Site icon MAMIRA.ID

Jelajah Situs Adikoro Pamekasan, dan Mengenal Tokoh-tokohnya

Foto udara kawasan situs Adikoro di Kelurahan Kolpajung, Kecamatan Kota, Kabupaten Pamekasan. (Foto/Ririp)

Kolpajung merupakan lokasi paling penting dalam mengukir memori sejarah Pamekasan. Di sana ada situs pemakaman Raja-raja Pamekasan mulai dari Panembahan Ronggosukowati.

Kolpajung dewasa ini menjadi nama kelurahan yang masih masuk wilayah kecamatan Kota Pamekasan. Situs Ronggosukowati saat ini masih terpelihara. Dalam sebuah area tersendiri.

Nah, masih di kawasan Kolpajung, di sana juga terdapas situs Adikoro. Yaitu kompleks pemakaman raja-raja Pamekasan yang bergelar Adikoro.

Mamira.ID – Sejarah keemasan Pamekasan (sebelumnya bernama Pamelengan) tidak bisa lepas dari sosok Panembahan Ronggosukowati. Pembuka kerajaan Islam pertama di Gerbang Salam ini, yang sebelumnya bernama Raden Aria Sena, adalah putra Pangeran Nugroho alias Bonorogo (Wonorogo). Dalam catatan lain Bonorogo adalah nama lain dari Adipati Pramono.

Panembahan Ronggosukowati (memerintah sejak 1530-1616 M). Panembahan merupakan gelar bagi penguasa keraton Islam. Ronggosukowati kemudian memindahkan keratonnya yang semula di daerah Lawangan Daya ke Mandilaras (sekarang masuk kelurahan Gladak Anyar).

Pasarean Panembahan Ronggosukowati, Raja Pamekasan, di Asta Kolpajung. (Foto/Ririp)

Di masa ini nama Pamekasan diambil untuk menggantikan nama Pamelengan. Diambil dari pesan Mekkas Jhatna Paksa Jhenneng Dhibi’. Pesan ini mengandung harapan agar siapapun yang ingin memerintah Pamekasan haruslah bersikap transparan, mandiri, dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Pada saat Ronggosukowati memerintah, Pamekasan sudah dinilai mandiri dan mempunyai syarat sebagai sebuah pemerintahan negara. Beberapa pembangunan digalakkan. Antara lain, pasar untuk mendukung perekonomian, penjara yang lebih manusiawi, dan mendirikan masjid dengan nama Maseghit Rato, yang sekarang menjadi masjid asy-Syuhada’.

Peristiwa Puputan

Setelah Panembahan Ronggosukowati memerintah selama 86 tahun, maka Pangeran Jimat (putra dengan Nyai Ratu Inten, selaku isteri padmi) yang naik takhta. Namun karena waktu itu Pangeran Jimat masih di bawah umur, diangkatlah Pangeran Purboyo ( putra dari ampian/selir) sebagai wali raja.

Beberapa lama di masa itu, Pamekasan terlibat dalam perang puputan, perang habis-habisan, karena semua isi keraton ikut berperang melawan melawan invasi kerajaan Mataram ke Madura pada tahun 1624 M. Panembahan Ronggo, Pangeran Purboyo, Pangeran Jimat, permasuri, selir dan semua anggota kerajaan gugur.

Satu-satunya keluarga yang selamat adalah Raden Dakseno alias Pangeran Gatutkoco, putra Pangeran Purboyo hasil pernikahan dengan gadis Plakpak.

Pamekasan Pasca Invasi

Peristiwa invasi Mataram atas Madura pada tahun 1624 Masehi tersebut, pada tahap selanjutnya menjadi babak baru dalam ketatasisteman pemerintahan kerajaan-kerajaan merdeka di pulau garam.

Di Pamekasan, setelah Panembahan Ronggosukowati dan para putranya gugur dalam perang “puputan” itu, ditunjuklah beberapa adipati yang secara hirarki kekuasaan berada di bawah bayang-bayang Mataram.

Beberapa penguasa yang terkenal di bumi Gerbang Salam itu telah mewarnai perjalanan kota yang kini dikenal dengan ikon arek lancornya tersebut. Seperti tokoh-tokoh yang dikenal dengan gelar Adikoro, yang makamnya terletak tak jauh dari komplek pasarean Panembahan Ronggosukowati, di kawasan dekat pasar tradisional Kelurahan Kolpajung, Kecamatan Kota, Kabupaten Pamekasan.

Saat ini, komplek makam para penerus Panembahan Ronggo tersebut dikenal dengan kawasan Situs Adikoro.

Tokoh yang mula-mula bergelar Adikoro ini ialah Pangeran Gatutkaca. Dalam catatan genealogi dan sejarah Pamekasan, Pangeran Gatutkaca ini adalah anak Pangeran Purbaya. Sedangkan Pangeran Purbaya adalah putra Panembahan Ronggosukowati yang juga ikut gugur dalam perang Pamekasan versus Mataram. Seperti disebut di muka, Gatutkoco yang bernama kecil Raden Daksena itu, satu-satunya orang yang selamat dalam perang yang merenggut nyawa seluruh keluarga Panembahan Ronggosukowati.

Papan nama Situs Adikoro, di Asta Kolpajung. (Foto/Ririp)

Dalam catatan sejarah, Gatutkoco ditunjuk sebagai penguasa Pamekasan untuk meredam konflik di wilayah Madura Timur. Perlu diketahui, Madura Timur yaitu Sumenep, pada masa pemberontakan Pangeran Trunojoyo dapat melepaskan diri dari hegemoni Mataram. Adalah Raden Wugan atau Pangeran Macan Wulung, putra pewaris tahta Sumenep yang ikut menjadi yatim pada peristiwa invasi Mataram, bersekutu dengan Trunojoyo untuk merebut kembali tahta Sumenep.

Macan Wulung selanjutnya berhasil melanggengkan kekuasaannya atas Madura Timur sekaligus Pamekasan, dengan bergelar Yudanegara.

Nah, sepeninggal Yudanegara pada sepertiga terakhir abad 17 Masehi, terjadi konflik memanas di kalangan keluarga keraton. Pasalnya Yudanegara tidak memiliki anak laki-laki. Beliau memiliki empat orang putri yang masing-masing telah menikah dengan para pangeran dari Pamekasan dan Sampang. Gatutkoco Pamekasan merupakan salah satu di antara empat menantu Yudanegara.

Perang Trunajaya usai, dan Yudanegara yang wafat membuat Madura Timur dan Sumenep kembali diintervensi Mataram. Gatutkoco pun selanjutnya ditunjuk sebagai adipati Pamekasan untuk meredam konflik keluarga. Sementara di Sumenep ditunjuk Pangeran Wirosari dan Pangeran Pulang Jiwa sebagai penguasanya. Kedua pangeran yang disebut terakhir itu juga merupakan menantu Yudanegara.

Pasarean Raden Wugan alias Pangeran Macan Wulung alias Yudanegara, Raja Sumenep di desa Kebunagung, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep. (Foto/Ririp)

Kembali pada Pamekasan, setelah Gatutkoco menduduki kursi adipati, beliau kemudian bergelar Pangeran Ario Adikoro I. Penunjukan ini memang efektif dan tanpa berefek kontra. Pasalnya, beliau memang keturunan laki-laki dari Panembahan Ronggosukowati seperti yang disebut di atas.

Dalam riwayat tutur Pamekasan, Gatutkoco atau Adikoro I merupakan penguasa yang bijaksana. Namanya dianggap sebagai penguasa terbesar kedua Gerbang Salam setelah kakeknya, Panembahan Ronggosukowati. Dalam catatan genealogi penguasa-penguasa Madura, sekaligus catatan sejarah di pulau garam, Gatutkoco merupakan ayah dan leluhur dari adipati-adipati Pamekasan sekaligus Sumenep hingga pertengahan abad 18. Dua anak laki-lakinya, yaitu Pangeran Rama dan Raden Asral masing-masing berkuasa di Sumenep sejak awal-awal tahun 1700-an hingga wafatnya.

Pangeran Rama menjadi adipati Sumenep dengan gelar Cakranegara II. Sedangkan Raden Asral menjadi adipati Pamekasan dengan gelar Raden Tumenggung Ario Adikoro II.

Sepeninggal Pangeran Gatutkoco, konflik antar keluarga penguasa di Pamekasan pun mewarnai perjalanan pemerintahan di sana. Apalagi setelah melalui perjanjian yang tidak mengutungkan antara penguasa Mataram, yaitu Pakubuwono I dengan VOC pada tahun 1705 Msehi. Yang puncaknya Madura Timur akhirnya diserahkan pada VOC.

Pergantian para penguasa Pamekasan pun tak lepas dari intrik-intrik yang dimainkan VOC. Seperti peristiwa menjatuhkan Adikoro II dari kursi adipati pada tahun 1737 Masehi. Penggantinya justru cucu Pangeran Rama di Sumenep, yaitu Raden Baskara yang bergelar Adikoro III. Sementara Adikoro II akhirnya memilih menyingkir ke Surabaya, tepatnya Ampel, hingga wafat dan dimakamkan di sana.

Setelah Adikoro III wafat pada 1743 Masehi, diangkatlah Raden Ismail sebagai adipati Pamekasan bergelar Raden Tumenggung Ario Adikoro IV. Adikoro IV ini adalah anak Adikoro II yang tidak ikut ke Ampel.

Pasarean Adikoro I, III, dan IV di Asta Kolpajung. (Foto/Ririp)

Di waktu pemerintahan Adikoro IV ini, muncullah peristiwa yang dikenal dalam legenda pulau garam. Yaitu peristiwa pemberontakan Ke’ Lesap. Peristiwa yang dikabarkan terjadi pada 1749 itu, menggambarkan kisah heroik Adikoro IV dan pasukan perang Pamekasan, dalam pertempuran melawan gerombolan yang dipimpin Ke’ Lesap.

Peristiwa perang yang konon terjadi Bulangan, salah satu nama desa di Pamekasan itu, merenggut nyawa Adikoro IV dan beberapa pembesar keraton Pamekasan.

Saat ini, di situs Adikoro, terdapat makam Adikoro I, III, dan IV. Selain itu, juga dimakamkan di sana para keturunan raja-raja Pamekasan tersebut. Dalam pantauan Mamira, situs ini sekarang sudah banyak mengalami perubahan. Seperti kijing makam yang dikeramik, dan nisan makam yang dari modelnya diperkirakan pernah diganti pada abad 19 Masehi.

Red

Exit mobile version