SUMENEP, MAMIRA.id – Keringat belum juga kering saat matahari hampir terbenam di ufuk barat. Lengkap dengan peralatan yang dibawanya, lelaki paruh baya itu baru turun dari salah satu pohon Siwalan.
“Sejak dari buyut orang sini memang sudah mengambil la’ang (air legen), saya belajar manjat pohon siwalan sejak remaja. (Dalam keluarga) saya generasi yang ketiga,” kata Sahawi (45) beberapa waktu lalu.
Warga Desa Pragaan Daya, Kecamatan Pragaan, Sumenep itu ditemui tim MAMIRA di tengah bekerja mengambil la’ang di sebuah tegalan. La’ang atau air legen merupakan air hasil sadapan bunga pohon siwalan.
Tetesan demi tetesan air itu sangat berharga bagi Sahawi. Bisa dibilang, air berwarna putih kecoklatan tersebut merupakan sumber pendapatan utama Sahawi di tengah tuntutan zaman yang semakin berat ini.
Air Pohon Kehidupan
Menyadap la’ang sudah Sahawi tekuni sejak remaja, karena memang sumber kehidupan keluarganya sebagian besar didapat dari air yang punya rasa manis menyegarkan itu.
Sahawi adalah salah satu petani air la’ang di Desa Pragaan Daya, Kecamatan Pragaan. Desa tersebut terletak di lembah berbukit, masih sangat asri dan sejuk.
Profesi masyarakat di desa itu mayoritas petani. Karena kontur tanahnya berbatu, tak banyak yang bisa ditanam masyarakat, kecuali jagung dan kacang tanah.
Ditemani topi lusuhnya, Sahawi memanjat pohon siwalan yang tinggi menjulang dua kali sehari, pagi dan sore. Dalam sehari, Sahawi sanggup menaiki “pohon kehidupan” itu hingga lebih dari lima pohon.
Bagaimana tidak disebut sebagai “pohon kehidupan”, jika semua keluarga Sahawi hidupnya banyak bergantung pada pohon bernama latin Borassus flabellifer tersebut.
Di samping pohon yang disebut Tarebung di Sumenep itu juga memang banyak memiliki manfaat. Selain diambil air bunganya, buah, daun hingga pohonnya pun sangat bermanfaat bagi hajat hidup manusia.
“Ya setiap hari saya memanjat pohon siwalan (menyadap la’ang). Kalau tidak, mau dapat penghasilan dari mana. Ya ada jagung, tapi kan tidak bisa langsung panen, harus nunggu empat bulan,” ungkap Sahawi.
Tonton Video ini:
Untuk memanjat pohon siwalan, Sahawi tak hanya membawa perlatan wajib, tapi harus punya modal utama, yakni keberanian dan ketenangan. Pohon yang menjulang tinggi itu terkadang bergoyang-goyang diterpa angin. Apalagi dimusim penghujan saat ini.
Namun, hujan dan angin tak menjadikan Sahawi patah semangat. Yang ada dalam pikirannya bukan rasa was-was, tapi justru senyum anak dan istri di rumah saat pulang dengan membawa satu ember air la’ang.
Pohon yang tingginya mencapai belasan meter itu menjadi saksi bahwa hidup memanglah penuh dengan perjuangan. Pagi dan sore waktu wajib bagi Sahawi untuk mengumpulkan air la’ang.
“Harus pagi kalau mau ambil la’ang, sekitar jam 7-an. Kalau kelewat waktunya bisa jadi tuak. Kalau sore jam setengah 5. (Sadapan air la’ang) butuh sekitar 12 jam untuk bisa diambil. Kalau menyadap sore diambil pagi, sebaliknya kalau nyadapnya pagi diambil sore,” jelas Sahawi sembari mengusap lengannya yang dikerubuti nyamuk.
Menyadap Air La’ang
Rupanya, bunga atau mayang siwalan tidak bisa langsung menghasilkan air la’ang. Butuh proses panjang yang harus dilakukan Sahawi sebelum menikmati berliter-liter air yang kaya akan manfaat itu.
Sebelum bisa disadap airnya, bunga manggar harus dijepit (Madura: ekaremo) setiap dua hari sekali hingga setengah bulan lamanya. Ada alat penjepit khusus yang terbuat dari kayu pipih memanjang, kira-kira nyaris satu meter, yang disebut Pangaremo.
Setelah melewati proses tersebut, bunga manggar atau manyang, warga Desa Pragaan Daya menyebutnya, disayat-sayat agar mengeluarkan tetesan air la’ang.
Setelah itu, barulah bunga manggar bisa disadap untuk diambil sarinya. Kata Sahawi, satu pohon siwalan bisa menghasilkan 10 liter air la’ang setiap harinya.
Dulu, sebelum ada ember seperti saat ini, Sahawi menggunakan bambu sebagai alat untuk menampung sadapan air la’ang. Kemudian hasil tampungan tersebut dimasukkan ke dalam temba, wadah berbentuk timba yang terbuat dari daun siwalan (Madura: rakara) itu sendiri.
“Kalau sekarang sudah pakai ember, kalau dulu pakai bambu. La’ang hasil sadapan di bambu kemudian dituangkan ke dalam ember yang terbuat dari rakara,” paparnya.
Peralatan Menyadap
Setiap mau memanjat, Sahawi dipastikan selalu membawa peralatan wajib. Alat-alat yang dibawa berupa dua celurit kecil dengan sarung yang terbuat dari kayu. Keduanya disebut Pangerat dan Caplak.
Kemudian ada Balaju: cantolan temba atau ember untuk wadah la’ang, dan Pangaremo: alat penjepit bunga manggar.
Selain itu, ada botol kecil yang berisi minyak pengusir nyamuk dan botol plastik bekas minuman berisi serbuk putih yang diusapkan ke permukaan telapak tangan. Yang terakhir fungsinya agar tangan Sahawi tidak licin saat dia memanjat pohon siwalan.
“Celurit ini untuk menyayat dan memotong, cantolan ini buat mengaitkan ember wadah la’ang, dan yang ini penjepit manyang. Kalau peralatan tidak lengkap, percuma,” papar Sahawi dengan nafas sedikit tersengal, karena baru turun dari atas pohon siwalan.
Di samping Pangerat (penyayat dan pemotong), Pangaremo (penjepit), Balaju (tempat mengaitkan wadah la’ang), dan Temba yang sekarang berganti ember, umumnya alat untuk menyadap la’ang ada Salampar dan Tambut: wadah Laro.
Atwi, salah satu penyadap la’ang asa Desa Andulang, Kecamatan Gapura menjelaskan, Laro adalah kulit pohon yang di tumbuk kasar dan ditambahkan ke dalam la’ang.
“Tujuannya untuk menstabilkan tingkat keasaman (pH) dan memperlambat proses fermentasi alami pada la’ang (nira siwalan) supa,” jelasnya, Sabtu (30/01/2021) pagi.
Manfaat Air La’ang
Selain sebagai bahan dasar gula merah dan cuka, rupanya air la’ang yang masih segar juga bisa dijadikan minuman isotonik alami dan dipercaya untuk menjaga stamina karena mengandung ion dan mineral.
Bahkan, sebagian orang meyakini air la’ang mampu mengatasi sejumlah penyakit, seperti ginjal hingga kencing manis.
“Seain dibuat gula merah, bisa juga diminum langusung untuk menghilangkan haus dan menyehatkan badan. Terkadang dibuat minuman rutin oleh orang yang sakit ginjal dan kencing manis,” ujar Sahawi yang kemudian beranjak memanjat pohon siwalan lainnya yang belum selesai.
Badan lelah dan wajah letih tampak jelas di wajah Sahawi. Tapi ia masih harus memanjat pohon demi pohon lagi agar air la’ang tidak menjadi arak karena terlambat panen.
Di saat musim penghujan seperti saat ini pendapatan Sahawi agak berkurang, karena tak bisa setiap hari bisa menyadap bunga aren tersebut. Jika memaksa menyadap, air la’ang tidak lagi murni karena bercampur air dan mempengaruhi kualitas gula.
Lalu, sementara matahari mulai tenggelam ke peraduannya, kegiatan menyadap air la’ang yang lazim disebut nae’ itu akhirnya selesai. Air la’ang yang sudah terkumpul dibawa Sahawi pulang untuk dibikin gula merah. Terkadang hasil sadapannya itu juga dia jual secara langsung pada pengepul.
“Kalau sudah diambil semua dari pohon (siwalan), air la’ang-nya dibawa pulang. Dibuat gula merah. Gula merahnya dijual ke pengepul. Dari gula merah itu penghasilan saya per 1kg seharga Rp 13 ribu,” terangnya.
Kendati hidupnya banyak bergantung pada air la’ang, Sahawi masih punya keyakinan bahwa hidupnya akan lebih baik. Meski hingga saat ini penghasilannya hanya dari bertani jagung dan air bunga pohon kehidupan itu, Sahawi berharap anak-anaknya kelak tak punya nasib sama seperti dirinya.
“Tuhan maha penyayang, pasti sayang kepada orang seperti saya. Semoga anak saya tidak punya nasib seperti saya, susah sekali mendapatkan pemasukan yang cukup,” tandas Sahawi sembari melepas senyum.
Penulis: M. Zainuri
Editor: Rafiqi