sumenep nampaknya telah mengakar begitu kuat dari masa ke masa.
Terbukti di akhir abad 18, Penguasa Sumenep, Pangeran Natakusuma meciptakan logo kerajaannya dengan simbolisasi Kuda Terbang dan Naga Basuki. Tak sampai disitu, panji-panji pasukannya juga dihiasi simbol serupa.
Pasca kemerdekaan, penggunaan kuda terbang sebagai simbol makin marak. DPRD Sumenep pada tanggal 25 Mei 1965 No.3/II/20DPRD-DR/65/2820 juga menetapkan kuda terbang sebagai lambang daerah Kabupaten Sumenep.