Site icon MAMIRA.ID

Asta Tinggi Bagian III: Cungkup Bindara Saot

Ket Foto: Foro Cungkup Bindara Saut Asta Tinggi Sumenep Madura.

Mamira.id – Satu lagi cungkup yang masih berada di area bagian barat komplek makam Asta Tinggi yang akan dibahas dalam tulisan kali ini, yakni Cungkup Bindara Saot. Cungkup ini terletak bersebelahan dengan Cungkup Pangeran Jimat. Kedua cungkup hanya dipisahkan dengan jalan berplester selebar satu meter yang menuju cungkup Pangeran Pulan Jiwa.

Berdasarkan tata letaknya, Cungkup Bindara Saot yang berada tepat disebelah timur cungkup Pangeran Jimat mejadi sumber informasi tentang tata letak makam yang didasari ajaran atau tuntunan etika dalam berperilaku.

Posisi Cungkup Bindara Saot yang menggambarkan posisi seolah-olah berada di belakang Pangeran Jimat adalah gambaran bagaimana perilaku dan sopan santun dalam keseharian masyarakat Madura.

Terdapat pula cungkup Panji Pulang Jiwa yang terletak di area paling belakang. Jika diartikan dari tata letaknya mempunyai arti keturunan yang paling tua. Namun pembahasan kali ini akan lebih detail terhadap cungkup Bindara Saot.

“Posisi cungkup ini memang demikian dari dulu, karena berdasarkan usia makam serta sebagai bentuk penghormatan atau tatakrama kepada yang lebih tua. Cungkup Bindara Saot ini merupakan cungkup yang usianya paling muda jika dibanding dengan cungkup-cungkup dua lainnya di area bagian barat ini,” ujar pak Husni, juru kunci cungkup Bindara Saot pekan lalu saat ditemui tim Mamira.

Bentuk Cungkup

Cungkup Bindara Saot memilki bentuk bertingkat seperti masjid Jamik yang berada di pusat kota Sumenep. Bentuk bertingkat ini menggunakan pola lama. Hal itu memberikan arti keagungan dan bentuk kehormatan sang raja.

Bahkan bangunannya terdapat ornamentasi yang terukir seperti bunga teratai. Dalam bentuk bunga dan tangkai memiliki arti tersendiri, bunga teratai diartikan kesucian bagi kepercayaan orang Hindu tempo dulu.

Bentuk cungkup Bindara Saot memberikan keunikan tersendiri, dari bahan bangunannya saja banyak terbuat dari kayu, dan sampai saat ini masih tetap kokoh. Cungkup ini oleh adat jawa di beri nama rumah joglo, yang memilki ciri khas bentuk atapnya menjulang tinggi menyerupai gunung.

“Cungkup Bindara Saot ini merupakan rumah (madura: Dhelem) Bindara saot yang dijadikan cungkup. Dulu cungkup ini tempat tinggal beliau, namun saat beliau wafat, maka dipindahlah kesini, ya dijadikan cungkup asta beliau,” katanya.

Bentuk dan Jumlah Makam

Makam yang berada dalam cungkup memilki ciri dan perbedaan tersendiri. Mengenai bentuk jirat atau kijing makam, pada cungkup makam Bindara Saot masih mempertahankan pola lama, yaitu tersusun atau bertingkat, dimana tingkatan tersebut menggambarkan kedudukan tokoh yang dimakamkan semasa hidupnya.

“Kalau bentuk makam tidak ada perpedaan dengan makam-makam yang lain, seperti asta Pangeran Pulang Jiwa dan Pangeran Jimat, semua bentuknya bertingkat,” ujar pak Husni sembari merapikan kembang tujuh rupa yang berada di atas kijing makam.

Secara umum, gaya jirat atau kijing makam memang menunjukkan pengaruh gaya makam Mataram Islam. Tentu saja hal ini bukan merupakan hal yang aneh, karena pada masa perkembangan kerajaan Islam di Nusantara, Madura merupakan daerah yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa Mataram.

Dalam cungkup yang ke tiga ini terbaring para penguasa kerajaan Sumenep tempo dulu.  Makam yang paling barat yakni Tumenggung Tirtonegoro (Bindara Saot) bersebelahan dengan R. Ayu Tirtonegoro (RA. Dewi Rasmana) istri Bindara Saot dan disampingnya Cucu RA. Sultan Bangkalan, Kanjeng Gusti RA. Tumenggung Notokusomo 1, R. Arya Pacinan (Bahaudin), Putri Kanjeng Kyai Adipati Surohadimanggolo, Tanpa Nama, R. Ayu Pangeran Kornel, Pangeran Kornel, Raden Abdurrahim bin Pangeran Natanegara, Raden Ayu Bai, Raden Ayu Putri bin Pangeran Natakusumo.

Makam yang berada dalam Cungkup Bindara Saot lumayan banyak, namun yang dikenal oleh kalangan masyarakat dan yang sering dikunjungi oleh peziarah berjumlah 12  makam. Jika dihitung dari banyaknya makam yang berada didalam cungkup yakni 32 makam. Diantaranya terdapat makam anak kecil yang terletak di belakang keluarga bangsawan karaton Sumenep.

“Dicungkup inilah yang paling banyak jumlah makamnya dibanding dengan dua cungkup lainnya. Di cungkup ini berjumlah 32 makam semuanya, termasuk makam yang kecil-kecil ini,” jelas Pak Husni.

Ornamentasi Ukiran

Dari sisi ornamentasi atau ragam hiasnya, pada cungkup Makam Bindara Saot masih tetap menunjukkan nuansa kebhinekaan atau keragaman budaya. Perpaduan atau akulturasi budaya masih sangat kental. Perpaduan budaya Arab, Cina, Jawa dan Madura menjadikan makam ini memiliki keunikan tersendiri.

“Ukiran dinding pembatas ini pindahan dari rumah beliau juga, gaya ukirannya memang menggunakan bentuk ukiran cina dan jawa, karena sumenep itu dari dulu merupakan negeri yang sangat toleran dan menerima kultur budaya dari luar Madura atau bahkan luar jawa,” jelas Pak Husni.

Bentuk kontinuitas budaya sendiri masih nampak jelas di cungkup makam Bindara Saot, dimana hiasan atau ornamentasinya masih mendapatkan pengaruh dari era-era sebelumnya.

Pada cungkup makam ini, ragam ornamentasi masih di dominasi oleh motif floral yang berupa sulur-suluran. Motif ini disematkan tentu saja karena sarat dengan makna simbolis. Motif sulur-suluran terpahat secara apik dan menarik pada nisan Makam Bindara Saot.

Memang dalam sebaran budayanya, motif ragam hias sulur-suluran ini tersebar dan menjadi ciri budaya Jawa (atau dikenal dengan istilah lung-lungan), Bali (dikenal dengan istilah patra) dan Madura. Motif sulur-suluran yang biasanya terpahat di tempat-tempat suci memiliki makna simbolis tentang sebuah pengharapan dalam kehidupan yang berkembang, kemakmuran, kejayaan dan kesejahteraan. Dari ragam hias ini dapat membaca dengan jelas cita-cita mulia penguasa Sumenep pada zaman dahulu.

Ornamentasi atau ragam hias lainnya yang masih berupa pahatan tentang motif flora dan fauna tersemat pada dinding kayu pembatas atau gebyok di cungkup makam ini. Pengaruh budaya dari Cina dapat kita lihat dengan jelas pada pahatan-pahatan yang berupa binatang mitologi Cina.

Keberadaan pahatan burung phoenix yang merupakan simbolisasi kejayaan, kemakmuran. Binatang ini memang merupakan binatang agung yang selalu menggambarkan tentang kekuasaan sang raja.

Phoenix dianggap sebagai burung yang mampu membawa kedamaian, memperbaiki keadaan dan terhindar dari malapetaka. Selain itu pada beberapa panel, nampak terpahat pula dengan indah keberadaan keharmonisan alam.

Panel-panel dalam gebyok makam menggambarkan keberadaan burung-burung dan tanaman-tanaman yang menarik untuk kita amati. Tentu saja ini merupakan gambaran tentang bagaimana kita belajar menjaga keharmonisan dengan alam.

Pahatan ragam hias ini seolah-olah mengajarkan pada kita tentang pentingnya menjaga hubungan baik dengan alam sekitar (Hablum minal Alam). Berbagai macam petaka atau bencana bisa muncul saat kita tidak mampu menjaga keselarasan dengan alam sekitar.

“Kalau yang ada gunungan atau prasastinya begini hanya ada tujuh makam, hal ini menunjukkan tokoh yang dimakamkan, cuma satu diantara yang enam ini,” terang Pak Husni sambil menunjukkan gunungan yang bertulis arab dan jawa.

Ornamentasi lainnya yang mejadi pelengkap dalam cungkup makam ini dan berbeda dengan cungkup-cungkup lainnya di komplek ini adalah keberadaan gunungan. Gunungan yang berupa dinding batu dan memiliki ukuran tidak begitu tinggi ini merupakan salah bentuk ciri khas makam Islam Kuno di Madura.

Pada gunungan makam Bindara Saot terdapat kaligrafi Arab dan tulisan carakan yang berisi tentang keterangan tokoh yang dimakamkan ditempat ini.

Penggunaan kaligrafi Arab menjadi bukti keragaman budaya yang terjaga dengan baik di masa pemerintahan tokoh yang dimakamkan di tempat ini, yaitu Bindara Saot. Gunungan ini terletak menjadi bagian pembatas antara keberadaan makam dan gebyok itu sendiri.

Asta tinggi selalu ramai dengan para peziarah, bisa dipastikan setiap hari selalu berdatangan peziarah dari berbagai penjutu daerah.

“Peziarah pasti setiap hari ada, cuma karena era pandemi ini sudah berkurang, biasanya menjalang puasa begini sangat membludak sekali. Dari subuh sampai magrib pun ramai,” tutup pak Husni.

Jangan lupa tonton video ini:

Penulis: Fauzi

Editor: Mamira.id

Exit mobile version