Site icon MAMIRA.ID

Kiai Faqih: Ulama Sufi Guru Bindara Saot

Mamira.id – Kyai Pakke, begitulah lughat orang madura menyebutnya. Nama asli beliau adalah K. Faqih, ia terlahir dari pasangan suami istri yang tergolong masih dari kalangan Ulama/kyai dari tanah Parongpong desa Kecer kecamatan Dasuk. Ayahnya bernama K. Khatib Bangil, sosok ulama yang menurut beberapa cerita kuno pernah menetap di daerah Bangil Pasuruan. Sedangkan ibunya bernama Nyai. Salama putri dari K. Modin Teja dari Kota Gerbang Salam, Pamekasan.

Sebagai seorang putra ulama, tentunya K. Faqih tak jauh dari kepribadian sang ayah, semasa kecil beliau sudah digembleng ilmu agama, tauhid dan ajaran ajaran tata kemasyarakatan, guna meneruskan perjuangan dakwah proses islamisasi di bumi Sumekar ini.

“Kyai Pakke itu memang terkenal ilmu Fiqihnya, serta beliau itu merupakan budayawan. Dulu beliau mengajar “Gendingan” atau kita kenal sekarang dengan musik karawitan. Bahkan, Kyai Pakke pernah diundang ke kerajaan Mataram, untuk mengajar music Gendingan tersebut,” Kata Pak Muro, salah satu sesepuh Desa Lembung.

Khatib Bangil merupakan putra dari K. Ali Talang Parongpong. Dalam catatan silsilah keturunannya, K. Khatib Bangil masih saudara dari K. Abdul Qidam/K. Arsojih yang maqburahnya berada tepat di bekalang Koramil Larangan Pamekasan, tak lain dan tak bukan K. Arsojih terbebut adalah kakek dari Bindara Saot.

Sedangkan K. Ali Talang adalah putra dari K. Abdullah yang menempati kawasan Gunung Glugur, Kecamatan Batuan, Kabupaten Sumenep, seorang ulama yang berasal dari tanah Sendir, Kecamatan Lenteng. Leluhurnya bernama K. Astamana yang merupakan salah satu putra dari Pangeran Bukabu. Jika ditarik keatas, silsilah sosok K. Faqih masih bersambung nasab kepada Sayyid Jakfar Shadiq atau yang dikenal dengan sebutan Sunan Kudus.

“Uthlubul ilma wa law bissin” begitulah hadits Rasulullah SAW. Masa remaja K. Faqih bukan hanya menimbah ilmu pada kedua orang tuanya, beliau sengaja dimondokkan kepada ulama yang terkenal alim dan berkaromah tinggi. Ulama tersebut berdarah Sendir, Kecamatan Lenteng, beliau tokoh agung yang menempati kawasan yang dulunya adalah kawasan hutan rawa, tepatnya di sebuah kampung bernama kampung Rabah, Desa Sumedangan, Kecamatan Pademawu, Pamekasan. Ulama tersebut bernama K. Abdurrahman, namun masyarakat luas menyebutnya dengan sebutan K. Agung Rabah.

“Sampai saat ini pondok pesantren tersebut masih ada, kalau dulu bukan berbentuk pesantren saat ini, karena dulu sistemnya kan mengaji biasa, tidak ada sekolah formal seperti sekarang,” katanya.

Sekembalinya dari pondok pesantren Rabah sosok K. Faqih telah menjadi sosok ulama yang berilmu tinggi dan berpangkat waliyullah. Kemudian, dengan bekal ilmu yang diperoleh semasa di pesantren, K. Faqih meneruskan perjuangan leluhurnya dalam  rangka  dakwa sekaligus memperluas ajaran agama islam, serta mencetak kader kader santri yang mampu meneruskan perjuangan beliau. Langgar dan pesantren Lembung  menjadi tempat rutin para santri dalam rangka mengaji kalam-kalam Ilahi Rabbi dan belajar ilmu agama, ilmu kemasyarakatan serta mengajarkan nilai nilai budaya.

“Nah, dari ini  bisa di simpulkan bahwasanya K. Faqih adalah sosok ulama yang menggagas berdirinya pesantren  sekaligus masjid agung di Lembung,” kata Pak Moro sembari mengajak tim mamira melihat ruang dalam masjid peninggalan K. Faqih yang masih tampak asli.

Takwil K. Faqih Terhadap Masa Depan Bindara Saot

Pesantren Lembung merupakan tempat beliau mengabdikan diri pada dunia islam. Sosoknya yang alim dan berkaromah tinggi mampu mencetak para santri yang alim juga. Ilmu agama menjadi bahan ajaran utama kepada para santrinya serta nilai-nilai luhur menjadi pegangan semasa hidupnya, sehingga banyak para santri yang mondok di sana, termasuk Bindara Saot juga nyantri kepada K. Faqih. Bindara Saot bukan hanya nyantri, akan tetapi sekaligus juga dijadikan sebagai anak angkat karena masih kerabat sekaligus ponakan dari ulama alim tersebut.

“K. Faqih tidak punya keturunan, maka Bindara Saot dijadikan anak angkat sama beliau,” jelasnya.

Selesai melihat area dalam masjid, Pak Muro mengajak tim mamira duduk di teras masjid dan melanjutkan ceritanya.

“Suatu ketika malam pun mulai gelap, nyanyian jangkrik pun mulai mengalunkan irama lagu yang begitu syahdu, sementara senyum sang rembulan menyinari hamparan bumi Lembung. Tak terasa para santri pun mulai beristirahat/tidur, dan K. Faqih pun mulai mengontrol para santri. Disaat sedang mengontrol santri yang sedang terlelap tidur, beliau menemukan sebuah sinar yang memancar diantara para santri yang sedang pulas itu. Karena keadaan gelap  gulita K. Faqih pun tak tahu dari siapa sinar tersebut memancar, sehingga berinisiatif untuk memberi tanda pada santri itu dengan cara memberi tali ikatan di sarungnya,” ujar Pak Moro, yang sejurus kemudian melanjutkan ceritanya kembali.

“Malam pun berlalu kini telah berganti pagi, sang mentari mulai tersenyum di ufuk timur.  K. Faqih pun mengumpulkan para santri dan menanyakan kejadian yang tadi malam beliau temui di asrama santri. K. Faqih berkata kepada para santrinya, “siapa yang tadi pagi bangun tidur sarungnya ada tanda ikatan?” Bindara Saot pun mengacungkan tangan seraya berkata Dhelem kyai” (Saya, Kyai). K. Faqih pun menegaskan sekaligus para santri akan menjadi saksi bahwasanya Bindara Saot ini adalah sosok yang kelak akan menjadi pemimpin/raja kraton Sumenep selama 7 turun.  Seraya para santri berkata dengan serempak,  “Enggi kyai” (Iya, Kyai),” jadi begitulah ceritanya soal sosok Bindara Saot yang sudah ditafsir oleh K. Faqih, jelas Pak Muro.

Saking dari semangatnya bercerita, Pak Muro sampai merubah posisi duduknya, yang tadinya duduk bersila sekarang bersimpuh dan terus berlanjut bercerita.

“Dari kisah ini menunjukkan bahwa karomah K. Faqih itu sangat tinggi mampu meramal nasib seseorang sampai anak cucunya. Hal ini terbukti dengan nyata dari sosok Bindara Saot lah mampu memimpin tahta  pemerintahan Sumenep selama 7 turunan secara regenerasi,” Seraya pak Muro sambil menggelengkan kepala, saking takjubnya pada kisah-kisah dua ulama tersebut kepada tim mamira.

Situs Peninggalan K. Faqih

Sebagai seorang ulama sufi yang alim dan allama tentu tak mudah menghilangkan jejak situs peninggalan K. Faqih. Salah satu bukti bahwasanya kebesaran islam dan pesantren sudah ada sejak era tempo dulu. Di tempat inilah masih ada bukti sejarah berupa masjid Agung yang telah menjadi saksi sejarah K. Faqih  yang mendidik santri serta proses dakwah islamisasi pada masyarakat.

Masjid agung K.Faqih sudah mulai ada perubahan aslinya karena di gerus perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan masyarakat akan sarana ibadah. Tampak tulisan di tempat imam pada sisi dalam masih tampak asli dan jelas, arsitektur mimbar imam masih asli dengan bahan terbuat dari kayu jati serta pahatan kaligrafi lafadz arab masih terselip rapi. Namun pintu tempat imam tersebut ada orang yang mencuri.

“Mimbar itu dulu ada pintunya, terbuat dari kayu jati, Cuma hilang, dicuri. Lampu juga yang gantungan, juga hilang. Sekitar tahun 1975 an itu yang hilang. Tapi ceritanya yang ngambil pintu tersebut meninggal dengan kondisi badan yang hancur. Itu dicuri pas saat musim kemarua, yang mencuri itu justru “abdi dhelem” pelayan kyai. Cong Ini’ Namanya yang ambil dengan cara dipikul, sama orang dikira mikul jagung disuruh orand dhelem, jadi gak ada yang curiga. Permah dicari sampai ke Bali, tapi gak ditemukan juga,” terang Pak Muro.

Di dalam masjid tampak 4 tiang berdiri kokoh dengan pahatan kayu jati terdapat pada bagian atas tiang sebagai penyangga bangunan masjid tersebut. Ornamennya begitu indah dan masih asli namun  tiangnya sudah di cor di dalam tiang beton karena terlalu pendek untuk menyanggah atap masjid, namun tetap utuh kayu tiang tersebut.

“Masjid ini udah dibangun, makanya bentuknya begini sekarang, dulu seperti musholla, hanya delapan meter persegi. Renovasi masjid ini memakan waktu selama tiga tahun. Dari 1997 selesai 1999. Karena biayanya memang swadaya masyarakat, dulu gak ada orang bikin bangunan disini. Saya sampai ke jember nyari uang buat renovasi masjid ini, ke Bondowoso, Pato’an pernah sampai sana. Ngemis beneran dulu. Tidak ada bantuan dari pihak manapun, asli sumbangan atau swadaya masyarakat. Tapi meski nyari ke daerah jawa orang yang diminta sumbangan untuk renovasi tetap orang Lembung asli yang menetap di luar Madura. Kalua bukan keturunan orang Lembung gak dimintai sumbangan,” terang Pak Muro.

Selain masjid ada juga bangunan  lain sebagai peninggalan K. Faqih berupa langgar kuno. Lokasi ada di timur laut masjid, langgar tersebut atapnya mirip dengan bangunan rumah pegon namun itu berbentuk langgar dengan 4 tiang kayu berdiri kokoh di tengah  langgar, serta kayu penyangga wuwungan masih terbuat dari kayu jati. Perubahannya  hanya pada gentengnya di ganti yang baru karena banyak yang sudah rusak dan lapuk. Cerita pak moro waktu itu.

“Kalau tiang kayu yang di dalam itu masih yang kuno, kuno semua itu. Kecuali tiang-tiang diluar ini, ini baru buatan jaman sekarang, baru lima tahun lalu tiang-tiang ini dibuat. Masjid ini lebih tua daripada masjid jamik di Sumenep itu, kalau masjid yang disana masih ada yang tau siapa yang bangun, kalau masjid ini gak ada yang tau, saking kunonya gak ada yang tahu siapa yang bikin, ini pada saat masa K. Pakke atau sebelum beliau sudah ada, itu gak ada yang tahu,” jelas Pak Muro sembari mengajak tim mamira bergeser tempat menuju asta K. Faqih yang terdapat dibelakang masjid.

Pasarean K. Faqih

Pasarean K. Faqih lokasinya terletak dibelakang masjid  Agung K. Faqih desa Lembung barat kecamatan Lenteng, Sebuah pusara kuno dengan posisi  letaknya paling barat, berjejer 3 buah makam kuno dengan bangunan cungkup masih berdiri kokoh dan sedikit mengalami perubahan aslinya. Maqburah K. Faqih berada dalam bangunan kuno dengan 4 tiang terbuat dari kayu jati serta tertutup kain kelambu pertanda sebuah kesakralan dan keagungan dari sang tokoh.

Dari ketiga asta tersebut hanya nisan asta K. Faqih yang terbuat dari marmer, sementara kijing sama dengan tiga asta lainnya. Nisan marmer tersebut merupakan penghargaan dari raja sebagai penguasa Sumenep kala itu.

“Bangunan tersebut sudah ada perbaikan pada bagian teras dan usuk karena sudah di makan usia, akan tetapi pada bagian dalam tampak masih asli dan kuno,” pungkas Pak Muro kepada tim mamira.

Jangan lupa tonton video ini:

 

Penulis: Abd. Warits

Editor: Mamira.id

Exit mobile version