Site icon MAMIRA.ID

Dharma Agung: Orang Istimewa Pangeran Letnan Sumenep

Mamira.ID – Dharma Sedhono merupakan nama tempat atau sebuah dusun terpencil yang terletak di ujung barat Desa Billapora Rebba, Kecamatan Lenteng, Kabupaten Sumenep. Desa tersebut berbatasan langsung dengan Desa Billapora Timur, Kecamatan Ganding. Nama Dusun Dharma Sedhono merupakan nama pemberian langsung dari Pangeran Letnan yang merupakan putra raja Sumenep, Sultan Abdurrahman Pakunataningrat yang memerintah dari tahun 1811 sampai dengan 1854 M.

“Dharma Sedono itu memang pemberian Pangeran Letnan, antara tahun 1811 sampai 1854, memang tidak ada data yang persis dari tahun berapa sampai tahun berapa, tapi kemudian patokannya adalah Agung Abdillah itu hidup pada masa pemerintahan Pangeran Letnan,” kata K. Fahmi Amin salah satu keturunan Agung Abdillah.

Secara georafis, dusun terpencil ini terletak di daratan tinggi nan tandus. Kurang lebih dua kilometer sebelah selatan Ketapang dari pusat keramaian Desa Lenteng Barat. Sementara rentang jarak ke pusat kota Sumenep kurang lebih sekitar 12 kilometer.

Pemberian nama dusun Dharma Sedhono oleh Pangeran Letnan yang bernama lengkap Raden Ario Mohammad Hamzah bukan tanpa sebab, nama dusun tersebut diberikan karena bentuk penghormatan kepada salah satu putra aulia bernama Agung Abdillah.

Agung Abdillah merupakan orang istimewa bagi Pangeran Letnan. Karena bentuk ketulusan dan darma baktinya membantu orang lain, termasuk kepada Pengeran Raja saat hendak berperang dengan Belanda kala itu. Berkat kesenangan dan kegemarannya dalam mendarmakan diri membantu orang lain, maka kemudian Agung Abdillah dijuluki Dharma atau lengkapnya Dharma Agung. Julukan Dharma itu kemudian juga disematkan pada tempat tinggal sang alim, Dusun Dharma Sedhono. Dusun Dharma sendiri awalnya bernama Dusun Kalettak.

“Kedekatan Pangeran Letnan dengan Agung Abdillah itu berawal dari tempat bertapa beliau, yakni di Gunung Payudan. Pertemuan itu menjadi awal keakraban dan berlanjut hingga Pangeran Letnan menjadi komandan barisan kemiliteran Sumenep. Pada saat Sumenep berperang melawan penjajah, Agung Abdillah itu banyak memberikan jasa. Karena saking berdermanya Agung Abdillah sehingga kemudian Pangeran Letnan memberikan gelar kepada Agung Abdillah sebagai Agung Dharma.” ujar K. Fahmi Amin.

Putra sang raja yang bergelar Pengeran Ario Kusumo Senirangingromo dan berpangkat Letnan Kolonel tersebut tak hanya memberi julukan pada nama dan dusun tempat kelahiran Agung Abdillah. Pangeran Letnan juga akan menjadikan dusun Kalettak menjadi sebuah kota, tapi niat tersebut tidak diperkenankan oleh Agung Abdillah. Penolakan tersebut tentu didasari dengan alasan yang kuat. Jika dusun Kalettak dijadikan kota, Agung Abdillah sangat khawatir anak dan keturunannya tidak mampu menghadapi perkembangan zaman, lebih-lebih kemaksiatan yang biasanya mengiringi perkembangan dan kemajuan sebuah kota.

“Bahkan sampai-sampai di daerah Dharma itu akan dijadikan kota kabupaten oleh raja. Ada tempat bernama Lontakah yang akan dijadikan alun-alun oleh kerajaan Sumenep, tapi beliau tidak berkehendak atau tidak mau dijadikan tempat begitu. Beliau itu juga dikenal dengan pendakwah atau dai, sehingga masyarakat banyak yang mengikuti ajaran beliau,” kata KH. Abu Tamam, ketua Yayasan Bani Abdillah.

Silsilah Ringkas Agung Abdillah

“Buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya” begitulah bunyi pepatah lampau yang sering kita dengar dan ucapkan untuk mengacu pada adanya kemiripan sikap, perilaku dan pola pikir seseorang dengan orang tuanya. Sifat dan perilaku seorang anak memang acapkali tak berbeda jauh dibandingkan dengan orang tuanya. Hal ini selaras dengan Agung Abdillah, kealiman dan sikap budi luhur yang melekat pada sosok Dharma Agung tak berbeda jauh dengan sifat serta sikap orang tuanya.

Dalam diri Dharma Agung mengalir darah Sunan Giri, beliau lahir dari pasangan Agung Mayur dan Nyai Sofyan. Agung Mayur sendiri merupakan putra dari Agung Abbas bin Agung Mukhsin yang berpasangan dengan Nyai Syummi. Sementara orang tua Agung Mukhsin terlahir dari pasangan bernama Agung Mursyid dan Nyai Nurbina. Agung Mursyid berasal dari Gresik (Manca) sedangkan Nyai Nurbina berasal dari dusun Buddakan, Desa Billapora Rebba, Kecamatan Lenteng.

“Beliau itu tersohor dengan Wali Allah, sehingga keturunannya tetap mengingat sejarahnya. Sementara karomah beliau itu bisa memecah, kalau diundang tiga atau empat orang itu, itu bisa hadir semua. Itu memang tanda-tandanya wali afdhal, beliau itu tersohor dengan Wali Allah,” terang KH. Abu Tamam.

Agung Mukhsin yang merupakan buyut Agung Abdillah, dikenal dengan sosok yang sangat sederhana dan istiqamah dalam amal ibadah dan mensyiarkan agama islam. Selain sederhana dan istiqamah, Agung Mukhsin juga sangat pemberani. Sikap kesatria tersebut terlihat saat melawan para penjajah Belanda. Berkat keberanian tersebut ia dijuluki dengan “Silanang Perang” oleh Nyai Syummi. Sifat dan sikap yang dimiliki Agung Mukhsin muda dari Desa Bilapora Rebba, Dusun Pungkelan (saat ini menjadi Dusun Taman RT 05 RW 06) Kecamatan Lenteng, menjadikan Nyai Syummi takjub dan diam-diam jatuh hati pada Agung Mukhsin dan kemudian mereka menikah.

Meski keduanya sudah sah menjadi pasangan suami-istri, namun Agung Mukhsin tetap menganggap Nyai Syummi sebagai guru karena lebih awal belajar ilmu agama. Disamping juga hormat dan ta’dzim karena Nyai Syummi masih keturunan darah biru. Dari beberapa sumber keterangan, Nyai Syummi merupakan putri dari sunan Kawis Guwo atau lebih dikenal Raden Guwo, sunan terakhir Gresik Kedaton. Secara garis besar, silsilah lengkapnya Agung Syummi bin Sunan Kawis Guwo bin Sunan Parapen bin Sunan Dhalem bin Sunan Giri ( Raden Moh. Ainul Yaqin- Wali Songo).

Agung Mukhsin dan Nyai Syummi mempunyai tiga orang putra. Putra pertama bernama Abdurrahman yang biasa dipanggil dengan sebutan Agung Santap. Sementara anak kedua diberi nama Agung Abbas. Sedangkan putra terakhirnya diberi nama Agung Lanceng.

Pendidikan Agung Abdillah

Semasa kecil, Agung Abdillah dididik langsung oleh kedua orang tuanya. Kemudian melanjutkan pendidikannya ke sebuah pesantren dimana Agung Abbas yang merupakan sang kakek pernah nyantri. Pesantren tersebut terletak di Desa Lembung Barat dan kemudian melanjutkan belajar ilmu agama di Pesantren Panggung yang terletak di Kecamatan Pragaan, Kabupaten Sumenep.

Pasarean Agung Abdillah

Pasarean atau Asta Agung Abdillah terletak di Dusun Dharma, Desa Billapora Rebba, Kecamatan Lenteng, tempat dimana ia dibesarkan. Lokasi ini berada diarah barat laut kota Sumenep dengan jarak tempuh kurang lebih 17 kilometer. Sementara jarak dari desa Prenduan yang merupakan pusat keramaian Kecamatan Pragaan berjarak kurang lebih 7 kilometer.

Pasarean Agung Abdillah saat ini juga menjadi komplek pemakaman umum masyarakat setempat. Di dalam komplek pemakaman ini berdiri sebuah Congkop (bangunan mirip musholla kecil) yang biasa digunakan peziarah untuk melakukan kegiatan ritual keagamaan seperti membaca Al. Qur’an, tahlilan dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Setiap Jum’at Kliwon, biasanya diadakan pembacaan tahlil dan yasin berjemaah oleh keluarga besar Bani Abdillah.

Jangan lupa tonton juga video ini:

Mamira.ID

Exit mobile version