Mamira.ID – Konon, pada masa pemerintahan Keadipatian Sumenep kisaran abad ke-18 Masehi, hiduplah seorang waliyullah bernama Kiai Agung Nepa, ia berasal dari sebuah perkampungan kecil di Desa Tamedung. Menurut cerita tutur sesepuh kampung Togu, Kiai Agung Nepa masih keturunan Bindara Saod dengan Nyai Izzah dari putra pertamanya Kiai Bahauddin Kusumanegara yang masyhur dengan sebutan Raden Aria Pacinan.
Jadi, jika ditarik secara nasab, Kiai Agung Nepa masih erat kaitannya dengan Penguasa Sumenep kala itu, yakni Kangjeng Tumenggung Tirtanegara Bindara Saot, sang penguasa yang berasal dari kalangan ulama.
Semasa hidupnya, Kiai Agung Nepa terkenal sebagai ulama yang karismatik, berwibawa, berilmu tinggi, dan ahli tirakat. Bahkan beliau pernah bertapa atau tirakat ke daerah Pasuruan, Jawa Timur. Penamaan Agung Nepa merupakan nama laqab yang diambil dari peristiwa di mana beliau pernah tirakat di atas ujung daun pohon nipah, orang Madura menyebutnya dengan pohon nepa, sejenis palem (palma) yang tumbuh di lingkungan hutan bakau atau daerah pasang-surut dekat tepi laut.
Hingga saat ini belum diketahui nama asli dari Kiai Agung Nepa itu sendiri, karena pada nisan pusara beliau patah dan hilang. Masih berdasarkan tutur cerita sesepuh Desa Tamedung, asta Kiai Agung Nepa lapuk termakan usia. Kijingnya terbuat dari batu putih bernisan batu karang.
“Nisannya terbuat dari sejenis batu karang (Madura: bato gunong) dan terbungkus dulu. Batu gunong itu lama kelamaan bisa pecah karena terpapar musim. Mungkin itu penyebab nisan asta beliau patah. Nah, patahannya itu hilang entah ke mana, makanya nama beliau masih misteri hingga saat ini,” terang Bindara Kholiq, salah satu keturunan ponakan Kiai Agung Nepa.
Kiai Agung Nepa menjalankan misi dakwahnya di sebuah perkampungan terpencil, tepatnya di Kampung Togu yang kemudian lebih dikenal dengan kampung Raden/Kiai. Beliau mengajarkan ilmu agama di sebuah musala kecil atau langgar yang sampai saat ini masih terjaga dan terawat. Langgar tersebut berbahan dasar kayu jati layaknya langgar kuna pada masa itu.
“Langgar Kiai Agung Nepa masih terawat hingga saat ini, meski memang sudah mengalami perbaikan sebab ada beberapa tiang yang termakan usia. Sementara atapnya sudah berubah total,” ujar Bindara Kholiq kepada tim Mamira.ID sambil melihat bangunan penuh sejarah tersebut.
Karomah Kiai Agung Nepa
Seperti dikatakan di awal, selain alim dan berilmu tinggi, Kiai Agung Nepa banyak menghabiskan masa hidupnya dengan bertirakat, maka tak heran jika nyaris segala ucapannya terkabul, orang Madura menyebutnya “mandí pangocap“. Konon, saat beliau datang dari perjalanan jauh dan kebetulan kedatangan para tamu yang ingin menemui beliau. Lalu kemudian sang kiai berkata kepada istrinya, “ Saya ingin ikan bandeng dan di luar juga sudah banyak tamu, tolong siapkan ya Den Ayu,” ucap Kiai Agung Nepa kepada sang istri.
Mendengar permintaan Kiai Agung Nepa, sang istri heran bercampur bingung, sebab di dapur tidak ada ikan bandeng. Maka sang istri pun bilang bahwa di dapur tidak ada ikan bandeng sebagaimana beliau inginkan untuk menjamu para tamu. Sejurus kemudian, Kiai Agung Nepa menaburkan tanah ke sawah yang berisi air, dengan kuasa Allah SWT sawah yang tadinya hanyalah kubangan air langsung berkeliaran ikan bandeng yang sangat banyak dan besar.
Tak berselang lama, sang istri memasak ikan bandeng tersebut untuk hidangan makan beliau dan para tamunya. Namun, Kiai Agung Nepa mengatakan agar tulang dari ikan tersebut dikumpulkan dan tidak dibuang begitu saja. Kemudian kumpulan tulang-tulang ikan tersebut dibuang lagi ke tempat semula ikan itu hidup, maka dengan kehendak Ilahi, tulang itu menjadi ikan lagi.
“Sawah itu berada tepat di sebelah selatan langar peninggalan beliau ini, sekarang sudah ditanami pohon pisang,” ujarnya seraya tersenyum. Klik halaman selanjutnya →
Menikahi Perempuan Cina
Kiai Agung Nepa beristrikan Raden Ayu Koros, salah satu keturunan Kiai Being Seing, tokoh Tionghoa Muslim era awal dalam peradaban bangsa luar di Sumenep. Kiai Being Seing merupakan tokoh tertua sekaligus cikal bakal kampung Raden atau Kiai di Desa Tamedung ini.
“Kiai Being Seing ini merupakan salah satu di antara rombongan imigran Cina yang berlabuh di Sumenep. Bahkan beliau juga ikut serta pembangunan Keraton Sumenep dan Majid Jami’. Arsitek Masjid Jami’ itu kan Lauw Piango, imigran Cina, tahu sejarah kan?” terang Bindara Kholiq dengan nada bertanya.
Sepeninggal Kiai Agung Nepa tirakat, sang istri pun tak mau kalah dengan melakukan tirakat juga. Selama empat puluh satu hari-empat puluh satu malam, Raden Ayu Koros berzikir dengan biji jagung sebagai tasbihnya.
“Ada dua versi mengenai alat hitung wiridannya, ada yang bilang menggunakan jagung, ada yang mengatakan menggunakan biji buah asam (Madura: magi’). Selama bertirakat itu beliau juga menggali tanah dengan jarinya, hingga di ujung hari terakhir tirakatnya muncullah sumber mata air, sumbernya masih ada sampai saat ini,” sambungnya.
Sumber itu kini dijadikan tempat sarana berwudu, pemandian, air minum bahkan untuk pengairan sawah oleh masyarakat kampung Togu dan sekitarnya. Sumber itu kemudian dikenal dengan Sumber (Madura:somber) Nepa. Disebut Somber Nepa karena kemudian Kiai Agung Nepa yang melanjutkan pembangunan sumber tersebut.
“Sumber itu kemudian dibangun dengan diberi perigi dari batu di sekelilingnya oleh Agung Nepa. Karena khawatir batu periginya jebol, kemudian diganjal dengan pohon kelapa pada sisi selatan sumber. Nah, pohon kelapa tersebut oleh Kiai Agung Nepa hanya dirobohkan menggunakan tangannya. Kalau bahasa Maduranya ‘epanggu’. Saya kira itu juga merupakan salah satu bukti kewalian dan karomah yang dimiliki beliau. Bahkan sampai sekarang pohon kelapa itu masih tetap ada, padahal usianya sudah lebih dari 200 tahun,” ujar Pak Wadi’ salah satu sesepuh di kampung Togu. Klik halaman selanjutnya →
Santri dan Pasarean Kiai Agung Nepa
Kiai Agung Nepa mempunyai banyak santri. Santri-santri beliau tak hanya dari Tamedung saja, namun juga dari daerah Kolpo, Batang-batang, dan ada pula santri yang berasal dari Kecamatan Batu Putih. Namun, dari sekian banyak santri Kiai Agung Nepa hanya ada beberapa santri yang terkenal, di antaranya : Bindara Abdul Zaman, Kiai Yaman, Kiai Jatim, Kiai Adam, Kiai Suma, dan Kiai Kahar.
“Dulu, kata sesepuh warga di sini, kalau santri beliau ngaji suaranya terdengar hingga ke Batu Putih. Padahal, jarak Batu Putih ke sini itu kurang lebih 7 kilometer. Saya kira itu saking walinya beliau,” ujar Bindara Kholiq sambil tersenyum simpul.
Kiai Agung Nepa tidak mempunyai keturunan. Sehingga, yang meneruskan estafet perjuangan beliau adalah Bindara Abdul Zaman, santri sekaligus keponakan beliau. Bindara Abdul Zaman merupakan putra tertua dari saudara Kiai Agung Nepa yang bernama Kiai Agung Saiman, yang masyhur dengan nama Kiai Agung Jereja.
“Kiai Agung Nepa itu tidak memiliki keturunan. Jadi, yang meneruskan estafet perjuangannya adalah Bindara Abdul Zaman dan anak cucunya sampai era sekarang ini” ungkap Bindara Kholiq.
Agung Nepa wafat pada bulan Muharam tahun 1211 Hijriah. Pusara beliau berada di pemakaman atau Asta Daja, komplek pemakaman para raden dan kiai di Kampung Togu, tepatnya sebelah barat balai Desa Tamedung, Kecamatan Batang Batang, Kabupaten Sumenep.
Sampai saat kondisi Asta Kiai Agung Nepa dan beberapa santrinya masih tampak asli tanpa ada perubahan sedikit pun. Nisan serta kijingnya masih mengadopsi corak makam Sumenep tempo dulu. Bahkan, tata letak makam menggunakan tata letak era makam kuna. Saat ini area pemakaman tersebut juga menjadi pemakaman umum masyarakat sekitar.
Jangan lupa juga tonton video Mamira.ID di youtube:
Penulis: Abd Warits
Editor: Mamira.ID